Mohon tunggu...
Rhillaeza Mareta
Rhillaeza Mareta Mohon Tunggu... -

MaretAkhir. Hijau. Cinta Indonesia & Angin Sore. MC. Tentor Bahasa Indonesia. Sastra Indonesia UI '09. Anggota JaMes(remaJaMesjid) :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Aku Anak Seorang Pelawak"

2 Maret 2012   16:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernah pada suatu hari, aku pulang ke rumah dengan berlari sambil menangis. Ayah yang saat itu sedang mengelap kaca mobil sedan tua yang baginya berharga langsung kucecar dengan ketakterimaanku akan komentar teman-teman di sekolah mengenai profesi ayah. Aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas 4 SD benar-benar menangis kencang sambil meminta ayah untuk berhenti melawak saja. Aku minta ayah untuk jadi guru, dokter, tentara, atau jadi apa saja yang penting tak membuat teman-temanku menertawakannya. Saat itu ayah hanya tersenyum padaku. Ia mengambilkanku segelas air putih kemudian mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas sikapku yang tak suka jika dirinya ditertawakan. Ia hanya berpesan bahwa aku harus belajar sungguh-sungguh, ikhlas menerima semuanya, dan jangan lagi menangis karena ayah yang menjadi bahan tertawaan pun tidak pernah menangis.

Tak akan pernah kulupa kejadian hari itu, hari di mana aku berjanji tak akan lagi menangis demi ayah. Namun, semua amatlah susah. Hatiku sering teriris ketika mendengar cerita tentang ayah temanku yang sedang lembur di kantor karena banyak tugas yang harus diselesaikannya sebagai akuntan publik. Hatiku pun remuk rasanya ketika mendengar cerita tentang ayah temanku yang berprofesi sebagai guru SD baru saja memarahi muridnya yang nakal. Dalam pikiranku, banyak sekali pekerjaan yang baik, yang tak perlu membuat ayahku ditertawakan banyak orang. Tetapi mengapa ayah tak memilih salah satu di antaranya dan harus memilih profesi sebagai pelawak?

Penampilan ayah juga sering membuatku malas bersikap manis kepadanya. Ayahku selalu berpenampilan santai. Kelewat santai. Ketika teman-teman sekolahku berkunjung ke rumah, kerap kali ayah menemui mereka dengan seragam khas-nya: kaus oblong dan sarung kotak-kotak. Sering pula ia mengajak teman-temanku mengobrol hingga lama. Ia senang sekali mengeluarkan lawakan-lawakan yang membuat teman-temanku kembali tertawa, kembali menertawakan ayahku. Bagiku semua itu konyol. Ayah tak pernah memikirkan perasaanku, dan aku akan tetap saja dikenal sebagai “Anaknya Pelawak Wardono”.

Menginjak masa kuliah, aku makin heran dengan ayah. Ia makin sibuk dengan tawaran-tawaran melawak di televisi atau acara lainnya. Aku yang mulai berteman dengan lebih banyak orang baru tak pernah dapat menutupi fakta bahwa aku adalah anak dari pelawak Wardono. Hubunganku dengan ayah jadi semakin renggang. Sebisa mungkin aku tak ingin pergi ke tempat ramai bersama dengan ayah.

Aku pun jarang sekali bercerita tentang perkuliahanku. Pertanyaan-pertanyaan yang ayah lontarkan sering kuanggap seperti angin lalu. Biarlah ayah menjalani kehidupannya, sementara aku juga ingin membangun duniaku.

Semua berjalan dingin, dan kosong. Aku makin tak ingin mengerti tentang ayah. Terlebih setelah teman pria yang telah cukup lama menjalin hubungan denganku tiba-tiba menjauh karena ia akhirnya tahu bahwa Wardono sang pelawak itu adalah ayahku. Hingga pada suatu hari kualami kejadian yang membuatku tersadar akan perilakuku terhadap ayah selama ini.

Sabtu itu aku tak ada kuliah, ayah dan ibu pun sejak siang tak di rumah. Aku masih ingat betul, sore itu pukul empat. Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumahku. Ternyata benar, ada tamu. Tamu itu tak kukenal. Dia adalah seorang pemuda yang usianya terlihat sama sepertiku. Pemuda itu bernama Randi, ia datang ke rumah untuk menemui ayah. Ia ingin memberikan oleh-oleh dari Surabaya katanya. Karena ayah tak ada, terpaksa aku yang mengobrol dengannya.

“Saya bertemu dengan ayahmu di pesawat ketika kami sama-sama ingin terbang ke Surabaya. Dua minggu yang lalu kira-kira. Ayahmu baik sekali. Saya kaget juga sebenarnya waktu tahu kalau saya satu pesawat dengan Pak Wardono, pelawak terkenal itu,” Randi membuka obrolan melalui kisah pertemuannya dengan ayah.

“Oh, kamu tahu juga ya ayah saya pelawak. Kamu pasti sering menonton lawakannya kan? Sering menertawakannya juga bukan? Saya tidak heran. Tapi saya bingung, bingung kenapa ayah selalu merasa senang sekali ditertawakan orang-orang,” sambungku dengan agak ketus.

“Jelas saja aku tertawa setiap kali menyaksikan lawakan ayahmu. Ia melawak dengan tulus, dari hati. Ia melawak dengan cerdas. Tak pernah ia melontarkan lawakan-lawakan murahan yang sarat akan hinaan. Ia juga sangat berjasa. Semua orang yang menyaksikannya pasti terhibur. Harusnya tak ada lagi orang yang memiliki hati batu setelah menyaksikan lawakan Pak Wardono,” ia kembali memperpanjang obrolan dengan pujian-pujian terhadap ayah.

“Oh ya? Kok agak berlebihan ya rasanya kalau kamu sampai memuji ayah saya seperti itu?” entah mengapa aku justru jengkel mendengarkan perkataannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun