Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tentang Menemukan Diri

2 Oktober 2021   16:14 Diperbarui: 27 Agustus 2024   18:52 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://catatanmini.com/

Aku dan aku dipengaruhi konteks waktu. Aku melihat aku di usia 15 tahunan, akan berbeda ketika Aku melihatnya di usia 18 tahunan (sebagai anak muda) atau di usia 40 tahunan (sebagai Ibu). Perspektif Aku berubah seiring pengalaman hidup. Maka diri bisa berubah seiring perubahan waktu.

Aku dan aku bisa dipengaruhi konteks sosial. Nilai dan sistem sosial yang dipahami Aku bisa mempengaruhi cara pandangnya. Juga, aku akan bertindak karena dipengaruhi nilai-nilai yang dianutnya di masa tertentu. Sepanjang hidup, nilai-nilai yang kita pelajari bisa berubah, juga bisa relatif sama. Diri bisa berubah dan relatif sama karena dipengaruhi nilai-nilai yang diserap dari lingkungan sosial.

Hal ini tidak mudah dipahami bukan? Ada beberapa penyebab kita agak sulit memahami diri seperti ini.

Dalam Bahasa Indonesia, kita kebanyakan hanya bisa mengenali diri sebagai satu konsep, contohnya: aku atau saya sebagai subyek dan obyek menggunakan kata yang sama. Maka menjadi agak sulit mengurai diri sebagai jamak. Berbeda dengan Bahasa Inggris yang membedakan I dan me. Mungkin aspek Bahasa ini turut mempengaruhi bagaimana kita memahami diri kita.

Faktor pengaruh lingkungan dan budaya juga besar dalam memahami diri. Dalam lingkungan konservatif, dimana jarang dibicarakan perasaan dan pikiran, atau anak tidak dilatih untuk memahami dan menyatakan perasaan, pikiran dan keinginannya, atau anak hanya diminta patuh dan tidak mempertanyakan otoritas orang tua, maka  pemahaman atas diri menjadi kurang kuat. 

Konsep diri yang terbentuk kemungkinan hanya imitasi dari orang tua atau bentukan kebiasaan tanpa proses yang disadari. Akibatnya, mereka cenderung menjadi pribadi rigid, sulit memahami dirinya sendiri serta kurang mampu mengelola perubahan.

Orang-orang yang dibesarkan dalam komunikasi terbuka dan difasilitasi berpikir reflektif, kemungkinan akan lebih mampu mengenali Aku dan aku. Dan jika kita bisa melatih kesadaran diri seperti ini, maka kita bisa menjadi manusia yang adaptif, diri yang selalu memiliki kemampuan merubah diri.

Dapat disimpulkan, bahwa kesadaran diri bukanlah kapasitas bawaan lahir, namun perlu dibangun dengan latihan-latihan menemukan diri sepanjang hidup.

Aku sebagai agen perubahan

Berikut beberapa contoh.

Contoh 1. Aku mengamati aku sebagai murid di sekolah yang mencontek ketika ujian di masa SMP. Aku adalah subyek yang sedang mengamati ingatan tentang aku di masa lalu. Aku mengamati bahwa aku mencontek karena tidak siap belajar untuk ujian dan tergoda dengan cara cepat mendapatkan nilai. Aku membayangkan, andai aku lebih bisa membuat prioritas belajar, maka aku menyediakan waktu belajar yang cukup sehingga tidak perlu mencontek ketika ujian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun