Aku sudah melangkah pergi dari deretan kursi penonton dengan wajah murung dan lesu dan berkata kepada teman-temanku "Sudah, pulang saja, gak bakal menang". Aku tidak menyadari bahwa namaku dipanggil. Sedangkan, teman-temanku langsung melonjak kegirangan saat aku mendapatkan juara 3.
Menjadi LingFeng untuk pertama kali dalam monolog itu membuat aku merasakan pergolakan batin yang sangat kuat. Â Kompleksitas yang harus dibangun atas kondisi traumatik LingFeng yang berat membuat aku kelelahan.
Di sisi lain, aku juga merasa takut kalau "roh" LingFeng tidak bisa lepas dari dalam tubuhku. Namun, di sisi lain aku merasa menikmati ketika menjadi LingFeng.
LingFeng mengajariku banyak hal. LingFeng membuat aku menambah wawasan tentang kronologi secara detail kejadian yang terjadi saat tragedi 1998. Awal mulanya, hanya sekadar tahu karena muncul di pelajaran sejarah.
Kemudian, LingFeng juga mengasah kepekaanku terhadap orang-orang yang mengalami trauma seperti dirinya. Hal ini berdampak besar dalam perubahan diriku, aku menjadi  didekatkan dengan orang-orang di sekelilingku yang mempunyai kisah masa lalu dengan pilu, di situ aku menjadi sosok pendengar yang bisa memahami.
Selain itu, LingFeng memacu diriku untuk menjadi seorang Ayu yang percaya diri. Alasannya ketika LingFeng datang di dalam jiwa Ayu, Ayu merasa berhasil berperan sebagai orang gila seutuhnya.Â
Benar-benar sebuah proses, dari yang tadinya Ayu tidak tahu apa-apa. Tidak bisa menghidupkan karakter LingFeng. Hingga Ayu merasa bisa menanggalkan diri Ayu saat berperan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H