Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Vs Kendali

6 Oktober 2021   12:12 Diperbarui: 5 Januari 2022   10:49 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi - A Rainbow Lorikeets (parrot)

Tentang Jalan (Tao) vs Kendali
Too much of the animal distorts the civilized man, too much civilization makes sick animals (Carl Jung).

Saya menemukan kelompok diskusi online tentang filosofi Cina, Tao Te Ching. Hari ini kami berdiskusi tentang bab 32, mengenai Tao sebagai Jalan yang tidak bisa dinamai (cannot be named). Dalam tulisan ini, saya menuliskan sedikit tentang belajar saya.
Tao atau Dao diartikan sebagai the Way - "Jalan" atau kadang diartikan sebagai the Law - hukum/pedoman/aturan, tapi saya lebih memilih menyebutnya sebagai the Way - Jalan.

Dalam beberapa tradisi dan agama, the Way adalah Jalan menuju ke sesuatu yang bersifat ketuhanan (deity) atau Jalan Kebenaran atau menuju ke keselarasan dengan alam semesta (the universe).

Menurut Tao, Jalan ini kekal (unchanging), dalam kondisi aslinya adalah murni (uncut/uncarved wood) dan tak bernama (nameless). Ketika Jalan terjadi dalam pengalaman manusia, maka manusia berusaha memahaminya dengan memberikan nama. Manusia biasanya menamai hal-hal yang ingin dia pahami, dan berikutnya dia kendalikan dalam wujud aturan-aturan (rules/principles). Namun, nama dan aturan ini membuat Jalan tidak lagi berada dalam esensinya atau bukan dalam kondisi murninya. 

Yang muncul sebenarnya dalam memberikan nama dan aturan adalah upaya kendali. Ketika manusia berusaha memahami dan mengontrol pengalamannya. Selanjutnya, ketika aturan-aturan itu dikenakan ke manusia-manusia lain, akan ada yang berperan sebagai penguasa. Maka sebenarnya aturan-aturan itu malah menjauhkan Jalan dari esensinya. Dalam keadaan murni, manusia akan selaras walau tanpa aturan. Berada di dalam Jalan ini seharusnya terjadi secara alami, seperti aliran sungai turun ke lembah, ke laut.

Saya melihat ini terjadi dalam masyarakat kita. 

Semakin banyak aturan yang dibuat dan dikenakan pada manusia dalam hidupnya. Semakin banyak kendali yang ditekankan pada perilaku yang dinilai benar atau salah. Semakin banyak pula muncul figur "pemimpin" yang menugaskan dirinya memberikan peraturan-peraturan pada manusia lain. 

Aturan-aturan ini adalah kendali dari manusia satu atas manusia lain. Sebagai akibatnya, manusia pada kebanyakannya menjadi terikat aturan dalam berpikir, merasa dan berperilaku, untuk hidup di dunianya.

Jika manusia hanya menjadi obyek patuh aturan, manusia malah menjauh dari Jalan (the Way).

Hidup dengan banyak kendali-aturan yang dibuat manusia lain. Seakan-akan manusia tidak mampu lagi secara alamiah hidup selaras dengan manusia lain, malah menjauh dari alam semestanya. 

Seakan-akan manusia buta dan tidak mampu lagi mengenali Jalan, yang seharusnyanya dilakukan alamiah.

Semakin konservatif dan semakin banyak aturan membuat kita tidak bisa menjadi diri alami. Bahkan berperilaku "baik" dilakukan hanya karena aturan, atau takut melanggar peraturan. Akibatnya perilaku "baik" jadi tidak lagi murni manusiawi. Manusia seharusnya tahu kapan harus berhenti membuat belenggu aturan.

Apakah perilaku "baik" itu? Jika dilakukan bukan berdasar pada keselarasan alamiah manusia sebagai bagian dari alam. Jika "baik" hanya dilakukan agar kelihatan "baik" dan diterima oleh kelompok tertentu yang mengusung aturan-aturan tersebut; tapi tidak peduli pada orang-orang lain di alam semesta yang lebih luas.

Sungguhkah alam berada dalam kondisi alamiahnya jika kita terkotak-kotak antara "mereka" dan "kita"? Apakah kita telah menjadi bagian alam yang alamiah saat ini? Ataukah alam kita adalah buatan yang terdiri atas kendali-aturan?

Banyaknya kendali-aturan yang dibuat manusia adalah responnya terhadap ketidakpastian. Semakin banyaknya aturan adalah upaya kita "mengontrol" hal-hal yang sulit dihadapi (illusion of control). 

Mungkin juga, banyaknya aturan muncul sebagai reaksi rasa takut karena menghadapi hal-hal yang tidak dipahami. Semakin takut dan cemas kita, semakin banyak kendali dan semakin banyak aturan muncul membelenggu diri.

Dalam kondisi seperti ini, akan muncul orang-orang yang menempatkan diri sebagai penguasa, si pembuat aturan. 

Menempatkan diri sebagai pemimpin, mengendalikan dengan dalil-dalil agama, memerintah atas nama tuhan. Dalil-dalil itu membuahkan semakin banyak aturan.

Mungkinkah kemunculan dalil-dalil mengindikasi bahwa kita sedang cemas menghadapi hidup yang penuh ketidakpastian ini?

Mungkinkah ketika kita memerintah atau diperintah dengan terlalu banyak aturan, sebenarnya kita sedang berusaha mengendalikan tuhan karena kita kewalahan menghadapi realita?

Mungkin, dalam menghadapi hal-hal yang kita tidak bisa pahami, kita perlu kembali menjadi manusia saja. Manusia bagian dari alam. Kembali ke hati nurani manusiawi, bukannya membelenggu diri dengan semakin banyak aturan.

Menurut saya, menjadi selaras artinya kembali mendengarkan kemanusiaan kita, yang ada di dalam hati nurani. Mengakui kemanusiaan kita - kelemahan dan kekuatan, menerima dalam suka dan duka; berada dalam diri (being) yang merupakan bagian dari alam semesta.

Mungkin, kembali ke kemanusiaan artinya seperti berada di alam menikmati burung, pohon dan matahari; hadir tanpa harus terbentuk kata-kata di kepala untuk melabelnya dan tanpa harus mengendalikannya sebagai stimulus-persepsi di alam berpikir kita. 

Berada di Jalan, berhubungan dengan Tuhan seharusnya menjadi suatu hal yang sangat alamiah. Sangat manusiawi.

Kembali ke kemanusiaan kita, artinya kita memilih Jalan untuk mengarahkan diri sendiri. Jika tidak kita lakukan, maka akan ada orang-orang lain yang mengambil alih kendali atas diri kita.

Melatih diri menjadi manusia di dunia sepertinya lebih menarik.

Tao Te Ching chapter 32

The Way goes on forever nameless.
Uncut wood, nothing important,
yet nobody under heaven dare try to carve it.

If rulers and leaders could use it,
the ten thousand thingswould gather in homage,
heaven and earth would drop sweet dew,
and people, without being ordered, would be fair to one another.

To order, to govern, is to begin naming;
when names proliferate it's time to stop.

If you know when to stop you're in no danger.
The Way in the world is as a stream to a valley, a river to the sea.

*Translation by Ursula Le Guin

The Way is unchanging law,
its manifestation cannot be named.

Although the Tao is imperceptible,
the world cannot subjugate it.

If ruler can stay with the Tao,
all things would voluntarily follow him.

Nature (sky and earth) in harmony would rain with sweet dew.
people would self-adjust without government orders.

The social norms would abide by their names.
As names are established, people would know how to behave.
(know where to stop then you have no danger)
As people know how to behave, the social order would be sustained.

The Tao to the world is the same as,
brooks to the basin, and rivers to the sea.

*Translation by Jason Peng

Jalan (Tao) adalah kekal
tanpa nama.

Meskipun Jalan (Tao) tidak terlihat
dunia tidak dapat menaklukkannya.

Jika penguasa bisa menggunakan Jalan (Tao)
Maka semua akan secara sukarela mengikutinya.

Alam (langit dan bumi) dalam harmoni seperti hujan jatuh dengan embun manis.
Orang akan menyesuaikan diri tanpa perintah, berlaku adil satu sama lain.

Memberi perintah, memerintah, berarti mulai memberi nama.
Ketika nama-nama terus bertambah saatnya untuk berhenti.
Siapa yang mengetahui di mana harus berhenti tak akan mendapat bencana.

Jalan (Tao) di dunia sama dengan
aliran anak sungai ke lembah, dan sungai ke laut.

*Terjemahan pribadi

Penulis: Margaretha

Mahasiswa di the University of Melbourne.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun