Dengan menggunakan sapu tangan, berarti kita juga telah menyelamatkan hektaran hutan. Sebatang pohon pinus dewasa menghasilkan 84.000 lembar kertas berukuran 21 x 28 cm. Bisa dihitung berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan 10 % penduduk Indonesia. Belum termasuk cemaran yang dihasilkan dan sumber air dan zat kimia yang harus digunakan untuk memproduksi kertas termasuk kertas tisu. Sungguh wow sekali.
Bagi penyuka drama korea mungkin masih ingat adegan Yoon Ji Hoo membantu Gem Jan Di dengan saputangannya? Nah mungkin juga atraksi serupa bisa menjadi modus pedekate ke gebetan? Ahayyy…… ^^
- Buatlah Post it dengan kertas bekas struk, nota pembdelian dan berbagai kertas lainnya.
Sebetulnya post it yang berasal dari kertas bekas adalah symbol bijak menggunakan ulang kertas bekas. Tentunya tindakan paperless akan lebih baik lagi, seperti yang telah dilakukan Kompasiana ketika mengadakan event, peserta mengisi daftar hadir langsung ke perangkat computer.
Tindakan menghamburkan kertas akan menjadi alasan produsen kertas untuk memperluas alih fungsi hutan. Sesuatu yang tidak kita sukai bukan?
- Gunakan rantang/ misting, tolak kertas pembungkus nasi.
Tahukah bahwa kertas nasi yang berwarna coklat sebetulnya berasal dari sampah kertas, kardus dan beragam kertas lainnya? Kertas sekali pakai ini dilapisi plastik tipis sehingga seharusnya terlarang untuk membungkus makanan yang masih panas. Dengan alasan lebih praktis, pedagang makanan memilih kertas nasi dibanding daun pisang bukan disebabkan harga. “Harganya mah sama aja, neng”, katanya.
Sebagai konsumen kita memilih cara aman dong ya? Menolak makanan tercermar yang baru terasa akibatnya setelah sekian tahun. Sungguh suatu pilihan bijak jika kita makan di tempat atau menggunakan misting/rantang untuk membawa jajanan pulang ke rumah.
- Gunakan reusable bag (tas pakai ulang).
Mengapa muncul ajakan menolak kantong plastik (keresek)? Karena produsen produk plastik bukan main senang hatinya jika konsumsi keresek sangat tinggi. Semakin banyak produksi keresek berarti menaikkan omzet penjualan yang akan berimbas pada profit. Mereka tidak peduli sampah yang dihasilkan baru akan terurai ribuan tahun kemudian atau hanya sekedar hancur menjadi mikroplastik. EGP kata mereka.
Jadi kuncinya adalah kita, konsumen. Mau mengikuti kemauan produsen atau memilih menyelamatkan lingkungan hidup yang begitu terbatas. Penggunaan tas pakai ulang tidak terbatas pada reusable bag yang harus kita beli. Keresek yang dimiliki juga bisa digunakan ulang untuk berbelanja. Sekarang banyak konsumen yang membawa keresek dari supermarket lain ketika berbelanja di Superindo, salah satu retail modern yang konsisten menerapkan “kantong plastik tidak gratis”
******
Perilaku nol sampah atau zero waste lifestyle ternyata tidak hanya berpengaruh pada pengurangan sampah yang dihasilkan tapi juga penghematan isi dompet. Kita tidak harus mengeluarkan rupiah untuk membeli minuman dalam kemasan yang ternyata menimbulkan jejak ekologis tinggi dalam mendaur ulang. Terlebih sampah plastik yang tidak di recycle ternyata berakhir di saluran air dan mengakibatkan kematian biota air.
Rasanya sepadan bukan? Perilaku nol sampah yang semula dirasa berat ternyata berdampak positif di berbagai lini. Dan yang pasti kita tidak akan dimarahi Ridwan Kamil ketika berleha-leha di jalan Dago yang kian cozy, karena kita tidak nyampah. ^^