Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Wisata Kuliner, Catatan Tertinggal ICD Jogja 2017

24 Mei 2017   08:52 Diperbarui: 24 Mei 2017   14:13 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gudeg Malioboro (dok. Maria G Soemitro)

Bukan tanpa sebab saya mengunjungi Kota Jogja jauh hari. Tiga hari sebelum perhelatan akbar Indonesia Community Day (ICD) 2017 di Plaza Pasar Ngasem tanggal 13 Mei 2017. Selain mencari tiket murah Bandung ~ Jogja, juga ingin memuaskan diri berwiskul atau berwisata kuliner.

Sebelum berwiskul,  saya mengintip  akun Instagram kuliner Jogja yang banyak bertebaran, salah satunya @jogjaeatguide. Ternyata Kota Jogja menyediakan begitu banyak  destinasi kuliner  yang direkomendasikan seperti ayam BBQ, bakso tusuk, telur gulung yang dicelup ke saus keju, penthol hingga cara makan jadul yang di-update kembali yaitu nasi kembulan.

Tapi yang paling menarik dari kuliner Kota Jogja adalah harganya, murah tuenannn…. Masa soto Semarang cuma dibandrol Rp 8.000 saja! Waduh keterlaluan murahnya dan sungguh menggoda iman  melihat semangkok soto Semarang yang full irisan tipis daging sapi, lengkap dengan soun, toge ukuran pendek dan dijual di pasar Bering Harjo, deket banget dengan rumah. Harus dicoba ini, harus pangkat tiga ^^

Sayang , rencana tidak berjalan mulus. Puanasnya itu lho ngga nguati. Sangat terik. “Sudah beberapa hari ngga hujan”, kata bulik , adiknya ibunda yang menghuni rumah keluarga besar di  Kemetiran Lor, Jogja.

Oh oke, ngga usah menggunakan panduan, lihat kiri kanan saja. Nah hari pertama di Jogja, saya bertemu dengan nasi kucing yang dijajakan dari rumah ke rumah bersama jajanan lain seperti gorengan. Harganya? Rp 2.000 saja per bungkus.

nasi kucing (dok. Maria G Soemitro)
nasi kucing (dok. Maria G Soemitro)
Walau dinamakan nasi kucing, nasinya ngga secuplik lho. Sekitar 1 centong nasi, dengan lauk bihun goreng, oseng-oseng sayur dan tempe, juga ada sepotong bandeng goreng. Cukup mengenyangkan sih untuk ukuran saya, terlebih ini kan judulnya sarapan, bukan makan siang.

Ngga berani nekad berpanas ria karena biasanya langsung pening. Sore hari barulah saya berani keluar rumah, itupun karena salah seorang saudara perempuan merekomendasikan bakmi godog yang dijual tidak jauh dari rumah. Tepatnya di depan Hotel Grage, Sosrowijayan. Ini dia penampakannya.

mi godog Sosrowijayan (dok. Maria G Soemitro)
mi godog Sosrowijayan (dok. Maria G Soemitro)
Harganya Rp 14.000 saja, sudah lengkap dengan daging ayam dan telur. Bakmi godog ini dulu favorit saya jika pulang ke Jogja,  sama sekali tidak menyangka jika bakal laris di tanah Pasundan. Penyebabnya karena digodog sehingga kuahnya meresap dan bentuknya nyemek, ngga menarik seperti mi bakso. Eh ternyata saya salah,  mi godog nyemek bertaburan di Kota Bandung. Harganya sangat beragam, tergantung lokasi. Perbandingan di Bandung dengan lokasi yang kurang nyaman mungkin mi  Jogjanya pak Karso di jalan ABC Bandung yang dibandrol Rp 25.000/porsi.

sate ayam Sosrowijayan (dok. Maria G Soemitro)
sate ayam Sosrowijayan (dok. Maria G Soemitro)
Keesokan harinya barulah saya jalan agak pagian. Melihat jejeran kuliner di jalan Sosrowijayan yang bisa disantap pagi hingga siang hari. Termasuk brunch mungkin ya?  Yang menarik adalah simbok penjual sate ayam, mereka menggendong waskom besar berisi sate siap dipanggang, mangkal ditempat tertentu dan mulai memanggang. Hmmm… sungguh mengundang selera, namun berhubung belum lapar, perjalanan diteruskan ke jalan Malioboro dan bertemu ini nih, Bakso Kotak Cak Nam di jalan Malioboro 85. Lebih tepat disebut bakwan karena yang dominan adalah bakso yang harus direbus dan beberapa varian bakso goreng. Yang istimewa, bakso kotaknya diberi irisan cabe rawit, membuat saya menelan ludah, cegluk, Nampak enak bangetttt!!

Bakso Kotak Cak Nam (dok. Maria G Soemitro)
Bakso Kotak Cak Nam (dok. Maria G Soemitro)
Rasanya memang istimewa.  Gurih dan empuk, dengan rasa daging sapi yang dominan. Bakso gorengnya crunchy, ngga alot. Harga per potongnya Rp 4.500 sebelum PPN. Secara keseluruhan bener-bener puas dan pingin balik lagi deh, dijamin ^^

Esoknya, saya diajak  adik sepupu jalan ke jalan Jogonegaran  khusus untuk jajan bakso. Enak katanya. Oke, orang Jogja bilang enak pastilah dijamin maknyus. Khususnya karena di sekeliling rumah cukup banyak penjual mi bakso. Ini yang bikin heran, saya pikir hanya etnis Sunda penyuka mi bakso, walau penjualnya  berdatangan dari Jawa Tengah seperti Tegal dan Solo.

Pengakuan berasal dari Kota Solo juga cukup unik. Pedagang mi bakso umumnya berasal dari  Wonogiri alias Solo coret, tapi mungkin karena penduduk Jawa Barat lebih familier akan Kota Solo maka nekadlah mereka menulis Solo, seperti Mi Bakso Mas Not  asli Solo. Ah, kita bahas lain kali, para pedagang kaki lima umumnya memang sedaerah dan itu khas banget. Kelompok pedagang mi bakso dari Wonogiri, kelompok pemberi jasa potong rambut dari Garut  dan seterusnya.

Ups bagaimana kisah mi bakso yang ternyata ada di ruko Jogonegaran 55 D? Sesuai kata adik sepupu yang doyan jajan, mi bakso Bu Miyar ini patut diacungi jempol. Baksonya pulen, porsinya pas, dan bakso gorengnya hummmmm….yummy …. Harganyapun murah Rp 15.000 saja. Masuk kategori “must try” deh.

mi bakso Bu Miyar (dok. Maria G Soemitro)
mi bakso Bu Miyar (dok. Maria G Soemitro)
Ke Jogja ngga beli gudeg, seperti makan sop tanpa garam ya? Saya urung beli di Mbah Lindu yang terkenal, karena calon pembeli mengantri panjang nian. Pilih titip beli di pasar Ngebug saja. Mencari gudeg di Jogja memang ngga repot, siapapun bisa jajan gudeg lengkap di jalan Malioboro. Pemerintah kota rupanya memfasilitasi karena pedagang gudeg berjajar di sepanjang jalan Malioboro arah stasiun Tugu. Jika enggan jajan di PKL, bisa belok ke jalan Sosrowijayan dan jalan Dagen untuk menikmati nasi gudegnya Yu Djum. 

nasi gudeg pasar Ngebug (dok Maria G Soemitro)
nasi gudeg pasar Ngebug (dok Maria G Soemitro)
Tanggal 13 Juli, waktunya acara ICD 2017 yang berlangsung dari jam 10 sampai dengan selesai. Tanpa sarapan, saya, @IbuSeno dan @EniBerkata menuju  Plaza Pasar Ngasem, pastinya perut bakalan krucuk-krucuk dong ya? Untunglah Kompasiana punya banyak komunitas kreatif seperti K- Jogja, Kompasianer Penggila Kuliner (KPK), Ladiesiana, Kompal dan masih banyak lagi yang siaga cemilan seperti kipo, cemilan mirip kueku namun lebih empuk menul-menul dengan isian kacang. Setampah jajan pasar dan macam-macam ubi kukus. Berbotol- botol jamu, asli dengan penjualnya diboyong ke plaza pasar Ngasem. ^^ 

Dan tentu saja empek-empek lezat lengkap dengan cukonya yang dibawa komunitas Kompal, langsung dari Palembang. Opo ngga hebat ? ^^

Cemilan tradisional dalam tampah(dok. Maria G Soemitro)
Cemilan tradisional dalam tampah(dok. Maria G Soemitro)
Aha inilah daya tarik pertemuan komunitas. Saya datang ke Kompasianival 2012 dan merasakan magnet utama justru ketika kompasianer yang terbagi dalam beberapa komunitas saling bertemu, mengenalkan diri dan berteriak gembira karena keakraban dunia maya hadir menjadi nyata.

Kehangatan kembali saya rasakan di Kompasianival 2014, dan terulang di ICD 2017, indahnya duniaaaaa…….., tertawa terbahak-bahak, ngobrol,welfie,  tertawa lagi, ngobrol lagi begitu seterusnya. Waktu berlalu tanpa terasa, perut kenyang diisi cemilan, bukan makan siang yang dengan mudahnya bisa dibeli di lokasi. Enak, puji beberapa kawan.

Menjelang malam, walau perut kenyang ngga jelas, saya dan ibu Seno menyusuri sekitar Pasar Ngasem mencari soto atau bakmi godog. Ada satu penjual bakmi godog yang laris, antriannya panjang, sehingga asumsinya pasti enak. Sayang harus menunggu 17 orang, mana tahan, jadilah beli bakmi godog yang sepi pembeli, langsung dilayani, langsung disantap dan bisa diduga rasanya termasuk “worth to try”.

Tanggal 14 Mei, waktunya pulang, tempat yang disepakati untuk pertemuan adalah Pasar Bering Harjo. Aha, kesempatan jajan sego pecelpun tiba. Tahun 2015, terakhir kali ke Jogja untuk wisuda Iyok, saya jajan nasi pecel di depan pasar Bering Harjo. Namun kemarin para pedagang cuti, trotoar di sepanjang jalan Malioboro sedang direnovasi, untung masih ada satu yang tersisa sehingga tuntas sudah hutang pada perut dan lidah yang ingin mencicipi nasi pecel khas Jogja.

nasi pecel Pasar Bering Harjo (dok. Maria G Soemitro)
nasi pecel Pasar Bering Harjo (dok. Maria G Soemitro)
Sebetulnya masih ada mi bakso dan wedang ronde yang nangkring di depan SMPN2 Jogja. saya dan beberapa teman kompasianer perempuan mencicipinya usai sholat Dzuhur. Nampaknya mereka disitu hanya pada hari Minggu, seperti semut mendekati gula. lahan di depan SMPN2  merupakan lokasi parkir bus-bus luar kota yang mengantar penumpangnya, entah ingin berbelanja ke Pasar Bering Harjo, berwisata budaya ke Keraton atau ingin mampir ke Taman Pintar. Tak heran, sejauh mata memandang yang nampak adalah penjual makanan. Termasuk oleh-oleh, tentu.

Bermacam-macam bakpia terjejer rapi di lapak-lapak yang mengelilingi area tempat parkir bus. Ada bakpia kering dan basah, silakan pilih sesuai selera. Sayangnya ngga ada merk 25 yang sangat kondang dan dicari beberapa teman yang ingin membeli bakpia merk tersebut. “Merk itu mahal dari sananya bu,  kalo ada yang jual Rp 30.000, sini saya beli”,  kata seorang simbok penjual oleh-oleh. Wah kok simboke marah? Wong saya cuma nanya. #mimiksedih

Yang membuat saya bertambah sedih, ternyata saya tidak cukup mengenal Kota Jogjakarta. Kota ketiga setelah Bandung dan Sukabumi, dimana saya merasa homy. Kejadiannya berawal ketika bus yang mengangkut rombongan kompasianer memasuki Kota Jakarta. Melalui pesan singkat di whatsapp, salah seorang kompasianer yang telah turun duluan di sekitar Bekasi memberitahu bahwa dia salah mengambil barang. Bungkusan oleh-oleh yang dibawanya adalah bakpia 25, padahal seharusnya bakpia Kurnia Sari. Dan hebohlah suasana di bus. Pemilik bakpia 25 pantas berduka karena selain sudah menyisihkan uang ratusan ribu rupiah, juga hilang sudah bayangan untuk segera menikmati  oleh-olehnya. Pemilik bakpia Kurnia sari juga enggan jika oleh-olehnya ditukar bakpia  25.

“Emang kenapa? Lebih enak?” tanya saya  pada Ibu Seno.

“Iya, lebih mahal”, jawabnya.

Oh. Sesampainya di rumah saya membuka laptop dan gugling, ternyata memang berbeda, bakpia Kurnia Sari lebih tipis dan renyah. Ketika masuk mulut, langsung lumer…..jiahhhh kok jadi ingin nyobain. ^^

Begitulah kuliner, tidak sekedar diciptakan untuk mengganjel perut. Ada proses inovasi dan kreatif disana. Juga ada proses akulturasi dan toleransi. Ketika pertama kali di perkenalkan Kwik Sun Kwok, seorang pendatang asal Tionghoa yang mengadu peruntungan  pada tahun 1940, bakpia dibuat dengan minyak babi. Dipanggang dengan arang dan dijajakan dari rumah ke rumah. Hasil proses asimilasi Kwik Sun Kwok dan keturunannya dengan etnis Jawa mengubah Kota Jogja menjadi tidak hanya kota gudeg, tapi juga kota bakpia. Dan kita berada dilintasan itu, menikmati happy-endingnya. 

Sumber : Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun