Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Vs Kendali

6 Oktober 2021   12:12 Diperbarui: 5 Januari 2022   10:49 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin konservatif dan semakin banyak aturan membuat kita tidak bisa menjadi diri alami. Bahkan berperilaku "baik" dilakukan hanya karena aturan, atau takut melanggar peraturan. Akibatnya perilaku "baik" jadi tidak lagi murni manusiawi. Manusia seharusnya tahu kapan harus berhenti membuat belenggu aturan.

Apakah perilaku "baik" itu? Jika dilakukan bukan berdasar pada keselarasan alamiah manusia sebagai bagian dari alam. Jika "baik" hanya dilakukan agar kelihatan "baik" dan diterima oleh kelompok tertentu yang mengusung aturan-aturan tersebut; tapi tidak peduli pada orang-orang lain di alam semesta yang lebih luas.

Sungguhkah alam berada dalam kondisi alamiahnya jika kita terkotak-kotak antara "mereka" dan "kita"? Apakah kita telah menjadi bagian alam yang alamiah saat ini? Ataukah alam kita adalah buatan yang terdiri atas kendali-aturan?

Banyaknya kendali-aturan yang dibuat manusia adalah responnya terhadap ketidakpastian. Semakin banyaknya aturan adalah upaya kita "mengontrol" hal-hal yang sulit dihadapi (illusion of control). 

Mungkin juga, banyaknya aturan muncul sebagai reaksi rasa takut karena menghadapi hal-hal yang tidak dipahami. Semakin takut dan cemas kita, semakin banyak kendali dan semakin banyak aturan muncul membelenggu diri.

Dalam kondisi seperti ini, akan muncul orang-orang yang menempatkan diri sebagai penguasa, si pembuat aturan. 

Menempatkan diri sebagai pemimpin, mengendalikan dengan dalil-dalil agama, memerintah atas nama tuhan. Dalil-dalil itu membuahkan semakin banyak aturan.

Mungkinkah kemunculan dalil-dalil mengindikasi bahwa kita sedang cemas menghadapi hidup yang penuh ketidakpastian ini?

Mungkinkah ketika kita memerintah atau diperintah dengan terlalu banyak aturan, sebenarnya kita sedang berusaha mengendalikan tuhan karena kita kewalahan menghadapi realita?

Mungkin, dalam menghadapi hal-hal yang kita tidak bisa pahami, kita perlu kembali menjadi manusia saja. Manusia bagian dari alam. Kembali ke hati nurani manusiawi, bukannya membelenggu diri dengan semakin banyak aturan.

Menurut saya, menjadi selaras artinya kembali mendengarkan kemanusiaan kita, yang ada di dalam hati nurani. Mengakui kemanusiaan kita - kelemahan dan kekuatan, menerima dalam suka dan duka; berada dalam diri (being) yang merupakan bagian dari alam semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun