Mengapa Dortmund?Â
Mungkin, itu adalah pertanyaan yang cukup sering ditujukan kepada saya ketika ada orang lain tahu bahwa Dortmund adalah klub idola saya. Dan saya cenderung untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bahkan jikapun harus menjawab, paling-paling saya hanya menjawab "suka aja ama Dortmund".
Namun sebenarnya, tentu saja saya memiliki alasan tersendiri mengapa saya mengidolakan Dortmund. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini, saya akan coba menceritakan awal mula saya berkenalan dengan Dortmund, dan awal mula saya memilih Dortmund sebagai klub favorit saya.
Semua yang saya tuliskan disini hanya berdasarkan ingatan saya semata. Jadi besar kemungkinan akan ada kesalahan fakta/nama/tempat/dll dalam tulisan ini. Saya pun enggan memverifikasinya melalui Google. Saya ingin tulisan ini mengalir begitu saja berdasarkan ingatan yang terpatri dalam diri saya.
Sebelumnya, saya hendak memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya adalah Marco, dan saya ingin sedikit bercerita mengenai latar belakang nama saya. Dulu, keluarga saya pernah 'merantau' ke Jerman, (kalau tidak salah ingat) sekitar tahun 70-an. Selama di Jerman itulah, keluarga saya bersahabat baik dengan seorang Jerman yang bernama Marco. Keluarga saya banyak terbantu dalam menjalani kehidupan selama tinggal di Jerman, khususnya di masa-masa awal tinggal di Jerman, baik dalam hal adaptasi, pekerjaan, bahasa, dan lain sebagainya. Atas dasar itulah, terucap semacam janji akan memberikan nama Marco jika suatu saat nanti memiliki anak laki-laki. Sudah bersinggungan dengan Jerman, bukan?
Okay, kembali ke ihwal 'Mengapa Dortmund?', semuanya berawal di tahun 90-an. Pada saat itu, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (sudah bisa tertebak dong berapa usia saya saat ini? Hahahaha).
Saya memiliki dua anggota keluarga yang sangat menggilai sepakbola.
Yang pertama adalah Om saya. Beliau "sangatlah Liga Italia" (karena di era itu, Liga Italia atau Serie-A dianggap sebagai liga yang terbaik). Om saya adalah fans berat AC Milan. Bahkan, jersey pertama yang saya miliki adalah jersey AC Milan sebagai kado ulang tahun untuk saya dari beliau. Pada masa itu, saya belum pernah menonton Liga Italia. Jadi sudah pasti saya tidak tahu tentang bagaimana Liga Italia dan apa itu AC Milan? Terlebih lagi, om saya ini tidak pernah mengajak saya menonton Liga Italia. Jadi pada intinya, saya masih belum "berkenalan" dengan sepakbola.
Sedangkan untuk yang kedua, yaitu paman saya, beliau memiliki selera yang berbeda. Paman saya ini lebih menyukai Liga Jerman (Bundesliga) dibanding liga-liga lainnya. Melalui paman saya inilah, saya mulai berkenalan dengan sepakbola.
Paman saya agak sering mengajak saya menonton Liga Jerman, apapun tim yang bertanding. Tidak serta-merta menonton, karena paman saya juga selalu mengajak saya mengobrol (lebih tepatnya menjelaskan) sambil menyaksikan pertandingan tersebut. "ini tuh tim ini, co", "itu pemain namanya ini co". Penjelasan-penjelasan seperti itu selalu ada tiap kali kami menonton Liga Jerman. Selain itu, beliau juga sering menceritakan tentang timnas Jerman, dan lain sebagainya. Namun jarang sekali beliau menyinggung tentang liga-liga lainnya.
Paman saya adalah fans berat Bayern Munchen dan Timnas Jerman. Jadi, saat menyaksikan Bayern Munchen, sudah pasti beliau sangat antusias menceritakan segala yang ia tahu tentang Bayern Munchen. Namun, sedikitpun paman saya tidak pernah menyuruh saya untuk 'ikut-ikutan nge'fans' ke Munchen (atau mungkin saya masih terlalu naif untuk menyadari itu).
Paman saya mungkin bukanlah orang yang memahami taktikal dan analisis secara mendalam (seingat saya, beliau jarang menjelaskan tentang taktik dan analisis dari tim yang bertanding, atau lagi-lagi, mungkin saya masih dianggap terlalu kecil untuk bisa diajak berbicara mengenai itu). Namun menurut saya, beliau cukup tahu banyak mengenai sepakbola. Dari beliau lah, saya mulai mengenal formasi dan posisi-posisi dalam sepakbola. Adalah 3-5-2, formasi pertama dari sepakbola yang saya kenal. Sedangkan untuk posisi, Libero adalah posisi yang memukau saya (setidaknya, tiap kali paman saya menjelaskan tentang Libero, saya selalu terkagum-kagum). Bisa dikatakan, paman saya inilah yang 'mencekoki' saya dengan sepakbola, khususnya Liga Jerman.
Lantas, bagaimana perkenalan saya dengan Borussia Dortmund?
Suatu waktu, seperti biasanya, saya diajak untuk menonton Liga Jerman oleh paman saya itu. Sebelum saya lanjutkan, saya lupa, apakah Liga Jerman di masa itu disiarkan secara langsung atau hanya berupa tayangan ulang. Saya pun tidak bisa mengingat stasiun TV yang menayangkannya. Entah Anteve atau TVRI, atau mungkin stasiun TV lain, saya lupa. Yang jelas, bukan RCTI (karena RCTI menayangkan Liga Italia), dan bukan pula SCTV (karena SCTV menanyangkan Liga Inggris). Atau mungkin juga Liga Jerman yang saya tonton adalah dalam bentuk rekaman (entah Betamax atau apapun itu).
Di pertandingan itu, saya terpana oleh salah satu tim yang bertanding. Bukan karena pemainnya, bukan pula karena permainannya, melainkan karena warna bajunya yang saya anggap beda dengan tim-tim lain, yaitu "kuning". Sebelumnya, saya hanya melihat baju (jersey) dengan warna 'merah', 'biru', 'hijau', atau 'putih' (tidak perlu saya tuliskan nama klub-klub yang menggunakan warna-warna tersebut kan?). Apa yang bisa di notice oleh anak kecil yang masih pemula/awam dalam menonton sepakbola? Menurut saya, bukanlah skill individu atau strategi permainan, melainkan warna bajunya. Terlebih lagi, nama klub-klub Liga Jerman lebih sulit untuk diucapkan.
Saya pun bertanya kepada paman saya, "itu yang bajunya kuning klub apaan ya?". Dan jawaban paman saya adalah, "Ohh, itu namanya Dortmund, klub bagus juga itu. Ada pemain Dortmund yang jago, namanya Moller". Bisa dikatakan, moment itulah yang menjadi perkenalan saya dengan Dortmund, dan Andy Moller adalah pemain Dortmund yang pertama kali saya tahu.
Jujur saja, pada saat itu, saya belum menganggap Dortmund sebagai tim favorit saya. Namun saya mulai memiliki rasa penasaran berlebih terhadap klub ini. Saya pun mulai banyak menanyakan tentang Dortmund ke paman saya. Hingga akhirnya, saya mulai tahu tentang beberapa pemain Dortmund seperti Jurgen Kohler, Chapuisat, Reuter, dll. Selain itu, akhirnya saya juga mulai tahu tentang Westfalen Stadion. Dan kalau tidak salah, Westfalen di era itu belum ada tiang besi besar berwarna kuning seperti yang sekarang kita lihat sebagai 'khas' dari Signal Iduna Park. Saya masih ingat, paman saya yang notabene adalah fans Munchen, sering mengatakan bahwa Olympia Stadion Munchen memiliki khas'nya sendiri, yaitu semacam jaring-jaring yang ada di atapnya. Namun entah mengapa, saya tetap lebih menyukai Westfalen Stadion.
Ok, cerita berlanjut. Di masa itu, saya tinggal di lingkungan yang sangat "gila bola". Bahkan, tiap kali ada pertandingan bola, ketua Karang Taruna kami sering mengadakan nonton bareng di rumahnya. Para anak kecil (seperti saya) pun dibolehkan untuk ikut nonton bareng bersama kakak-kakak pemudanya.
Seingat saya, tidak ada satupun di lingkungan saya yang menggemari Liga Jerman (saya dan paman saya tinggal di tempat yang berbeda). Mereka semua menggemari Liga Italia. Namun ada salah satu pemuda yang memilih klub favorit yang sangat berbeda dari biasanya, yaitu Auxerre. Ahh, saya lupa akan detail dan kronologisnya. Yang jelas, tiap kali mereka para pemuda sedang bermain 'karambol', ia selalu menyinggung tentang Auxerre. Dari mereka pula, saya mulai lebih mengenal tentang kompetisi Champions League (meskipun paman saya adalah orang yang mengenalkan tentang sepakbola, namun beliau cukup jarang membicarakan tentang Champions League, apalagi mengajak saya untuk menonton pertandingannya. Saya tidak tahu kenapa? Mungkin karena pertandingan Champions League ditayangkan di hari sekolah, dini hari pula).
Singkat cerita, Champions League pun sudah memasuki babak final. Dan seperti biasanya, para pemuda di lingkungan saya telah merencanakan untuk nonton bareng. Final Champions League di waktu itu adalah Juventus vs Dortmund. Sayangnya, saya tidak bisa ikut nonton bareng bersama para pemuda. Bukan karena tidak dibolehkan, melainkan karena saya 'ketiduran' di rumah. Namun beruntungnya, saya terbangun di menit-menit awal pertandingan. Saya pun menyaksikan final itu sendirian di rumah. Sambil digempur oleh rasa kantuk, saya tetap memaksakan untuk menonton pertandingan tersebut hingga selesai.
Dapat dikatakan, di malam itulah perasaan saya terhadap Dortmund mulai berubah. Dari yang awalnya sebatas penasaran berlebih, mulai berubah menjadi rasa mengagumi. Final itu telah membuat saya mantap untuk memilih Dortmund sebagai klub favorit saya. Lagi-lagi, bukan faktor pemain, bukan pula gaya bermain, melainkan karena jersey Dortmund yang menurut saya sangat 'keren' (terlebih dengan adanya aksen beberapa bintang pada lengan jersey, meskipun saya kurang suka dengan kaos kakinya yang 'belang-belang' itu). Jika kesan pertama saya terhadap Dortmund adalah warna jersey yang 'beda' dari umumnya (kuning), maka kesan saya di malam itu adalah desain jersey Dortmund yang 'keren'.
Saya lupa akan detail pertandingan itu. Saya pun masih terlalu muda untuk bisa memahami pertandingan itu secara taktikal. Yang dapat saya ingat hanya gol dari Lars Ricken dan gol dari Del Piero (karena pada saat Riedle mencetak gol, saya sedang 'ketiduran' lagi). Pada intinya, pertandingan itu begitu berkesan untuk saya, karena itu adalah untuk kali pertama saya 'nonton bola' sendirian, dan itu adalah pertandingan Champions League pertama yang saya tonton.
Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan saya mulai cukup sering menyaksikan Dortmund bertanding, khususnya di ajang Champions League. Dan diantara semua pertandingan Dortmund yang pernah saya saksikan di masa itu, setidaknya ada dua pertandingan yang saya sukai. Yang pertama adalah saat Dortmund vs Parma. Saya tidak ingat, pertandingan ini terjadi di babak penyisihan atau di fase knock out. Yang jelas, ada satu pemain yang membekas dalam ingatan saya, yaitu Sousa. Kalau tidak salah, Dortmund menang di pertandingan ini. Sedangkan pertandingan yang kedua adalah Dortmund vs Real Madrid. Untuk pertandingan ini, pemain yang membekas dalam ingatan saya adalah sang kiper, yakni Klos (Stefan atau Steffan Klos, saya lupa). Pertandingan ini terjadi di semifinal. Meskipun Dortmund kalah di pertandingan ini, saya tetap menyukai pertandingan ini.
Secara garis besar, begitulah awal mula perkenalan saya dengan Dortmund, dan juga awal mula saya memilih Dortmund sebagai klub favorit saya. Selanjutnya, saya pun mulai mengikuti perkembangan Dortmund hingga akhir 90-an sampai awal 2000-an. Saya masih ingat, pada masa itu, Kaiserslautern sempat mengejutkan banyak orang dengan berhasil menjadi kampiun Liga Jerman. Berbagai media banyak yang memuat berita tentang klub tersebut. Selain Kaiserslautern, ada pula Leverkusen yang juga cukup sering dibicarakan oleh orang-orang. Entah mengapa, saya tidak tahu. Mungkin karena permainan Leverkusen di era itu dianggap bagus, saya tidak tahu pasti.
Seiring bertambahnya usia, bertambah pula berbagai aktivitas. Baik aktivitas sekolah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. Hal itulah yang membuat saya mulai jarang mengikuti perkembangan Dortmund. Seingat saya, terakhir kalinya saya masih mengikuti perkembangan Dortmund adalah ketika mereka menjadi juara di awal 2000-an. Entah 2001, entah 2002, saya lupa. Pada saat mereka juara itulah, saya mengenal nama-nama seperti Rosicky, Jan Koller, Oliseh, Odonkor, Amoroso, dll. Namun ada satu nama yang selalu saya ingat di era itu. Bukan karena skillnya atau karena hal teknis lainnya, melainkan karena namanya, yaitu "Dede". Lucunya (atau lebih tepatnya bodohnya), saya sempat mengira bahwa itu adalah nama Indonesia. Oleh karena itulah, tiap kali mendengar nama pemain ini, saya selalu ingin tertawa.
Dan yang jelas, di masa itu, saya hanya bisa mengandalkan media cetak seperti majalah/tabloid/koran untuk bisa mengetahui perkembangan Dortmund. Itupun terkadang belum tentu ada berita tentang Dortmund di media tersebut. Liga Jerman memang tidak mendapatkan porsi yang banyak di media. Informasi tambahan yang bisa saya peroleh 'paling-paling' hanya dari pembicaraan orang-orang saja. Termasuk pula informasi dari sanak famili, kerabat, serta tetangga-tetangga yang baru pulang dari Eropa (khususnya Jerman) dalam rangka menyelesaikan studi atau bekerja.
Jadi, jangan tanyakan kepada saya mengenai 'Chant' ataupun 'Yel-Yel' dari klub ini. Mendapatkan informasi yang cukup saja sudah sulit, apalagi untuk bisa mengumpulkan merchandise, jersey, atau sekadar tahu irama dari chant dan yel-yel milik Dortmund. Mencintai Dortmund memang butuh perjuangan dan kesabaran di masa itu, setidaknya menurut saya, menurut yang saya alami.
Saya pun mulai semakin jarang mengikuti perkembangan Dortmund selepas mereka menjadi juara. Karena seperti yang telah saya tulis sebelumnya, bahwa aktivitas saya yang semakin padat membuat saya semakin jarang membaca media cetak (mau tidak mau, saya harus lebih banyak membaca buku-buku pelajaran karena tugas-tugas akademis yang 'numpuk'). Jikapun ada waktu luang, saya gunakan untuk 'nge'band', atau saya gunakan ke Wartel (jadul banget ya wartel? Hahahaha) untuk menelepon pacar saya (karena telefon rumah selalu dikunci/digembok oleh keluarga). Namun bagaimanapun juga, di dalam hati saya tetap menyukai klub ini. Jika harus 'lebay', mungkin bisa dikatakan bahwa saya hanya sebatas 'Secret Admirer'nya Dortmund.
Di masa saya mulai jarang mengikuti perkembangan Dortmund inilah, banyak dari teman-teman saya yang memiliki asumsi berbeda mengenai klub favorit saya. Ada yang mengira bahwa saya adalah fans dari Bayern Munchen. Alasannya adalah karena saya dianggap tahu banyak mengenai Munchen. Bagaimana saya bisa tidak tahu tentang Munchen, lha wong dari kecil saya sering diceritakan tentang Munchen oleh paman saya. Hal ini perlu diluruskan. Sebenarnya saya tidak tahu banyak, hanya sebatas yang saya tahu. Itupun hanya berdasarkan pengalaman saya dengan paman saya saja.
Selain itu, ada pula yang menyematkan Juventini kepada saya. Alasan kali ini adalah karena saya dianggap sebagai fans dari Del Piero. Padahal kenyataannya, waktu itu saya sedang jatuh cinta ke seorang wanita yang sangat mengidolakan Del Piero. Jadi untuk menarik perhatiannya, saya sering membicarakan tentang Del Piero. Terkait dengan hal ini, ada yang (mungkin) terbilang ironis. Pertama kalinya saya menonton pertandingan Champions League adalah saat final antara Dortmund vs Juventus. Saya yang mulai jatuh cinta kepada Dortmund di malam itu, malah dianggap sebagai fans dari Juventus dikemudian hari. Lebih-lebih, di final itu, Del Piero mencetak gol pula. Jadi sedikitnya saya bisa menceritakan tentang final tersebut. Dan itu malah justru menguatkan asumsi bahwa saya adalah Juventini.
Berdasarkan kedua anggapan tersebut, sangat wajar bila banyak orang yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya saya adalah fans Dortmund, khususnya teman-teman di sekolah baru saya (karena di masa itu saya sering pindah-pindah sekolah mengikuti keluarga). Terlebih, di masa itu, sepertinya Dortmund tidak sepopuler seperti saat ini, menurut saya.
Waktu pun berlalu. Setelah bertahun-tahun lamanya, saya perlahan-lahan mulai kembali mencari tahu perkembangan Dortmund pada saat Klopp sudah menjadi pelatih Dortmund. Namun saya pun tidak melakukannya secara rutin, hanya saat saya sedang libur bekerja saja. Di masa ini, saya sudah merasa terbantu oleh internet dalam mencari informasi mengenai perkembangan Dortmund. Dan di masa ini pula, jersey Dormund sudah mulai marak dijumpai. Secara garis besar, saya cukup menyukai sosok Klopp. Sangat berapi-api, sangat energik (Imbasnya di kemudian hari, hal ini membuat saya dianggap sebagai fans Liverpool oleh beberapa teman saya, hanya karena saya cukup mengagumi Klopp). Namun setelah Klopp meninggalkan Dortmund, saya pun mulai kembali jarang mengikuti perkembangan Dortmund. Lagi-lagi karena faktor aktivitas yang padat. Terlebih, saya bukanlah pengguna media sosial yang aktif.
Kiranya, begitulah yang dapat saya tuliskan mengenai perjalanan saya terhadap Dortmund. Dan sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin sedikit menuliskan tentang sesuatu.
Beberapa tahun lalu, saya pernah berencana untuk melanjutkan studi saya ke Jerman. Bahkan saya sempat mengikuti kelas Jerman di Goethe Institut Jakarta. Saya memiliki harapan, di kota manapun saya melanjutkan studi, jika itu di Jerman, setidaknya saya bisa sekadar mampir atau syukur-syukur bisa menonton langsung pertandingan Dortmund dan menyaksikan megahnya "Yellow Wall". Namun sayangnya, rencana untuk melanjutkan studi di Jerman harus berubah tujuan karena berbagai faktor. Akan tetapi, rencana untuk mengunjungi Westphalia tidak akan pernah berubah, karena saya berencana untuk bisa melanjutkan studi di Belgia ("masih dekat lah yah sama Jerman, hahahaha").
Sebagai penutup, harus saya akui, mungkin saya tidak tergolong sebagai fans berat Dortmund. Mungkin saya hanya fans Dortmund yang biasa-biasa saja. Saya bukan orang yang paham tentang sejarah Dortmund, saya tidak bisa menyanyikan chant maupun yel-yel'nya, saya tidak hafal pemain-pemainnya, saya pun tidak update mengenai perkembangan Dortmund. Saya hanyalah fans biasa yang berusaha menjaga loyalitasnya terhadap Dortmund, meski hanya berbekal ingatan alakadarnya. Dan yang pasti, saya selalu mengagumi "Cinta Sejati" Dortmund.
Echte Liebe!
Danke!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI