Erosi menyebabkan struktur tanah rusak sehingga pori-pori tanah menjadi kurang kemampuannya. Hal tersebut membuat kapasitas infiltrasi atau masuknya air melalui permukaan tanah secara vertikal menurun diikuti derasnya aliran permukaan atau runoff.
Kalau demikian maka banjir dan longsor sulit dihindari.
Sekalipun beberapa potensi tersebut mengancam lingkungan secara umum, namun penambangan pasir masih menjadi primadona masyarakat sekitar.
Bagaimana persepsi masyarakat?
Orang awam tentu kurang mengetahui dampak jika tidak diberikan pemahaman, karena secara umum masyarakat masih menggantungkan hidup dari aktivitas tersebut.
Penambangan pasir dianggap memberi keuntungan tersendiri untuk msayarakat karena hasilnya diterima setiap hari.
Jadi jangan heran kalau masih banyak orang menempatkan aktivitas ini sebagai sumber pemasukan utama minimal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebab dalam tulisannya, Yudhistira (2011) menemukan bahwa aktivitas penambangan pasir menyerap banyak tenaga kerja diantaranya tukang coker dengan upah pada kisaran Rp. 10.000-12.000/ truk dengan minimal giliran 2-3 kali.
Dengan upah yang lumayan tersebut, tentu banyak orang tertarik untuk menggeluti profesi ini, apalagi jika siangnya bekerja sebagai petani, dan selanjutnya di malam hari menjadi penambang atau buruh tambang (coker).
Untuk itu dengan maraknya aktivitas penambangan pasir, beberapa wilayah yang mengandalkan PAD dari aktivitas tersebut perlu memetakan zona-zona pertambangan sesuai deposit bahan tambang serta menjadi penting untuk memperhatikan sisi ekologis.
Selain itu karena sumberdaya alam yang terbatas, ada saatnya deposit bahan tambang akan habis, untuk itu diperlukan pemberdayaan masyarakat guna mengantisipasi ketergantungan masyarakat terhadap aktivitas pertambangan yang sewaktu-waktu akan habis.