Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Wisata Kuliner, Catatan Tertinggal ICD Jogja 2017

24 Mei 2017   08:52 Diperbarui: 24 Mei 2017   14:13 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasi kucing (dok. Maria G Soemitro)

Yang membuat saya bertambah sedih, ternyata saya tidak cukup mengenal Kota Jogjakarta. Kota ketiga setelah Bandung dan Sukabumi, dimana saya merasa homy. Kejadiannya berawal ketika bus yang mengangkut rombongan kompasianer memasuki Kota Jakarta. Melalui pesan singkat di whatsapp, salah seorang kompasianer yang telah turun duluan di sekitar Bekasi memberitahu bahwa dia salah mengambil barang. Bungkusan oleh-oleh yang dibawanya adalah bakpia 25, padahal seharusnya bakpia Kurnia Sari. Dan hebohlah suasana di bus. Pemilik bakpia 25 pantas berduka karena selain sudah menyisihkan uang ratusan ribu rupiah, juga hilang sudah bayangan untuk segera menikmati  oleh-olehnya. Pemilik bakpia Kurnia sari juga enggan jika oleh-olehnya ditukar bakpia  25.

“Emang kenapa? Lebih enak?” tanya saya  pada Ibu Seno.

“Iya, lebih mahal”, jawabnya.

Oh. Sesampainya di rumah saya membuka laptop dan gugling, ternyata memang berbeda, bakpia Kurnia Sari lebih tipis dan renyah. Ketika masuk mulut, langsung lumer…..jiahhhh kok jadi ingin nyobain. ^^

Begitulah kuliner, tidak sekedar diciptakan untuk mengganjel perut. Ada proses inovasi dan kreatif disana. Juga ada proses akulturasi dan toleransi. Ketika pertama kali di perkenalkan Kwik Sun Kwok, seorang pendatang asal Tionghoa yang mengadu peruntungan  pada tahun 1940, bakpia dibuat dengan minyak babi. Dipanggang dengan arang dan dijajakan dari rumah ke rumah. Hasil proses asimilasi Kwik Sun Kwok dan keturunannya dengan etnis Jawa mengubah Kota Jogja menjadi tidak hanya kota gudeg, tapi juga kota bakpia. Dan kita berada dilintasan itu, menikmati happy-endingnya. 

Sumber : Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun