Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

5 Langkah Mudah Mengawali Perilaku Nol Sampah

23 Februari 2017   18:03 Diperbarui: 24 Februari 2017   06:00 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Fadjroel Rachman

Ridwan Kamil gusar. Gara-gara sekelompok orang  meninggalkan sampah pada area publik yang telah didandani agar nyaman digunakan. Ya, demi memanjakan warganya, orang nomor satu di Kota Bandung itu telah mempercantik kawasan pedestrian dengan beberapa kursi dan meja di trotoar yang telah diperlebar dan dipercantik aneka tanaman hias lengkap dengan asesorisnya. Warga bisa menghilangkan penat disitu usai berbelanja atau sekedar berjalan-jalan di area yang semakin ramah pejalan kaki. Tentunya diharapkan semua pihak ikut merawat bukan justru mengotori.

Sebagai warga Bandung,  saya ikut geram. Rasanya ingin ikut menyumpahi dengan kata: katrok!! ….. norak!! …..  Mereka pikir siapa yang harus membereskan sampah yang mereka tinggalkan? Petugas kebersihan kota? Relawan GPS (Gerakan Pungut Sampah)? Arogan sekali!  Sikap feodal yang menyebabkan masalah sampah tak pernah selesai.

Tapi kemudian saya teringat ucapan seorang sesepuh sungai Cikapundung:”Jika ada orang yang melanggar peraturan, maka kita turut berkontribusi”. Maksud perkataannya adalah jangan menyalahkan orang yang ngga paham, percuma! Tegur dan beritahu apabila memungkinkan. Level penjabat bisa bertindak lebih jauh, misalnya memasang CCTV dan memberi sanksi pembuat keonaran.

Sejak usia dini, kita tidak menerima edukasi lingkungan dengan detail. Hanya sebatas mendapat didikan membuang sampah pada tempatnya. Itupun masih menjadi diskusi panas para pakar yang menyarankan tidak memasang  tempat sampah di area terbuka, karena akan berakhir acak-acakan oleh pemulung,  binatang liar atau tertiup angin. Jika keukeuh mau menyimpan tempat sampah  di ruang publik, harus tertutup dan dibersihkan secara teratur.

Ah sudahlah daripada kepala ikut nyut-nyutan, mengapa tidak mulai dari diri sendiri dengan perilaku nol sampah? Perhatikan deh gambar di atas, terjadi akibat mereka mengonsumsi wadah sekali pakai seperti bekas air minum dan styrofoam kan?

 Sebetulnya perilaku nol sampah sangatlah mudah. Hanya perlu konsistensi. Sesudah terbiasa ya mirip kasus helm bagi pengendara kendaraaan bermotor roda dua. Awalnya helm terasa membelit kepala,  sekarang malah bingung jika berkendara tanpa helm.

Ala bisa karena biasa, jurus apa saja yang bisa dipraktekan untuk menuju nol sampah?

Ini dia:

  • Jangan tinggalkan rumah tanpa tumbler.

Tidak hanya dompet dan ponsel yang harus dibawa ketika meninggalkan rumah, tapi juga tumbler tempat air minum. Tahukah sampah yang menyumbat gorong-gorong dan mengakibatkan banjir, salah satunya berasal dari  kemasan air minum?  Baik sampah kemasan air mineral maupun minuman manis.

 Banyak orang berpikir bahwa sampah kemasan akan diambil pemulung untuk dijual dan didaur ulang. Kenyataannya hanya 30 persen yang masuk pabrik daur ulang, sisanya mengotori lahan tidur, saluran air dan bermuara di lautan. Tak heran Indonesia dinobatkan sebagai negara penyumbang sampah kedua terbesar di dunia. Duh nyumbang tuh uang atau makanan dong ya? Jangan sampah.

  • Mulailah beralih ke saputangan.

Pernahkan terpikir bahwa jika kita influenza dan membuang ingus dengan tisu maka virusnya akan menyebar hingga tempat pembuangan akhir (TPA)?  Berbeda halnya dengan sapu tangan, karena bersifat pribadi maka seusai digunakan biasanya akan masuk tas untuk dicuci di rumah.

Dengan menggunakan sapu tangan, berarti kita juga telah menyelamatkan hektaran hutan. Sebatang pohon pinus dewasa menghasilkan  84.000 lembar kertas berukuran 21 x 28 cm. Bisa dihitung berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan 10 % penduduk Indonesia. Belum termasuk cemaran yang dihasilkan dan sumber air dan zat kimia yang harus digunakan untuk memproduksi kertas termasuk kertas tisu. Sungguh wow sekali.

Bagi penyuka drama korea mungkin masih ingat adegan Yoon Ji Hoo membantu Gem Jan Di dengan saputangannya? Nah mungkin juga atraksi serupa bisa menjadi modus pedekate ke gebetan? Ahayyy…… ^^

  • Buatlah Post it dengan kertas bekas struk, nota pembdelian dan berbagai kertas lainnya.

Sebetulnya  post it yang berasal dari kertas bekas adalah symbol bijak menggunakan ulang kertas bekas. Tentunya tindakan paperless akan lebih baik lagi, seperti yang telah dilakukan Kompasiana ketika mengadakan event, peserta mengisi daftar hadir langsung ke perangkat computer.

Tindakan menghamburkan kertas akan menjadi alasan produsen kertas untuk memperluas alih fungsi hutan. Sesuatu yang tidak kita sukai bukan?

  • Gunakan  rantang/ misting, tolak kertas pembungkus nasi.

Tahukah bahwa kertas nasi yang berwarna coklat sebetulnya berasal dari sampah kertas, kardus dan beragam kertas lainnya?  Kertas sekali pakai ini dilapisi plastik tipis sehingga seharusnya terlarang untuk  membungkus makanan yang masih panas. Dengan alasan lebih praktis, pedagang makanan memilih kertas nasi dibanding daun pisang bukan disebabkan harga. “Harganya mah sama aja, neng”, katanya.

Sebagai konsumen kita memilih cara aman dong ya? Menolak makanan tercermar yang baru terasa akibatnya setelah sekian tahun.  Sungguh suatu pilihan bijak jika kita makan di tempat atau menggunakan  misting/rantang untuk membawa jajanan pulang ke rumah.

  • Gunakan reusable bag (tas pakai ulang).

Mengapa muncul ajakan menolak kantong plastik (keresek)? Karena produsen produk plastik bukan main senang hatinya  jika konsumsi keresek sangat tinggi. Semakin banyak produksi keresek berarti menaikkan omzet penjualan yang akan berimbas pada profit.  Mereka tidak peduli sampah yang dihasilkan baru akan terurai ribuan tahun kemudian atau hanya sekedar hancur menjadi mikroplastik.   EGP kata mereka.

Jadi kuncinya adalah kita, konsumen. Mau mengikuti kemauan produsen atau memilih menyelamatkan lingkungan hidup yang begitu terbatas. Penggunaan tas pakai ulang tidak terbatas pada reusable bag yang harus kita beli. Keresek yang dimiliki juga bisa digunakan ulang untuk berbelanja. Sekarang banyak konsumen yang membawa keresek dari supermarket lain ketika berbelanja di Superindo, salah satu retail modern yang konsisten menerapkan “kantong plastik tidak gratis”

******

Perilaku nol sampah atau zero waste lifestyle ternyata tidak hanya berpengaruh pada pengurangan sampah yang dihasilkan tapi juga penghematan isi dompet. Kita tidak harus mengeluarkan rupiah untuk membeli minuman dalam kemasan yang ternyata menimbulkan jejak ekologis tinggi dalam mendaur ulang. Terlebih sampah plastik yang tidak di recycle ternyata berakhir di saluran air dan mengakibatkan kematian biota air.

Rasanya sepadan bukan? Perilaku nol sampah yang semula dirasa berat ternyata berdampak positif di berbagai lini. Dan yang pasti kita tidak akan dimarahi Ridwan Kamil ketika berleha-leha di jalan Dago yang kian cozy, karena kita tidak nyampah. ^^

Mau coba memulai?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun