Indikator apakah sebuah negara demokratis atau tidak pun ditentukan oleh AS dan aliansinya. Hal ini terbukti dari adanya pengabaian terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Kuwait, atau beberapa negara di Asia Tenggara seperti Singapore dan Thailand di Asia Tenggara yang sesungguhnya memiliki sistem pemerintahan yang oligarkis dan otoriter, tetapi tidak terkena intervensi AS karena kepentingan AS untuk menjadikan mereka pivotnya. Bisa dibilang, prospek nilai demokrasi di masa depan tidak akan lepas dari unsur pragmatisme dan kepentingan ekonomi maupun politik dari negara tertentu. Oleh karena itu, mungkin akan sulit bagi beberapa negara yang memiliki nilai sosial dan kultural tertentu untuk berusaha mengadaptasi nilai-nilai demokrasi dalam dinamika perkembangan yang alamiah dan independen, karena terlalu banyaknya kepentingan dan intervensi dari negara-negara barat terhadap nilai demokrasi itu sendiri, terutama AS.
Semoga saja kedepannya konstelasi dunia internasional akan mampu untuk melepaskan diri dari poros dan pusaran pengaruh ‘demokrasi barat’ yang ada, sehingga bisa mulai mengkonstruksikan nilai demokrasi yang lebih adaptatif, alamiah, dan tentunya independen.
Tulisan di atas adalah opini pribadi.
[1] http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1784922/Arab-Spring
[2]Â http://www.washingtonpost.com/world/in-tunisia-act-of-one-fruit-vendor-sparks-wave-of-revolution-through-arab-world/2011/03/16/AFjfsueB_story.html
[3] http://middleeast.about.com/od/humanrightsdemocracy/a/Definition-Of-The-Arab-Spring.htm
[4] http://www.brookings.edu/research/interviews/2003/11/10globalgovernance-daalder
[5] Stone, James A. Shoemaker, David P., Dotti, Nicholas R. Interrogation: World War II, Vietnam, and Iraq. Washington, DC: National Defense Intelligence College, 2008.
[6] Miller, B. Democracy Promotion. Milennium - Journal of International Relations, P. 561-591, 2010.
[7] Ibid.
[8] http://www.democracynow.org/seo/2011/5/11/noam_chomsky_the_us_and_its