Paman saya adalah fans berat Bayern Munchen dan Timnas Jerman. Jadi, saat menyaksikan Bayern Munchen, sudah pasti beliau sangat antusias menceritakan segala yang ia tahu tentang Bayern Munchen. Namun, sedikitpun paman saya tidak pernah menyuruh saya untuk 'ikut-ikutan nge'fans' ke Munchen (atau mungkin saya masih terlalu naif untuk menyadari itu).
Paman saya mungkin bukanlah orang yang memahami taktikal dan analisis secara mendalam (seingat saya, beliau jarang menjelaskan tentang taktik dan analisis dari tim yang bertanding, atau lagi-lagi, mungkin saya masih dianggap terlalu kecil untuk bisa diajak berbicara mengenai itu). Namun menurut saya, beliau cukup tahu banyak mengenai sepakbola. Dari beliau lah, saya mulai mengenal formasi dan posisi-posisi dalam sepakbola. Adalah 3-5-2, formasi pertama dari sepakbola yang saya kenal. Sedangkan untuk posisi, Libero adalah posisi yang memukau saya (setidaknya, tiap kali paman saya menjelaskan tentang Libero, saya selalu terkagum-kagum). Bisa dikatakan, paman saya inilah yang 'mencekoki' saya dengan sepakbola, khususnya Liga Jerman.
Lantas, bagaimana perkenalan saya dengan Borussia Dortmund?
Suatu waktu, seperti biasanya, saya diajak untuk menonton Liga Jerman oleh paman saya itu. Sebelum saya lanjutkan, saya lupa, apakah Liga Jerman di masa itu disiarkan secara langsung atau hanya berupa tayangan ulang. Saya pun tidak bisa mengingat stasiun TV yang menayangkannya. Entah Anteve atau TVRI, atau mungkin stasiun TV lain, saya lupa. Yang jelas, bukan RCTI (karena RCTI menayangkan Liga Italia), dan bukan pula SCTV (karena SCTV menanyangkan Liga Inggris). Atau mungkin juga Liga Jerman yang saya tonton adalah dalam bentuk rekaman (entah Betamax atau apapun itu).
Di pertandingan itu, saya terpana oleh salah satu tim yang bertanding. Bukan karena pemainnya, bukan pula karena permainannya, melainkan karena warna bajunya yang saya anggap beda dengan tim-tim lain, yaitu "kuning". Sebelumnya, saya hanya melihat baju (jersey) dengan warna 'merah', 'biru', 'hijau', atau 'putih' (tidak perlu saya tuliskan nama klub-klub yang menggunakan warna-warna tersebut kan?). Apa yang bisa di notice oleh anak kecil yang masih pemula/awam dalam menonton sepakbola? Menurut saya, bukanlah skill individu atau strategi permainan, melainkan warna bajunya. Terlebih lagi, nama klub-klub Liga Jerman lebih sulit untuk diucapkan.
Saya pun bertanya kepada paman saya, "itu yang bajunya kuning klub apaan ya?". Dan jawaban paman saya adalah, "Ohh, itu namanya Dortmund, klub bagus juga itu. Ada pemain Dortmund yang jago, namanya Moller". Bisa dikatakan, moment itulah yang menjadi perkenalan saya dengan Dortmund, dan Andy Moller adalah pemain Dortmund yang pertama kali saya tahu.
Jujur saja, pada saat itu, saya belum menganggap Dortmund sebagai tim favorit saya. Namun saya mulai memiliki rasa penasaran berlebih terhadap klub ini. Saya pun mulai banyak menanyakan tentang Dortmund ke paman saya. Hingga akhirnya, saya mulai tahu tentang beberapa pemain Dortmund seperti Jurgen Kohler, Chapuisat, Reuter, dll. Selain itu, akhirnya saya juga mulai tahu tentang Westfalen Stadion. Dan kalau tidak salah, Westfalen di era itu belum ada tiang besi besar berwarna kuning seperti yang sekarang kita lihat sebagai 'khas' dari Signal Iduna Park. Saya masih ingat, paman saya yang notabene adalah fans Munchen, sering mengatakan bahwa Olympia Stadion Munchen memiliki khas'nya sendiri, yaitu semacam jaring-jaring yang ada di atapnya. Namun entah mengapa, saya tetap lebih menyukai Westfalen Stadion.
Ok, cerita berlanjut. Di masa itu, saya tinggal di lingkungan yang sangat "gila bola". Bahkan, tiap kali ada pertandingan bola, ketua Karang Taruna kami sering mengadakan nonton bareng di rumahnya. Para anak kecil (seperti saya) pun dibolehkan untuk ikut nonton bareng bersama kakak-kakak pemudanya.
Seingat saya, tidak ada satupun di lingkungan saya yang menggemari Liga Jerman (saya dan paman saya tinggal di tempat yang berbeda). Mereka semua menggemari Liga Italia. Namun ada salah satu pemuda yang memilih klub favorit yang sangat berbeda dari biasanya, yaitu Auxerre. Ahh, saya lupa akan detail dan kronologisnya. Yang jelas, tiap kali mereka para pemuda sedang bermain 'karambol', ia selalu menyinggung tentang Auxerre. Dari mereka pula, saya mulai lebih mengenal tentang kompetisi Champions League (meskipun paman saya adalah orang yang mengenalkan tentang sepakbola, namun beliau cukup jarang membicarakan tentang Champions League, apalagi mengajak saya untuk menonton pertandingannya. Saya tidak tahu kenapa? Mungkin karena pertandingan Champions League ditayangkan di hari sekolah, dini hari pula).
Singkat cerita, Champions League pun sudah memasuki babak final. Dan seperti biasanya, para pemuda di lingkungan saya telah merencanakan untuk nonton bareng. Final Champions League di waktu itu adalah Juventus vs Dortmund. Sayangnya, saya tidak bisa ikut nonton bareng bersama para pemuda. Bukan karena tidak dibolehkan, melainkan karena saya 'ketiduran' di rumah. Namun beruntungnya, saya terbangun di menit-menit awal pertandingan. Saya pun menyaksikan final itu sendirian di rumah. Sambil digempur oleh rasa kantuk, saya tetap memaksakan untuk menonton pertandingan tersebut hingga selesai.
Dapat dikatakan, di malam itulah perasaan saya terhadap Dortmund mulai berubah. Dari yang awalnya sebatas penasaran berlebih, mulai berubah menjadi rasa mengagumi. Final itu telah membuat saya mantap untuk memilih Dortmund sebagai klub favorit saya. Lagi-lagi, bukan faktor pemain, bukan pula gaya bermain, melainkan karena jersey Dortmund yang menurut saya sangat 'keren' (terlebih dengan adanya aksen beberapa bintang pada lengan jersey, meskipun saya kurang suka dengan kaos kakinya yang 'belang-belang' itu). Jika kesan pertama saya terhadap Dortmund adalah warna jersey yang 'beda' dari umumnya (kuning), maka kesan saya di malam itu adalah desain jersey Dortmund yang 'keren'.