Marsudi tersenyum. “Baiklah. Kita semua sudah tahu harganya. Transaksinya nanti saja,” katanya meredam kegaduhan.
Bacan palamea dari Palamea milik Sardan juga sangat istimewa. Warna biru dominan di pinggir-pinggirnya, lalu di tengahnya warna hjau beningnya nampak kentara. Anehnya, begitu disorot dengan senter, warna hijau dan kebiruan itu seperti berpindah-pindah membuat kolektor baru akik terlongong-longong.
“Nah, kalau yang ini berapa mau dilepas, Pak Sardan?”
Sardan kembali melirik Meiske yang selalu gagal menyembunyikan senyumnya. “Tujuh ratus lima puluh saya lepas, Pak...” kata Sardan.
Kembali sejumlah orang mengacungkan tangan.
“Saya bayar!”
“Saya kasih duit tunai. Sekarang!”
“Buat saya saja!”
“Jangan! Saya berani delapan ratus!”
“Sabar...sabar...sabar...ini bukan arena lelang. Transaksi belakangan. Mari kita lihat batu-batu akik Pak Sardan yang lainnya...” pekik Marsudi.
Selain tiga batu akik itu, lima batu akik lainnya juga terpilih sebagai pemenang. Blues Saphire-nya istimewa. Calsedonnya memukau. Giok Aceh-nya tak ada lawan. Combongnya mendecakkan. Kalimaya-nya membuat mulut penonton menganga.
“Ternyata kita punya jagoan baru untuk penggemar dan kolektor batu kaki,” kata Marsudi sebelum menutup acara. “Kepada saya, Pak Sardan hari ini memang cuma membawa delapan batu. Di rumahnya masih berserakan batu-batu jenis lain seperti Batu Sungai Dareh, Giok, Kecubung, Lavender, Topaz, Ruby, dan entah apa lagi. Kita akan tunggu di lomba berikutnya apa yang nanti bakal ditampilkan Pak Sardan.”