Mohon tunggu...
Rhillaeza Mareta
Rhillaeza Mareta Mohon Tunggu... -

MaretAkhir. Hijau. Cinta Indonesia & Angin Sore. MC. Tentor Bahasa Indonesia. Sastra Indonesia UI '09. Anggota JaMes(remaJaMesjid) :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Aku Anak Seorang Pelawak"

2 Maret 2012   16:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya tiba waktunya bagi jurusanku untuk beraksi. Aku berharap ayah sudah berada di antara para penonton. Aku yang sudah berdandan sebagai manusia ondel-ondel bersama seorang temanku keluar pada akhir cerita. Saat itu seluruh penonton yang memenuhi gedung pertunjukan tertawa. Gemuruhnya membuat hatiku penuh. Tiga puluh detik aku dan temanku beraksi. Setelah dua puluh menit kami mementaskan drama kami, kami mengakhiri pentas pada hari itu dengan memberikan penghormatan kepada penonton. Kulihat ayah berdiri bersama penonton lain sambil bertepuk tangan kencang sekali. Ayah kali itu terlihat sungguh berbeda. Dengan mengenakan kemeja batik oleh-oleh dari Randi, ayah terlihat begitu berwibawa dengan penampilannya yang rapi. Ia pun memberikan senyuman amat tulus dan pada hari itu ayah benar-benar menjadi ayah yang aku idamkan selama ini.

Setelah semua selesai, aku dan teman-teman kembali ke belakang panggung. Kami benar-benar puas akan penampilan kami barusan. Kami benar-benar melawak dengan total. Kali itu baru kurasakan apa yang ayah rasakan selama ini setiap kali ia tampil untuk menghibur orang banyak dengan lawakannya.

Tak lama, tiba-tiba ada seorang teman yang juga bertindak sebagai panitia mendatangiku. Orang rumah meneleponku sebanyak sepuluh kali katanya. Ia tak berani mengangkat teleponnya, jadi dikembalikannya telepon genggam itu padaku.

Benar saja, tak lama kemudian aku mendapat panggilan dari telepon rumah. Aku segera mengangkatnya. Sungguh bagai petir menyambar di tengah hari, Ibu mengabari hal yang tak pernah kusangka.

“Ada apa, Bu? Kok Ibu menangis? Maaf, Bu, tadi teleponku kutitipkan kepada panitia.”

“Rara, yang sabar ya, Nak. Ini semua sudah takdir Tuhan. Ayahmu, ayahmu meninggal dalam kecelakaan mobil empat puluh menit yang lalu, Nak. Ia mengendarai mobil dalam kecepatan terlampau kencang sehingga menabrak mobil lain saat menyalip,” Ibu kemudian menangis tak kuasa menahan kepedihan.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Ibu benarkah yang Ibu katakan barusan, Bu? Tapi, tapi aku melihat ayah berada di tengah penonton tadi, Bu! Ayah datang menyaksikan pementasanku dan ia memberikan tepuk tangan paling kencang untukku! Tidak mungkin ayah pergi secepat ini, Bu… !”

***

Ayah kini tak lagi dapat kutemui. Pelawak Wardono itu pun telah menjadi legenda. Ratusan orang datang untuk melayat jenazah ayah. Banyak kawan-kawan ayah yang berbisik kepadaku, “Ayahmu orang baik, Nak. Sangat baik. Semoga kamu sabar.”

Pelawak kawakan itu kini amat kubanggakan melebihi apa pun yang kumiliki. Aku tahu kini bagaimana pedihnya baru merasa memiliki seseorang setelah seseorang yang kita miliki itu pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun