"Pasti kamu ke tempat itu lagi. Sudah papah bilang jangan ke tempat kumuh itu lagi, kenapa gak dengerin papah hah?" wajah Anton, ayah Arsya memerah karena amarah yang membludak.
"Tempat itu gak kumuh, pah. Itu tempat terindah yang aku kenal, di tempat itu aku bis..."
"Sudah berani jawab ya kamu!" Anton sudah tak bisa menahan amarahnya, tangannya melayang di udara dan hampir mengenai pipi mulus Arsya, namun ada tangan lain yang lebih cepat menahan tangan kokoh itu mendarat di pipi merah muda Arsya.
"Jadi gini kalau aku gak ada di rumah, pah? Seenaknya marahin Arsya yang gak salah apa-apa!" tangan yang menahan adalah tangan seorang pemuda berwajah tampan dan berwibawa, tatapan matanya tajam bak elang, bibir tipisnya berwarna merah muda, dan hidungnya mancung seperti orang barat.
"Kak Arya?" "Arya?"
Arsya dan ayahnya kaget karena kedatangan tak terduga dari Arya, kakak laki-laki Arsya. Arya pun sama kagetnya ketika kedatangannya yang tiba-tiba akan berharap membawa kebahagiaan, tetapi kenyataannya disuguhi dengan drama yang sangat menyayat hati. Arya benar-benar tak menduga jika tangan yang dulu digunakan untuk mengelus halus kepalanya, kini dengan mata kepalanya sendiri ia melihat tangan yang begitu kokoh itu hampir mendarat di pipi putih nan mulus adik kesayangannya.
Arya berdecih dan melepas kasar tangan ayahnya, kemudian ia menggenggam halus pergelangan adiknya dan membawanya ke kamar bernuansa manly di lantai dua. Ia meminta penjelasan adiknya sedetail mungkin tentang kejadian yang baru saja dialami Arsya. Dengan air mata mengalir, gadis cantik nan lugu itu mulai menceritakan kronologis kejadian yang dialaminya. Setelah menyelesaikan ceritanya, kakak beradik itu melaksanakan sholat Magrib, kemudian Arya meminta Arsya untuk tidur agar pikirannya lebih tenang.
Selagi Arsya tertidur, pemuda bermata elang itu meninggalkan kamarnya dan memasuki ruang kerja pria setengah baya yang biasa disebutnya 'papah' itu. Arya menatap tajam ayahnya yang terlihat tak bersalah sedikitpun setelah memarahi Arsya.
"Kenapa papah ngelarang Arsya buat masuk pondok pesanten? Apa segitu gak sukanya papah sama tempat itu?" Arya bertanya dengan nada yang rendah, ia ingin bicara baik-baik dengan ayahnya.
"Apa gunanya masuk pondok pesantren, hah? Memangnya adik kamu itu bisa apa? Apa dia bisa hidup kalau tinggal di tempat seperti itu? Dia gabisa apa- apa tanpa papah asal kamu tahu!" Ayahnya itu meninggikan oktaf suaranya, membuat hati Arya mencelos mendengar pandangan ayahnya tentang pondok pesantren dan adiknya. Ia tak mengira bahwa ayahnya itu sudah sangat berbeda dengan ayah yang dulu dikenalnya. Semenjak ibunya meninggal, ayahnya tak lagi mau sholat, tak mau lagi mendengar apapun yang berbau Islami, ayahnya seperti terjebak di lubang keraguan antara benar dan salah.
"Kalau adikmu itu masuk pondok pesantren, dia tidak akan jadi apapun.