Penggunaan alkohol telah lama diketahui sangat terkait dengan bunuh diri. Sifat alkohol adalah depresan, atau menurunkan aktivitas otak, menurunkan kesadaran dan kemampuan penilaian; sebagai akibatnya orang yang terpengaruh alkohol dapat mengambil keputusan-keputusan yang salah. Dampak jangka panjang penggunaan alkohol adalah depresi, yang juga bisa berujung pada peningkatan resiko bunuh diri.
Penyalahgunaan obat stimulan juga dapat terkait dengan bunuh diri. Zat stimulan (contohnya: amphetamine, kokain) akan mempengaruhi meningkatnya aktivitas di otak, dan akibatnya orang akan menjadi lebih bersemangat, mudah terangsang, dan gembira yang meluap (euphoria).Â
Namun, dampak negatif penggunaan stimulan akan sangat terasa ketika efek obat mulai hilang. Mood yang tadinya naik karena penggunaan zat, akan turun secara ekstrem yang dapat menyebabkan efek perubahan mood yang menonjol (mood swings) dan bahkan individu bisa merasa kehilangan kontrol diri (lost of control) dan tidak berdaya (helplessness).
Dan jika obat stimulan digunakan secara salah atau tidak dalam pengawasan psikiater (drug abuse) dan dilakukan oleh orang yang sedang mengalami depresi klinis, maka dampaknya bisa sangat buruk karena akan memperparah kondisi depresinya. Hal ini bisa berujung pada kematian bunuh diri.
Simpulan
Dari berbagai riset yang dilakukan di dunia, telah diketahui bahwa resiko utama kematian bunuh diri adalah depresi sebagai salah satu gangguan mood. Maka, dalam otopsi psikologis akan digali riwayat apakah korban bunuh diri pernah atau tengah mengalami depresi di masa akhir hidupnya.
Selain dari itu, berbagai faktor psikologis dan faktor sosial akan digali untuk bisa menjelaskan mengapa pada titik hidupnya tersebut, seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Namun, jika tidak ditemukan penjelasan yang meyakinkan telah terjadi kematian disebabkan bunuh diri, maka perlu dicari penjelasan penyebab kematian lainnya.
Penjelasan kematian menjadi suatu hal yang penting dipahami. Bukan hanya untuk memenuhi proses hukum, namun juga karena menjadi kebutuhan pemahaman dan penerimaan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Referensi
- Hjelmeland, H., Dieserud, G., Dyregrov, K., Knizek, B.L., & Leenaars, A.A. (2012). Psychological Autopsy Studies as Diagnostic Tools: Are They Methodologically Flawed? Death Studies, 36, 605-626.
- Isometsa, E.T. (2001). Psychological autopsy studies -- A review. European Psychiatry, 16, 379-385.
- Kelly, T.M., & Mann, J.J. (1996). Validity of DSM-III-R diagnosis by psychological autopsy: a comparison with clinician ante-mortem diagnosis. Acta Psychiatrica Scandinavia, 94, 337-343.
- Milner, A., Sveticic, J., & De Leo, D. (2012). Suicide in the absence of mental disorder? A review of psychological autopsy studies across countries. International Journal of Social Psychiatry, 59, 545-554.
- Wolford-Clevenger, C., Febres, J., Zapor, H., ELmquist, J., Bliton, C., & Stuart, G.L. (2015). Interpersonal Violence, Alcohol Use, and Acquired Capability for Suicide. Death Studies, 39, 234-241.
- Yoshimasu, K., Kiyohara, C., & Miyashita, K. (2008). Suicidal risk factors and completed suicide: meta-analyses based on psychological autopsy studies. Environmental Health Preventive Medicine, 13, 243-256.
Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Artikel serupa dipublikasi di website psikologiforensik.com yang dikelola pribadi oleh penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H