Jadi apa gunanya adikmu itu masuk pon..."
"Cukup, pah!" teriak Arsya yang mematung di daun pintu ruang kerja ayahnya. Air matanya meleleh deras, tak menyangka dengan pandangan ayahnya tentang tempat yang begitu indah menurut Arsya itu.
"Selama ini permintaan Arsya ke papah cuma satu, Arsya pengin masuk pondok pesantren! Bukan buat ngelawan papah, tapi Arsya pengin kaya mamah. Arsya pengin bisa baca Al-Qur'an yang benar, Arsya pengin kaya mamah biar bisa ngajarin anak-anak Arsya ngaji. Arsya juga pengen jadi orang yang berguna buat orang banyak. Cuma itu keinginan Arsya, pah." Arsya mulai mengutarakan isi hatinya pada ayah yang sangat disayanginya itu. Anton hanya diam mematung mendengarkan isi hati Arsya, ingin menyela perkataan Arsya pun seakan ada yang menahan pita suaranya untuk mengeluarkan suara.
"Mamah pernah kasih pesan buat Arsya sebelum meninggal, kalau Arsya harus masuk pondok pesantren dengan niat mencari ilmu. Arsya juga harus perjuangin apa yang belum sempat mamah perjuangin karena sudah punya keluarga kecil yang harus diutamakan.Â
Mamah bilang harus ngurusin papah, mamah gak bisa berbagi waktunya buat hal lain selain ngurusin papah dan anak- anaknya. Makanya mamah pengin aku yang nerusin perjuangan mamah." Anton bergetar mendengar pernyataan yang diutarakan putrinya itu, ia tak mengira bahwa istri tercintanya itu sangat menghargainya sebagai kepala keluarga. Tapi justru ia kini menjadi penghalang anaknya untuk mewujudkan mimpinya itu. kini Anton merasa belum benar-benar membuat istrinya itu bahagia di dunia.
Tak terasa, sebulir air mata lolos begitu saja dari mata Anton. Ia sangat tahu apa itu keinginan istri tercintanya. Kini, Anton merasa bersalah terhadap almarhum istrinya itu. Dengan mata memerah dan tubuh bergetar, Anton meninggalkan ruang kerjanya dan memasuki kamarnya di sebelah kiri ruang kerja. Arya dan Arsya menggedor pintu kamar ayahnya dengan kencang, tak ingin ayahnya melakukan sesuatu yang tidak-tidak setelah membicarakan almarhum istrinya itu.
Keesokan harinya, Anton keluar dari kamarnya dengan penampilan yang berbeda. Baju koko putih dengan sarung hitam bermotif simpel ditambah peci hitam sebagai pemanis kepalanya. Arya dan Arsya yang memang sudah hampir menunggu satu jam di depan kamar ayahnya, hanya bisa mematung melihat penampilan ayahnya yang sudah sangat lama tak terlihat. Anton hanya tersenyum menanggapi kebingungan kedua anaknya, mata sipitnya semakin mengecil akibat menangis semalaman dan mencari jawaban atas kesetatannya selama ini. Ayah dua anak itu kemudian menggandeng tangan kedua anaknya menuju mobil SUV yang terparkir cantik di halaman rumahnya, tanpa ada percakapan, mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah megah bergaya Eropa itu.
Beberapa menit kemudian, mobil SUV silver berhenti di depan sebuah bangunan tua namun masih terlihat kokoh. Ayah dan kedua anak itu keluar dari mobil, Anton belum mengeluarkan sepatah katapun semenjak keluar dari kamarnya yang membuat kakak beradik di hadapannya kebingungan. Ayahnya hanya tersenyum sedari tadi. Mereka mulai menapakkan kaki dan memasuki bangunan tua bergaya klasik di depannya dan menemui seorang tua berambut putih dengan sorban tersampir di pundaknya. Anton menyalami tangan seorang tua itu dengan sangat sopan, membuat Arya dan Arsya bingung melihatnya.
"Nak Anton. Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah menemukan jawabannya hingga kamu singgah ke tempat ini lagi?" Seorang tua itu bertanya
dengan sangat lembut, tatapan matanya membuat hati semua orang menjadi tenang.
"Maaf Abah, Anton baru mengerti sekarang kalau Aisyah sangat menjaga kedua putra-putrinya walaupun raganya sudah tak ada lagi di dunia ini." Seorang tua itu kembali tersenyum yang sangat lebar kemudian membelai kepala Anton.