Mohon tunggu...
Margianta Surahman Juhanda Dinata
Margianta Surahman Juhanda Dinata Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hubungan Internasional Angkatan 2013 - Universitas Paramadina * Kepala Divisi Kajian Hubungan Internasional - HIMAHI Paramadina * Co-Initiator dan Juru Bicara Gerakan Muda FCTC Untuk Indonesia * Dewan Penasehat Paramadina MUN Club

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arab Spring, Amerika Serikat, dan Masa Depan Demokrasi

6 Juli 2015   17:26 Diperbarui: 6 Juli 2015   21:09 2844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Photo credit: Reuters)"][/caption]

Arab Spring. Tentu kita semua sudah sering menemui terminologi ini di berbagai media informasi yang kita baca. Tetapi apakah sesungguhnya makna dari terminologi ini? Apakah kaitannya dengan Amerika Serikat, dan masa depan demokrasi?

Arab Spring

Arab Spring adalah gelombang protes dan pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat pro-demokrasi di Timur Tengah dan Afrika Utara terhadap rezim-rezim otoriter di wilayah tersebut yang dimulai pada sekitar tahun 2010 sampai dengan 2011[1]. Semua berawal pada bulan Desember 2010 saat kasus seorang penjual buah di Tunisia yang memprotes perlakuan sewenang-wenang dari beberapa polisi kepadanya dengan membakar dirinya di depan kantor pemerintahan setempat. Peristiwa kecil ini kemudian berimbas pada gejolak demonstrasi besar-besaran yang bereskalasi menjadi revolusi perlawanan di sebuah desa kecil di Tunisia, berkembang di Mesir sampai menular dan mengancam rezim otoriter di Bahrain dan Yemen, memicu perang sipil di Libya, dan terus menggoncang bahkan di monarki-monarki tenang seperti Saudi Arabia dan Yordania[2]. Efek domino dari eskalasi konflik perlawanan terhadap rezim otoriter di berbagai negara Timur Tengah ini kemudian disebut oleh berbagai media barat sebagai Arab Spring, setelah gejolak perlawanan di Tunisia berhasil menjatuhkan pemerintahan yang dipimpin oleh Zainal Abidin Bin Ali di tahun 2011[3].

Peran US dalam Arab Spring

Bila ditelaah lebih dalam, sebetulnya kita bisa berargumen bahwa peristiwa Arab Spring pun tidak hanya disebabkan oleh peristiwa perlawanan di Tunisia saja, tetapi juga memiliki kaitan tersendiri dengan kebijakan intervensi militer yang dijalankan Amerika Serikat (AS) dan aliansinya di Timur Tengah. Berbagai intervensi militer di Timur Tengah memiliki berbagai macam dalih, dari misi untuk menyita WMD (Weapon of Mass Destruction), anti-terorisme, hingga melakukan demokratisasi dengan menjatuhkan kekuasaan rezim otoriter. Hal ini tercermin dalam kebijakan luar negeri AS yang bertajuk Forward Strategy of Freedom in the Middle East. Sebagaimana disebutkan dalam pidato mantan presiden AS George W. Bush pada 6 November 2003 yang menyatakan bahwa selama kebebasan (berdemokrasi) belum bisa diwujudkan di Timur Tengah, maka wilayah tersebut akan mengalami stagnasi, kebencian dan kekerasan yang siap diekspor dan membahayakan keamanan nasional AS dan negara-negara rekannya[4]. Kebijakan dengan dalih kebebasan dan demokrasi ini nantinya digunakan sebagai justifikasi Bush untuk melakukan intervensi militer di Irak[5]. Fenomena upaya demokratisasi di Timur Tengah dengan menggunakan hard power/kekuatan militer oleh AS sesungguhnya sesuai dengan konsep offensive liberalism dalam perspektif Benjamin Miller.

Berbeda dengan defensive liberalism yang mengedepankan kerjasama dan integrasi global/regional dalam mempromosikan demokrasi[6], maka upaya demokratisasi secara offensive liberalism adalah di mana perdamaian ‘hangat’ akan tercapai tetapi dengan syarat utama hanya bila pemerintahan semua negara bersifat demokratis [7].Betul, upaya demokratisasi AS terhadap beberapa negara di Timur Tengah sarat akan kepentingan tertentu dan bersifat koersif. Walaupun demikian, offensive liberalism tetap menjadi salah satu pemicu utama gelombang demokratisasi di Timur Tengah karena nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan individu dan human security memberikan alternatif dari pemerintahan otoriter yang umum ditemukan di Timur Tengah. Maka dari itu, dari segi masyarakat Timur Tengah, upaya offensive liberalism telah membantu mereka lebih percaya diri dalam membangun perspektif baru untuk melakukan perlawanan atas nama demokrasi terhadap pemerintahan otoriter yang berkuasa, meskipun dengan konsekuensi tertentu.

Masa Depan Demokrasi di Timur Tengah

Melihat fenomena Arab Spring, kita juga bisa melihat prospek demokrasi Timur Tengah di masa depan akan semakin berkembang seiring dijadikannya demokrasi sebagai indikator justifikasi segala kebijakan sarat kepentingan dari AS dan negara-negara barat lainnya. Maka kedepannya demokrasi pun akan berkembang atas dasar ketakutan dan keterpaksaan rezim otoriter terhadap kepentingan negara-negara adidaya barat yang demokratis, daripada mengedepankan proses dinamika sosial, politik dan kultural lokal yang alamiah dan independen. Argumentasi ini juga dikemukakan oleh Noam Chomsky dalam sebuah wawancara di mana dia mengatakan bahwa AS sebetulnya tidak ingin Timur Tengah mendapatkan demokrasi (yang sesungguhnya), dan bahwa sesungguhnya AS hanya akan menjatuhkan kediktatoran yang tidak sejalan dengan kepentingannya[8]. Chomsky juga mengemukakan bahwa argumentasi ini terbukti dari pengabaian AS terhadap demonstrasi yang serupa di Saudi Arabia dan Kuwait yang sesungguhnya memiliki sistem non-demokratis yang sama represifnya dengan negara-negara lain yang terkena Arab Spring. Terlebih lagi kemunculan kelompok-kelompok teroris seperti ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) atau kerap disebut IS (Islamic State) merupakan kendala tersendiri bagi berkembangnya demokrasi dari sisi grassroot maupun pemerintah berbagai negara di Timur Tengah. Belum lagi bila kita perhitungkan kemungkinan dijadikannya kemunculan ISIS yang anti-demokrasi sebagai bukti justifikasi intervensi lebih lanjut dari AS yang memiliki kepentingan nasional untuk menyebarkan nilai demokrasi.

Masa Depan Demokrasi Pada Umumnya

Akhir kata dari berbagai pembahasan dari dinamika Arab Spring dan intervensi AS di Timur Tengah di atas, bagi saya ada satu hal yang kita bisa setujui bersama. Dinamika demokrasi di masa depan pada umumnya tidak akan bisa lepas dari kepentingan dan dominasi oleh peran AS dan negara-negara barat aliansinya. Kini demokrasi tidak hanya ada sebagai subjek pertarungan idealisme ideologi semata, tetapi juga instrumen kepentingan mutakhir yang memberikan delusion of grandeur terhadap masyarakat beberapa negara bahwa mereka berhak mendapatkan kebebasan. Padahal sesungguhnya, semua itu hanyalah materi justifikasi semata bagi AS dan aliansinya dalam mengakomodasi dan mencapai kepentingan nasionalnya di suatu wilayah.

Indikator apakah sebuah negara demokratis atau tidak pun ditentukan oleh AS dan aliansinya. Hal ini terbukti dari adanya pengabaian terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Kuwait, atau beberapa negara di Asia Tenggara seperti Singapore dan Thailand di Asia Tenggara yang sesungguhnya memiliki sistem pemerintahan yang oligarkis dan otoriter, tetapi tidak terkena intervensi AS karena kepentingan AS untuk menjadikan mereka pivotnya. Bisa dibilang, prospek nilai demokrasi di masa depan tidak akan lepas dari unsur pragmatisme dan kepentingan ekonomi maupun politik dari negara tertentu. Oleh karena itu, mungkin akan sulit bagi beberapa negara yang memiliki nilai sosial dan kultural tertentu untuk berusaha mengadaptasi nilai-nilai demokrasi dalam dinamika perkembangan yang alamiah dan independen, karena terlalu banyaknya kepentingan dan intervensi dari negara-negara barat terhadap nilai demokrasi itu sendiri, terutama AS.

Semoga saja kedepannya konstelasi dunia internasional akan mampu untuk melepaskan diri dari poros dan pusaran pengaruh ‘demokrasi barat’ yang ada, sehingga bisa mulai mengkonstruksikan nilai demokrasi yang lebih adaptatif, alamiah, dan tentunya independen.

Tulisan di atas adalah opini pribadi.

[1] http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1784922/Arab-Spring

[2] http://www.washingtonpost.com/world/in-tunisia-act-of-one-fruit-vendor-sparks-wave-of-revolution-through-arab-world/2011/03/16/AFjfsueB_story.html

[3] http://middleeast.about.com/od/humanrightsdemocracy/a/Definition-Of-The-Arab-Spring.htm

[4] http://www.brookings.edu/research/interviews/2003/11/10globalgovernance-daalder

[5] Stone, James A. Shoemaker, David P., Dotti, Nicholas R. Interrogation: World War II, Vietnam, and Iraq. Washington, DC: National Defense Intelligence College, 2008.

[6] Miller, B. Democracy Promotion. Milennium - Journal of International Relations, P. 561-591, 2010.

[7] Ibid.

[8] http://www.democracynow.org/seo/2011/5/11/noam_chomsky_the_us_and_its

 

Sumber foto: Reuters.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun