Bukan tanpa sebab saya mengunjungi Kota Jogja jauh hari. Tiga hari sebelum perhelatan akbar Indonesia Community Day (ICD) 2017 di Plaza Pasar Ngasem tanggal 13 Mei 2017. Selain mencari tiket murah Bandung ~ Jogja, juga ingin memuaskan diri berwiskul atau berwisata kuliner.
Sebelum berwiskul, saya mengintip akun Instagram kuliner Jogja yang banyak bertebaran, salah satunya @jogjaeatguide. Ternyata Kota Jogja menyediakan begitu banyak destinasi kuliner yang direkomendasikan seperti ayam BBQ, bakso tusuk, telur gulung yang dicelup ke saus keju, penthol hingga cara makan jadul yang di-update kembali yaitu nasi kembulan.
Tapi yang paling menarik dari kuliner Kota Jogja adalah harganya, murah tuenannn…. Masa soto Semarang cuma dibandrol Rp 8.000 saja! Waduh keterlaluan murahnya dan sungguh menggoda iman melihat semangkok soto Semarang yang full irisan tipis daging sapi, lengkap dengan soun, toge ukuran pendek dan dijual di pasar Bering Harjo, deket banget dengan rumah. Harus dicoba ini, harus pangkat tiga ^^
Sayang , rencana tidak berjalan mulus. Puanasnya itu lho ngga nguati. Sangat terik. “Sudah beberapa hari ngga hujan”, kata bulik , adiknya ibunda yang menghuni rumah keluarga besar di Kemetiran Lor, Jogja.
Oh oke, ngga usah menggunakan panduan, lihat kiri kanan saja. Nah hari pertama di Jogja, saya bertemu dengan nasi kucing yang dijajakan dari rumah ke rumah bersama jajanan lain seperti gorengan. Harganya? Rp 2.000 saja per bungkus.
Ngga berani nekad berpanas ria karena biasanya langsung pening. Sore hari barulah saya berani keluar rumah, itupun karena salah seorang saudara perempuan merekomendasikan bakmi godog yang dijual tidak jauh dari rumah. Tepatnya di depan Hotel Grage, Sosrowijayan. Ini dia penampakannya.
Esoknya, saya diajak adik sepupu jalan ke jalan Jogonegaran khusus untuk jajan bakso. Enak katanya. Oke, orang Jogja bilang enak pastilah dijamin maknyus. Khususnya karena di sekeliling rumah cukup banyak penjual mi bakso. Ini yang bikin heran, saya pikir hanya etnis Sunda penyuka mi bakso, walau penjualnya berdatangan dari Jawa Tengah seperti Tegal dan Solo.
Pengakuan berasal dari Kota Solo juga cukup unik. Pedagang mi bakso umumnya berasal dari Wonogiri alias Solo coret, tapi mungkin karena penduduk Jawa Barat lebih familier akan Kota Solo maka nekadlah mereka menulis Solo, seperti Mi Bakso Mas Not asli Solo. Ah, kita bahas lain kali, para pedagang kaki lima umumnya memang sedaerah dan itu khas banget. Kelompok pedagang mi bakso dari Wonogiri, kelompok pemberi jasa potong rambut dari Garut dan seterusnya.
Ups bagaimana kisah mi bakso yang ternyata ada di ruko Jogonegaran 55 D? Sesuai kata adik sepupu yang doyan jajan, mi bakso Bu Miyar ini patut diacungi jempol. Baksonya pulen, porsinya pas, dan bakso gorengnya hummmmm….yummy …. Harganyapun murah Rp 15.000 saja. Masuk kategori “must try” deh.
Dan tentu saja empek-empek lezat lengkap dengan cukonya yang dibawa komunitas Kompal, langsung dari Palembang. Opo ngga hebat ? ^^
Kehangatan kembali saya rasakan di Kompasianival 2014, dan terulang di ICD 2017, indahnya duniaaaaa…….., tertawa terbahak-bahak, ngobrol,welfie, tertawa lagi, ngobrol lagi begitu seterusnya. Waktu berlalu tanpa terasa, perut kenyang diisi cemilan, bukan makan siang yang dengan mudahnya bisa dibeli di lokasi. Enak, puji beberapa kawan.
Menjelang malam, walau perut kenyang ngga jelas, saya dan ibu Seno menyusuri sekitar Pasar Ngasem mencari soto atau bakmi godog. Ada satu penjual bakmi godog yang laris, antriannya panjang, sehingga asumsinya pasti enak. Sayang harus menunggu 17 orang, mana tahan, jadilah beli bakmi godog yang sepi pembeli, langsung dilayani, langsung disantap dan bisa diduga rasanya termasuk “worth to try”.
Tanggal 14 Mei, waktunya pulang, tempat yang disepakati untuk pertemuan adalah Pasar Bering Harjo. Aha, kesempatan jajan sego pecelpun tiba. Tahun 2015, terakhir kali ke Jogja untuk wisuda Iyok, saya jajan nasi pecel di depan pasar Bering Harjo. Namun kemarin para pedagang cuti, trotoar di sepanjang jalan Malioboro sedang direnovasi, untung masih ada satu yang tersisa sehingga tuntas sudah hutang pada perut dan lidah yang ingin mencicipi nasi pecel khas Jogja.
Bermacam-macam bakpia terjejer rapi di lapak-lapak yang mengelilingi area tempat parkir bus. Ada bakpia kering dan basah, silakan pilih sesuai selera. Sayangnya ngga ada merk 25 yang sangat kondang dan dicari beberapa teman yang ingin membeli bakpia merk tersebut. “Merk itu mahal dari sananya bu, kalo ada yang jual Rp 30.000, sini saya beli”, kata seorang simbok penjual oleh-oleh. Wah kok simboke marah? Wong saya cuma nanya. #mimiksedih
Yang membuat saya bertambah sedih, ternyata saya tidak cukup mengenal Kota Jogjakarta. Kota ketiga setelah Bandung dan Sukabumi, dimana saya merasa homy. Kejadiannya berawal ketika bus yang mengangkut rombongan kompasianer memasuki Kota Jakarta. Melalui pesan singkat di whatsapp, salah seorang kompasianer yang telah turun duluan di sekitar Bekasi memberitahu bahwa dia salah mengambil barang. Bungkusan oleh-oleh yang dibawanya adalah bakpia 25, padahal seharusnya bakpia Kurnia Sari. Dan hebohlah suasana di bus. Pemilik bakpia 25 pantas berduka karena selain sudah menyisihkan uang ratusan ribu rupiah, juga hilang sudah bayangan untuk segera menikmati oleh-olehnya. Pemilik bakpia Kurnia sari juga enggan jika oleh-olehnya ditukar bakpia 25.
“Emang kenapa? Lebih enak?” tanya saya pada Ibu Seno.
“Iya, lebih mahal”, jawabnya.
Oh. Sesampainya di rumah saya membuka laptop dan gugling, ternyata memang berbeda, bakpia Kurnia Sari lebih tipis dan renyah. Ketika masuk mulut, langsung lumer…..jiahhhh kok jadi ingin nyobain. ^^
Begitulah kuliner, tidak sekedar diciptakan untuk mengganjel perut. Ada proses inovasi dan kreatif disana. Juga ada proses akulturasi dan toleransi. Ketika pertama kali di perkenalkan Kwik Sun Kwok, seorang pendatang asal Tionghoa yang mengadu peruntungan pada tahun 1940, bakpia dibuat dengan minyak babi. Dipanggang dengan arang dan dijajakan dari rumah ke rumah. Hasil proses asimilasi Kwik Sun Kwok dan keturunannya dengan etnis Jawa mengubah Kota Jogja menjadi tidak hanya kota gudeg, tapi juga kota bakpia. Dan kita berada dilintasan itu, menikmati happy-endingnya.
Sumber : Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H