Yang membuat saya bertambah sedih, ternyata saya tidak cukup mengenal Kota Jogjakarta. Kota ketiga setelah Bandung dan Sukabumi, dimana saya merasa homy. Kejadiannya berawal ketika bus yang mengangkut rombongan kompasianer memasuki Kota Jakarta. Melalui pesan singkat di whatsapp, salah seorang kompasianer yang telah turun duluan di sekitar Bekasi memberitahu bahwa dia salah mengambil barang. Bungkusan oleh-oleh yang dibawanya adalah bakpia 25, padahal seharusnya bakpia Kurnia Sari. Dan hebohlah suasana di bus. Pemilik bakpia 25 pantas berduka karena selain sudah menyisihkan uang ratusan ribu rupiah, juga hilang sudah bayangan untuk segera menikmati oleh-olehnya. Pemilik bakpia Kurnia sari juga enggan jika oleh-olehnya ditukar bakpia 25.
“Emang kenapa? Lebih enak?” tanya saya pada Ibu Seno.
“Iya, lebih mahal”, jawabnya.
Oh. Sesampainya di rumah saya membuka laptop dan gugling, ternyata memang berbeda, bakpia Kurnia Sari lebih tipis dan renyah. Ketika masuk mulut, langsung lumer…..jiahhhh kok jadi ingin nyobain. ^^
Begitulah kuliner, tidak sekedar diciptakan untuk mengganjel perut. Ada proses inovasi dan kreatif disana. Juga ada proses akulturasi dan toleransi. Ketika pertama kali di perkenalkan Kwik Sun Kwok, seorang pendatang asal Tionghoa yang mengadu peruntungan pada tahun 1940, bakpia dibuat dengan minyak babi. Dipanggang dengan arang dan dijajakan dari rumah ke rumah. Hasil proses asimilasi Kwik Sun Kwok dan keturunannya dengan etnis Jawa mengubah Kota Jogja menjadi tidak hanya kota gudeg, tapi juga kota bakpia. Dan kita berada dilintasan itu, menikmati happy-endingnya.
Sumber : Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H