Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keberuntungan Moral, Kejahatan dan Pertanggungjawaban Moral

2 Januari 2023   22:23 Diperbarui: 4 Januari 2023   06:37 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The good Samaritan from https://dreaminginthedeepsouth.tumblr.com/image/623407163939913728

Keberuntungan Moral, Kejahatan dan Pertanggungjawaban Moral.

Sekelompok orang berdiri mengelilingi tubuh yang telah mati terbunuh. Mereka saling mengenal satu dengan yang lain dan menyaksikan keterlibatan satu dengan yang lain. Satu menjadi eksekutor, satu menjadi perencana dan pemegang kendali, satu menjadi penggiring korban masuk tempat eksekusi, satu menjadi pengamat ketika semua terjadi, dan satu memilih keluar memalingkan mata dan menutup telinganya. Di luar ada sekelompok orang pun bertanya-tanya, Apakah ini kejahatan? Siapa yang paling bersalah? Mana yang harus dihukum?

Bilakah dia yang tangannya berdarah bisa disebut sebagai yang paling bersalah? Bilakah dia yang tidak melihat dan mendengar bisa disebut sebagai tidak jahat? Dan dalam hal ini, siapa yang harusnya bertanggungjawab? Lalu, bagaimana dengan orang-orang di sekeliling kejadian itu, apakah sama sekali tidak terlibat dalam kesalahan?

Tulisan ini akan menguraikan keterkaitan tindakan moral dengan kejahatan, serta pertanggungjawaban moral menggunakan konsepsi keberuntungan moral (moral luck).

Apakah keberuntungan moral?
Keberuntungan moral adalah kondisi dimana seseorang dinilai tindakan moralnya (benar atau salah) atau diberikan konsekuensi atas perilakunya (dipuji karena dianggap benar atau dicaci karena dianggap salah) walaupun sebenarnya orang tersebut tidak memiliki pilihan dan kendali atas tindakan atau konsekuensi tindakannya. Dia benar atau salah hanya karena nasib, sama sekali bukan karena pikiran dan kendali dirinya sendiri.

Contohnya, ada dua orang memiliki mobil dengan rem yang rusak. Yang satu turun ke jalan dan sialnya menabrak pelintas jalan, sedang yang satu turun ke jalan tapi tidak menabrak siapapun. Apakah satu lebih benar dari yang lain? Menurut keberuntungan moral, yang tidak menabrak dinilai tidak bersalah karena nasib baik tidak bertemu dengan pelintas jalan (beruntung), sedangkan yang menabrak menjadi bersalah karena bernasib buruk (tidak beruntung).

Dilema keberuntungan moral ini menunjukkan betapa perilaku moral tidak bisa dilihat dijelaskan hanya menggunakan penalaran dan rasionalitas saja. Idealnya, tindakan moral dilakukan karena penalaran dan pilihan moral, orang bertindak moral karena bisa membedakan benar dan salah. Tapi, jika kita mau jujur, bukankah ini juga yang kita hadapi sehari-hari, setiap kali akan melakukan tindakan moral "seberapa besar kendali kita atas tindakan kita dan konsekuensinya?" (Bernard Williams, 1981; Thomas Nagel, 1979).

Apakah kita sungguh tidak ditilang karena selalu patuh lalu lintas, ataukah karena kebetulan ketika kita melanggar aturan tidak ada polisi yang melihat? Lalu bisakah kita dinilai baik atau buruk berkendara hanya dengan melihat sejarah tilang?

Dari sini, kita dipaksa mengakui bahwa manusia tidak selalu bisa dijadikan subyek moral rasional. Terkadang, tindakan moral dan konsekuensinya terjadi bukan karena pilihan dan kehendak pribadi, tapi hanya karena beruntung tidak buntung. Orang tidak sungguh-sungguh memilih berperilaku moral maka segala konsekuensi benar-salahnya hanya karena keberuntungan moral.

Banyak orang yang menjadi warga-negara yang baik dan sukses karena dibesarkan dalam lingkungan kondusif, cukup makan, bisa mengakses pendidikan, dan memiliki orang tua yang konsisten mengawasi perilakunya; sehingga mereka bisa berperilaku sesuai aturan dan mencapai bintang keberhasilan. Sedangkan ada juga orang yang menjadi pecundang dan penjahat karena lahir dan dibesarkan dalam lingkungan miskin dan keras tanpa pengawasan orang tua yang cukup, akhirnya membuat mereka harus belajar bahwa menjual harga diri dan mencuri adalah cara untuk mengisi perut yang lapar serta bertahan hidup. Kita tidak bisa menentukan superioritas moral dengan hanya melihat konsekuensi tindakan moral individual.

Empat bentuk keberuntungan moral
Thomas Nagel (1979) menguraikan ada empat bentuk keberuntungan:

1. Keberuntungan moral Konsekuensi (resultant luck): Ketika dampak/hasil tindak moral (benar-salah) terjadi bukan karena kendali atau pilihan pelakunya. Contoh: dua pengendara truk sama-sama memiliki truk yang bermasalah remnya. Salah satu truk remnya blong dan menabrak mobil lain, sedangkan truk lainnya tidak menabrak mobil.

2. Keberuntungan moral Situasional (circumstantial luck): Ketika situasi yang dihadapi/dialami membuahkan konsekuensi tindakan moral walaupun pelaku tidak memiliki kendali/memilih situasi demikian. Contoh: dua simpatisan ISIS hidup di negara yang berbeda. Satu lahir dan tinggal di negara yang diduduki ISIS pada masa itu, maka dia mendaftar dan menjadi tentara lalu melakukan kejahatan kemanusiaan; sedangkan satunya tinggal di negara yang tidak didiami ISIS, maka hanya bisa melihat dari jauh dan tidak terlibat secara langsung melakukan kejahatan.

3. Keberuntungan moral Konstitutif (constitutive luck): Ketika seseorang memiliki disposisi, karakter, kemampuan, atau gen yang memampukan tindakan moral walaupun pelaku tidak memiliki kendali atas aspek konstitutif yang dimilikinya. Contoh: seorang anak lahir dari pasangan psikopat dan hidup di lingkungan tinggi kriminalitas, membuatnya memiliki probabilitas menjadi pelaku kriminal; sedangkan anak lahir dari keluarga pemimpin agama dan hidup dalam lingkungan religius, membuatnya lebih bisa belajar dan berperilaku sesuai moral agama.

4. Keberuntungan moral Kausal (causal luck): Ketika ada faktor anteseden eksternal/penyebab dari luar diri yang memunculkan/memfasilitasi tindakan moral namun pelaku tidak memiliki kendali atas faktor eksternal tersebut. Contohnya: seorang tentara membunuh karena diperintahkan membunuh oleh atasannya yang pangkatnya jauh lebih tinggi. Ia melakukannya karena merasa terancam jika tidak patuh. Seorang anak ingin mencontek pada saat ujian, namun karena Guru pengawas ujian duduk di dekatnya selama masa ujian, dia tidak jadi menggunakan contekannya.

Kesadaran keberuntungan moral dan pemeriksaan moral

Penjelasan Nagel tentang macam-macam keberuntungan moral ini seakan-akan meniadakan kemerdekaan manusia untuk memilih atau bertindak (free will), karena seakan-akan tindakan yang dilakukan hanya tergantung pada situasi atau faktor-faktor yang telah ditentukan di luar dirinya (determinism).

Namun menurut penulis, justru keberuntungan moral bisa digunakan untuk mengidentifikasi mana tindakan moral sesungguhnya, yang dilakukan karena niat (intention) dari dalam diri, bukan hanya terjadi karena sebab-situasi di luar kendali diri. Tindakan moral yang didasari niat pribadi dapat dimintai pertanggungjawaban moral. Dalam konteks hukum, niat ini sering disama-artikan dengan konsep mens rea.

Contohnya: anak lahir dan besar dalam lingkungan religius, bisa bertanya pada dirinya sendiri: apakah selama ini dia berperilaku moral karena patuh pada ajaran orang tua dan tidak ingin berbeda/ditolak komunitasnya (situational-causal luck), atau karena dia telah menelisik perkembangan imannya dan memiliki pemahaman baik-buruk yang menjadi panduan berperilakunya sendiri (intentional/self-guided moral behavior).

Titik pembeda antara tindakan moral adalah murni nasib-keberuntungan dengan tindakan moral sejati yang dipandu rasionalitas adalah ada tidaknya niat atau intensi moral yang disadari (conscious moral intention). Justru ketika manusia menyadari keterbatasannya, maka dia memiliki kebebasan untuk memilih tindakan moralnya. Tanpa kesadaran, tidak ada intensi pribadi; maka manusia akan terbelenggu oleh kendali eksternal dan keberuntungan moralnya saja. Tidak akan lahir tindakan moral yang sejati.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan tindakan moral sejati melalui intensi moral yang disadari, yaitu:

1. Individu perlu menyadari apa saja faktor/situasi eksternal yang dialami/dimiliki yang mempengaruhi kapasitas moralnya saat ini. Apa saja faktor-faktor yang bukan dalam kendalinya, namun mempengaruhi kemunculan dan konsekuensi tindakan moral yang (telah/akan) dilakukannya.

2. Individu perlu kembali pada nilai-nilai moral yang telah dipelajari/dikembangkannya selama ini serta yang telah dipilihnya menjadi dasar tindakan moralnya. Lalu mengambil keputusan tindakan moral yang akan dilakukan.

3. Individu memiliki intensi moral didasari kesadaran yang membuatnya melakukan tindakan moral yang sejati, artinya ia mampu melampaui faktor eksternal keberuntungan moral dengan keutamaan moral yang dimilikinya dari dalam (moral virtues of intention).

Jika seluruh tahapan ini terjadi, dengan adanya intensi moral yang disadari maka individu bisa dilihat sebagai pelaku moral yang sejati (genuine agency) dan bisa dikenai pertanggungjawaban atas tindakan moralnya.

Tahapan sederhana ini bisa menjadi panduan untuk memeriksa tindakan moral. Proses ini bisa terjadi dalam waktu yang panjang, namun bisa juga terjadi sangat cepat, terutama dalam kondisi mendesak. Secara psikologis, diketahui proses sensasi, persepsi hingga munculnya tindakan bisa terjadi dalam waktu hitungan detik saja.

Pertanggungjawaban individual dan komunal: siapa yang harus bertanggungjawab?

Dalam kasus di atas, kita bisa bertanya pada dia yang tangannya berdarah karena telah mengakhiri nyawa, apakah dia sungguh telah memiliki intensi dan mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup orang lain sehingga dia layak disebut pembunuh? Ataukah keputusan membunuh itu diambil oleh orang lain, yang perlu dikenakan konsekuensi atas niat dan rencana jahatnya. Jika diketahui telah ada niat, rencana dan motif jahat (menyakiti/merugikan orang lain) sebelum tindak kejahatan, maka dia dapat disebut melakukan kejahatan.

Kita juga perlu bertanya pada dia yang tangannya tidak tampak berdarah, sungguhkah dia tidak bersalah, atau murni beruntung karena tidak terlibat pada saat kejadian, ataukah berupaya menutupi kebohongan? Sebaiknya, penelusuran proses intensi moral yang disadari dan agentiknya perlu dilakukan. Jika telah ada niat, rencana dan motif jahat, walaupun menggunakan tangan orang lain untuk melakukan kejahatannya, maka dia juga turut bersalah.

Pertanyaan yang muncul berikutnya, bagaimana jika dalam suatu fenomena, orang-orang tidak bisa memunculkan moral intensional yang disadari dan tidak mampu menghasilkan tindakan moral sejati? Atau, moralitas mereka hanya terkukung dalam keberuntungan moral.

Menurut penulis, kondisi miskin moral intensional adalah indikasi pentingnya pertanggungjawaban komunal dan desakan perubahan pada level lingkungan. Sayangnya, kita sering terlalu terfokus pada pertanggungjawaban moral individual, dan mengabaikan pertanggungjawaban komunal. Dari dilema keberuntungan moral kita menyadari bahwa tindakan individual sangat dipengaruhi faktor lingkungan eksternal. Maka, lingkungan yang menaungi orang-orang miskin moral tersebut harus segera berbenah. Ketiadaan keutamaan moralitas, ketidakmampuan membangun intensi moral yang disadari adalah buah pengkondisian lingkungan yang memiskinkan moralitas agentik manusia. Jika manusia diperlakukan sebagai robot tanpa kemampuan berpikir kritis dan hanya diberikan pekerjaan rutin agar patuh, maka kapasitas intensi moral yang disadari akan tergerus habis. Perlu dipahami, pada lingkup kerja yang terkait dengan menentukan benar-salah, justru diperlukan orang-orang yang memiliki keutamaan moral agentik yang kuat dan menonjol. Maka proses moralitas agentik justru harus diperkuat bukan diperlemah.

Simpulan

Dampak dari konsepsi keberuntungan moral, kita memahami bahwa individu tidak selalu bisa dimintai pertanggungjawaban tindakan dan konsekuensi tindakannya. Bahkan salah jika kita hanya terpaku menilai moralitas hanya dari hasil/konsekuensi tindakan seseorang. Lebih jujur jika mengakui banyak perilaku moral manusia sebenarnya terjadi by luck atau di luar kendalinya.

Mengenai pertanggungjawaban moral, selama ini kita terfokus pada pertanggungjawaban individual. Namun, dengan pemahaman keberuntungan moral, kita perlu menyadari bahwa peran lingkungan komunal-eksternal sangat besar dalam memunculkan tindakan moral pada level individual. Pada titik tertentu, pertanggungjawaban moral perlu dilakukan secara komunal; lingkungan harus dikoreksi dan berbenah diri agar lebih memampukan kapasitas agentik moral dan intensi moral yang disadari pada level individual.

Referensi

Stanford Encyclopedia of Philosophy (2004). Moral luck. Diakses dari https://plato.stanford.edu/entries/moral-luck/#GenProMorLucKinLuc

Oleh Margaretha
Pengajar di Universitas Airlangga sedang menempuh pendidikan lanjut di the University of Melbourne

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun