Misalkan: terkadang, korban tidak bisa terbuka pada orang tuanya, namun lebih bisa terbuka pada pacarnya. Maka penyelidik perlu memahami benar, pada siapa ia harus melakukan wawancara otopsi psikologis.
Interview dilakukan dengan memperhatikan etika, yaitu tidak mengganggu masa berduka keluarga (wawancara bisa dimulai sekitar 3-4 bulan setelah kematian). Mengapa perlu menghargai masa duka? Hal ini dilakukan dengan asumsi keluarga yang melalui proses berduka akan lebih siap masuk dalam proses wawancara. Maka, dampaknya mereka akan lebih terbuka dan kooperatif dalam memberikan informasi mengenai mendiang korban.
Jika kurang menghargai masa berduka, ada kemungkinan, orang terdekat menjadi lebih membatasi informasi karena belum sanggup bercerita tentang korban. Terlebih, jika menyangkut informasi yang terkesan negatif mengenai mendiang korban.
Di beberapa budaya, bahkan kerabat akan menolak berbicara buruk mengenai mendiang korban. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kualitas informasi yang akan dikumpulkan.
Interview dengan tenaga kesehatan (misalkan: dokter pribadi) juga perlu dilakukan untuk memahami apakah ada persoalan atau kebutuhan kesehatan dan perawatan yang diakses korban di masa akhir hidupnya.
Dari wawancara dengan dokter, psikiater, psikolog atau tenaga profesional kesehatan lainnya; akan juga didapatkan gambaran apa tekanan/stress yang tengah dihadapinya, dan bagaimana dampak stress tersebut dalam fungsi hidupnya sehari-hari di masa akhir hidup korban.
Otopsi psikologis dilakukan oleh seorang profesional di bidang forensik dengan tata cara penggalian perilaku secara ilmiah. Protokol wawancara psikiatri/psikologi klinis akan terdiri dari pertanyaan obyektif yang komprehensif dan penggalian informasi kualitatif secara mendalam.
Jumlah informan seharusnya jamak agar bisa mendapatkan keutuhan informasi mengenai riwayat korban hingga masa akhir hidupnya. Selain itu, penyelidikan otopsi psikologis juga harus dilakukan  oleh beberapa ahli (idealnya lebih dari 2 orang), agar dapat dilakukan analisa penilaian antar-penyelidik (inter-rater reliability).
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir bias penilaian subyektif. Otopsi psikologis dianggap ajeg atau konsisten ketika antar penyelidik mencapai simpulan dengan tingkat kesepakatan yang cukup tinggi.
Artinya, proses otopsi psikologis dalam rangka memahami apa dan bagaimana kematian terjadi akan membutuhkan waktu. Namun, dalam rangka mencapai pemahaman dan titik terang kejadian, hal ini tepat dan penting dilakukan.
Mengapa orang memutuskan bunuh diri
Dari berbagai review penelitian mengenai penyebab bunuh diri, diketahui bahwa ada 2 faktor penyebab utama.
1.Gangguan mood (mood disorders)
2.Gangguan terkait penyalahgunaan zat (substance use disorders)
Keduanya adalah sindrom gangguan psikologis yang berdampak menurunnya kemampuan manusia untuk mencoba menyelesaikan persoalan yang dihadapinya secara solutif; sehingga akhirnya bisa menyerah dan memutuskan mengakhiri hidupnya.