"Mas Danang sudah lama sakit. Bahkan pernah berbulan-bulan di ICU. Berulang kali Tuhan meluputkannya dari kematian. Saya belajar ikhlas dalam merawat Mas Danang. Orang yang menjaga kesehatannya dengan baik, pola hidupnya sehat, tidak merokok, minum kopi seperlunya, tidak begadang, perilakunya bagus, tapi malah mengidap jantung di usia yang sangat muda. Kenapa? Hanya Tuhan yang tahu. Tidak ada yang menyangka, kami harus kehilangan semua harta yang ditabung Mas Danang selama sehat untuk biaya pengobatannya. Saya nggak pernah menyangka Mas Danang akan pergi dengan cara seperti ini. Prosesnya sangat singkat, tidak ada kesakitan yang berlarut-larut mengingat dia sudah bolak-balik dirawat, bahkan dia nggak sempat pamit sama Saya. Sebelum tidur, kami masih sempat makan bareng, bahkan tidur saling peluk. Tapi tidak bangun sama-sama lagi. Begitulah hidup, nggak pernah ada yang tahu. Hidup kita bagai sekepulan asap yang sebentar saja langsung lenyap tak berjejak. Tak ada yang tahu kapan kematian menjemput. Selama kita masih bernapas, kita luangkan waktu dengan orang yang kita kasihi, yuk. Perbanyak berbuat baik. Sebelum kita kehabisan waktu dan menyesal kemudian."Â
Ucapan Dinda ini diakhir dengan tangisnya yang menganak sungai diikuti isak tangis pelayat. Arman sigap memeluk tubuh kakaknya yang sudah bergetar dan siap roboh ke lantai.
(Diadaptasi dari kisah nyata dengan pengubahan seperlunya.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H