"Baik, Ibu. Kami akan melakukan yang terbaik," jawabnya lagi.Â
Sesampainya di rumah sakit, Danang kembali diberikan pertolongan yang lebih bagus. Sayangnya, masih tetap tak ada respons. Lima belas menit sudah berlalu di rumah sakit ini. Sebuah infus Natrium klorida terpasang di punggung tangan kiri Danang untuk menaikkan tekanan darah, sementara punggung tangannya terpasang infus Ringer laktat untuk menambah tenaga. Selang oksigen sudah tersemat di hidungnya. Alat pendeteksi jantung dan kadar oksigen dalam darah pun sudah terpasang di tubuh Danang. Â
Tepat ketika Arman tiba membawa barang-barang bekal rawat inap untuk Danang. Alat pendeteksi jantung itu berbunyi. Pertanda detak jantung tak terdeteksi. Jantung Danang berhenti berdetak, napasnya pun berhenti. Tenaga kesehatan melakukan kejut jantung, resusitasi jantung paru--pertolongan medis untuk mengembalikan detak jatung dan pernapasan. Namun, sekali lagi tak ada respons. Sementara di luar, Dinda sudah mencak-mencak hendak masuk ke ruangan tindakan. Sedangkan Arman hanya bisa memeluk Kakaknya dari belakang agar Dinda tak bisa menerobos masuk.
"Mbak, tenang dulu," bujuk Arman. Seketika seorang dokter keluar. "Dokter... Suami saya, Dokter," histeris Dinda.
"Ibu, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi Tuhan lebih sayang suami ibu. Kami turut berduka," lirih sang dokter.Â
"Nggak mungkin! Suami saya masih hidup! Nggak mungkin!" histeris Dinda. Ia melepas pelukan Arman, kemudian menerobos masuk, mengguncang-guncang tubuh Danang.
"Mas, bangun, Mas!" hardik Dinda pada jenazah suaminya, kesal karena suaminya tak menjawab. Air matanya masih membanjiri pipinya, ia sesenggukan kemudian memeluk tubuh Danang yang sudah tak bernyawa lagi.Â
"Mas, bangun, ya, Mas. Aku nggak apa-apa jagain Mas berbulan-bulan di ICU, tapi Mas bangun ya. Please!" bujuk Dinda lembut. Tangannya tak henti-henti mengelus dada Danang, sedangkan kepalanya masih menempel di bahu Danang. Ia mengusap air matanya. Kemudian mengangkat kepalanya, membuka kain penutup Danang. Tangannya terulur mengusap lembut pipi Danang. Â
"Mas, udah capek, ya? Mas pengin istirahat, ya? Apa Mas udah bosen sama aku?" tanya Dinda lembut, air matanya kembali banjir tanpa isakan. Ia menatap lekat wajah suaminya. Tampak seperti orang yang sedang tertidur pulas. Begitu tenang, teduh, tersenyum tipis tanpa beban. "Mas udah nggak sakit lagi ya, Sayang? Aku harus gimana?" bisik Dinda lagi, kembali terisak dan membenamkan wajahnya di ceruk leher suaminya.
Pukul 19.00 setelah pemakamanÂ
Malam ini rumah Dinda kembali ramai. Kerabat terdekat dan tetangga berdatangan untuk mendoakan almarhum Danang. Saat diberi kesempatan untuk menyampaikan sepatah kata, Dinda mengumpulkan kekuatan untuk berbicara.Â