Mohon tunggu...
Margareth
Margareth Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu dua anak yang terus berjuang untuk menjadi murid yang taat ditengah ketidaksempurnaannya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hati-hati dengan Ambisi

2 Desember 2022   23:08 Diperbarui: 2 Desember 2022   23:23 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada sekitar tahun 1870-an sampai 1890-an, seorang paleontolog Amerika Serikat bernama Othniel Charles Marsh bersaing dengan rivalnya sesama paleontolog bernama Edward Drinker Cope dalam hal Perburuan Dinosaurus Terbesar (The Great Dinosaur Rush). Peristiwa ini juga dikenal dengan peristiwa "Bone Wars (Perang Tulang)".

Otniel Charles Marsh adalah seorang paleontolog dari Amerika Serikat, dia adalah salah satu ilmuwan yang paling unggul di bidangnya pada masanya. Marsh memiliki kontribusi penting dalam penemuan lusinan spesies baru serta teori mengenai asal usul burung. Marsh berasal dari keluarga yang relatif miskin di bagian utara New York, meski pun memiliki paman yang sangat kaya. Setelah lulus dari Yale College, dia berkeliling dunia untuk mempelajari anatomi, mineralogi dan geologi sekitar tahun 1860. Setelah berkeliling dunia, dia kembali ke Yale untuk bekerja sebagai pengajar. 

Pada sekitar tahun 1870-an, dia bertemu dengan Edward Drinker Cope, seorang yang juga berkebangsaan Amerika dan merupakan seorang yang ahli dalam bidang paleontologi dan anatomi komparatif, serta herpetologis dan juga seorang ahli ikan. Berbeda dengan Marsh, Cope berasal dari keluarga yang cukup berada di Pennsylvania dan ia sudah mampu menerbitkan karya ilmiah di usia 19 tahun. Meskipun ayahnya mencoba untuk mendidiknya sebagai seorang petani, pada akhirnya ia dapat menerima minat ilmiah yang ditunjukkan oleh anaknya.

Pada awalnya Cope dan Marsh adalah rekan kerja yang ramah, mereka bertemu di sebuah proyek penelitian, dimana pada saat itu Eropa Barat bukan Amerika Serikat, menjadi garis terdepan dalam penelitian paleontologi. Bagian dari masalah mereka berasal dari latar belakang mereka yang berbeda. Marsh menganggap Cope memiliki sedikit penggemar, tidak terlalu serius tentang paleontologi, sementara Cope menganggap Marsh terlalu kasar dan tidak tepat menjadi seorang ilmuwan sejati. Persaingan diantara keduanya terlihat semakin sengit ketika mereka sama-sama berlomba mendapatkan fosil dinosaurus terbaik. 

Segala cara dilakukan, mulai dari melakukan kecurangan, penyuapan, pencurian, dan penghancuran tulang untuk mengalahkan satu sama lain. Setiap pesaing juga berusaha merusak reputasi dan memotong pendanaan, serta melakukan serangan dalam hal publikasi ilmiah. Kedua pria tersebut telah menghabiskan kekayaan mereka untuk mencapai supremasi paleontologis di akhir Perang Tulang tersebut. Cope dan Marsh jatuh secara finansial dan sosial akibat upaya mereka dalam bersaing dan mempertahankan ambisinya untuk mempermalukan satu sama lain.

Ada hal yang penting dapat kita pelajari dari kisah konflik dua ahli paleontologi ini, betapa ambisi manusia seringkali tidak mendatangkan hal yang baik dalam kehidupannya. Apakah memiliki ambisi itu salah? Apakah salah jika kita ingin menjadi yang terbaik? Bisa ya, bisa juga tidak. Perbedaan antara ambisi yang benar dan salah terletak pada tujuan dan motivasi kita, Apakah itu untuk kemuliaan Allah atau untuk kemuliaan diri sendiri. Namun, seringkali ambisi memang mengarah ke sisi yang negatif dan disamakan dengan kesombongan.

Jika kita bisa jujur dengan diri sendiri, kesombongan adalah bagian dari godaan yang susah untuk ditaklukan. Kesombongan itu begitu unik sampai kita sendiri tidak suka bila ada orang lain yang lebih sombong dari kita. Kesombongan itu bukan hanya saat ada sesuatu dalam diri kita atau milik kita yang lebih dari orang lain, tetapi bahkan ketika seseorang tidak punya apapun atau tidak bisa apa-apa, dia tidak akan mau diremehkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena memang kehormatan itu ada dalam diri manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. 

Oleh sebab itu kita sangat tidak suka dihina, diremehkan atau direndahkan. Jadi ketika kita mengharapkan pengakuan, penghormatan pada diri sendiri sebenarnya itu tidaklah salah. Tetapi diri kita ini sudah dicemari oleh dosa.

Ketika kita melihat kembali mengenai asal mula dosa, itu juga berawal dari ambisi Adam dan Hawa di Taman Eden. Mengapa mereka jatuh dalam dosa? Apakah karena buah yang sangat menarik mata untuk memakannya? Tidak. Dosa bukan datang dari buah yang kelihatannya menarik yang ada di taman itu, karena tentu saja di Taman Eden tumbuh semua tanaman yang menarik dan baik untuk dimakan buahnya, dan selain itu Allah sendiri yang membuatnya-bukan tangan manusia biasa (Kejadian 2:9). Jadi bisa dibayangkan betapa cantik dan luar biasa indah Taman Eden itu. 

Tetapi yang membuat Hawa tertarik bukanlah buahnya, tetapi ketika ular berkata kepada Hawa, "kalau engkau memakan buah ini, engkau akan menjadi seperti Allah". Dalam hati Hawa mungkin berpikir, boleh juga tawaran ini: yang awalnya hanya gambar Allah ditawarkan untuk menjadi seperti Allah, yaitu bisa membedakan yang baik dan yang jahat. Hawa kemudian membujuk Adam, dan nampaknya keinginan yang sama juga ada di dalam hati Adam dan akhirnya keinginan itu dibuahi menjadi suatu tindakan, maka jatuhlah mereka ke dalam dosa. Timothy Keller, seorang pastor dari Amerika, menggambarkan dosa sebagai berikut:

"Sin is not just breaking the rules, it is putting yourself in the place of God as Savior, Lord, and Judge just as each son ought to displace the authority of the father in his own life" (dosa bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga menempatkan diri kita pada posisi sebagai Allah sebagai Juruselamat, Tuhan dan Hakim sama seperti seorang anak harus menggantikan otoritas ayahnya dalam hidupnya sendiri).

Esensi dari dosa terletak pada kenyataan bahwa Adam meletakkan dirinya dalam keadaan bertentangan dengan Allah, dan ia menolak untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah, dan menolak membiarkan Allah menentukan seluruh jalan hidupnya. Ia secara aktif berusaha mengambilnya dari tangan Allah dan menentukan masa depannya sendiri.

Akibat dari kejatuhan ini maka seluruh umat manusia menurunkan natur yang telah rusak hadir dalam kuasa yang ada pada manusia. Ambisi yang ada dalam diri manusia sudah tercemar oleh dosa dan menjadi tidak kudus. Rasanya tidak ada satupun orang yang tidak suka dipuji, dijadikan nomor satu, dihormati, dihargai bahkan ada kecenderungan dalam diri kita akan senang jikalau kita ini terlihat lebih hebat daripada orang lain. Apalagi bila kita diperhadapkan pada sebuah posisi atau kedudukan atau jabatan tertentu, tentu natur kita sebagai manusia ingin sekali hal-hal tersebut menjadi milik kita. 

Ambisi ini bukan hanya muncul pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak. Saya pernah melihat sebuah acara TV reality show berjudul "Dance Moms" dimana pemilik studio dance di Liverpool Inggris bernama Jennifer Ellison melatih dan mempersiapkan anak-anak perempuan untuk meraih mimpinya menjadi penari yang terbaik dan memenangkan banyak Tropi. Di balik ambisi melatih anak-anak didiknya menjadi juara, dalam diri Jennifer Ellison sendiri ada suatu keinginan agar tempat studionya menjadi terkenal dan disegani, dengan demikian membawa para ibu mendaftarkan anak-anak perempuannya di studio miliknya. 

Ambisi ini juga dirasakan oleh para ibu yang selalu saja menuntut anak-anaknya untuk melakukan yang terbaik agar dapat dapat terpilih mewakili studio Jennifer untuk mengikuti World Competitive Dance. Demikian juga dengan anak-anaknya memunculkan ambisi-ambisi yang semakin tidak sehat, ketika mereka berusaha untuk membuat temannya gagal mengikuti proses audisi. 

Jadi di dalam natur berdosa kita, apa yang semestinya kita waspadai agar ambisi yang ada dalam diri tidak menjadi salah? Ketika kita tidak (mau) tahu rencana Allah, kita akan memberi ruang bagi ambisi yang salah. Natur berdosa kita membuat kita tidak mampu untuk mengerti apa kehendak Tuhan bagi diri kita. Maka sesungguhnya kita perlu untuk tahu terlebih dahulu apa tujuan hidup kita, apa tujuan Tuhan menciptakan kita dan apa panggilan Tuhan buat diri kita. Percuma jika kita berlari terus dengan kencang, tetapi ternyata kita hanya berlari ditempat dengan sia-sia. 

Dengan demikian kita perlu melihat apa rencana Tuhan dalam hidup kita, apakah yang selama ini kita berambisi terus mengejarnya, seperti karir, keluarga yang bahagia, hidup yang tercukupi, badan yang selalu terlihat langsing, kesehatan yang selalu terjamin, mendapatkan penghormatan dan pengakuan dimana-mana adalah kesenangan yang sejati buat kita?

Namun, dapatkah kita mengetahui rencana Allah dalam hidup kita kalau kita tidak dekat dengan Firman Yesus Kristus. Yesus Kristus telah datang untuk menggenapi rencana Allah. Dia mengorbankan segala-galanya untuk mendapatkan kita. Ambisi Allah adalah untuk menyelamatkan kita manusia berdosa, dengan cara merelakan anakNya yang tunggal turun dari sorga yang kudus ke dunia yang penuh cemar. Inilah ambisi yang kudus yang Allah ajarkan: tidak menempatkan diri kita diatas segala-galanya.

Tetapi mengutamakan orang lain dan mementingkan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri. Ini berarti, kita dapat menyadari ketika ada ambisi yang tidak kudus dalam diri kita pasti akan bertolak belakang dengan apa yang Yesus Kristus lakukan. Jika kita masih mengorbankan orang lain untuk mendapatkan apa yang kita mau, hal inilah yang seharusnya kita waspadai. 

Ketika saya menuliskan hal ini saya juga mencoba mengenali apa yang ada dalam diri saya sendiri. Seringkali saya mengatakan saya tidak punya waktu untuk melakukan sesuatu hal karena berpikir saya sudah terlalu sibuk dengan apa yang saya kerjakan saat ini. Ketika saya menolak sesuatu atau mengatakan tidak ada waktu, mungkin sebenarnya bagi saya hal tersebut saya anggap tidak penting. 

Tetapi ketika hidup ini terus menggumulkan dan mencari tahu apa panggilan Tuhan untuk hidup kita, apa yang Tuhan ingin kita lakukan, dan jika kita juga sungguh mendedikasikan waktu, tenaga, konsentrasi untuk merealisasikan rencana Allah itu, maka kita tidak akan memiliki tempat dan waktu dalam diri kita untuk memiliki ambisi lain yang tidak penting dalam hidup kita. 

Yesus berkata dalam Yohanes 5:30, "Aku tidak dapat berbuat apa-apa dairi diriKu sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakimanKu adil, sebab Aku tidak menuruti kehendakKu sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku". Kiranya kita senantiasa mengecek ambisi yang ada dalam diri kita di dalam terang kasih Kristus, agar dosa tidak menguasai kita dan kehendak dan rencanaNya yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun