Secara ekosistem semakin tidak sehat. Â Â Â Â
Siapapun tahu,  air sungai berubah hitam dan berbau menyengat disebabkan air limbah yang dibuang penduduk dan industri di sepanjang aliran air. Banyaknya air limbah yang masuk melebihi kemampuan air sungai untuk  mengurainya. Terlebih kerap ada cemaran limbah B3.  Sementara air merupakan salah satu elemen pendukung ekosistem.
Dwi Sawung Pengkampanye  dan Energi Walhi memberi penjelasan bahwa DKI Jakarta sudah menetapkan  Kali Item hanya sebagai saluran, bukan pendukung ekosistem.  Yang harus dilakukan pemerintah kemudian adalah membangun IPAL dan saluran air kotor.
Terjawab sudah mengapa di era Ahok, Kali Item hanya  diambil sampahnya serta dikeruk lumpurnya. Yang belum dilakukan adalah membangun instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) dan pembangunan saluran air kotor.
Kritik tajam ternyata berbuah manis, usai Asian Games  Anies berjanji akan membangun IPAL di sepanjang Kali Item.  Syukurlah karena jika hanya mengandalkan imbauan pada pabrik tahu seperti yang dilakukan Sandiaga (sumber), jelas bukan solusi brilian.
Hanya ada 2 cara untuk menghentikan aktivitas membuang air limbah oleh industri. Menjerat pelaku dengan Undang Undang nomor 32 tahun 2009 yang berakhir dengan pencabutan SIUP.
Atau membangun IPAL komunal bagi industri kecil dan rumah tangga.
 Jika dengan mudahnya mengeluarkan anggaran setengah milyar untuk kain hitam, harusnya DKI Jakarta tidak pelit membangun IPAL komunal  bagi warganya.
Citarum pernah diglontor HOC, tentu bisa dicobakan disana.
Sebelum perhelatan Asian Games semakin dekat, sebenarnya sudah banyak rencana yang digagas pemda DKI Jakarta untuk menyelesaikan masalah Kali Item. Diantaranya menggunakan alat pengolah tinja bernama PAL-Andrich Tech System yang dilontarkan Sandiaga Uno 31 Mei lalu.
Tak kurang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjalankan fungsinya mendukung kerja eksekutif  dengan  menawarkan teknologi  nanobubble generator.