sosial, yuridis formal, dan pembangunan hukum, dimana fraksi yang mengusulkan atau lebih tepatnya anggota yang mengusulkan berasal dari tiga fraksi, yakni PPP, PKS, dan Gerindra.
Ada beberapa sudut pandang yang mendasari RUU Minol (minuman beralkohol), yakni filosofis,Betul juga perspektif tersebut, setelah dibaca ada nyambunglah, tapi yang agak nyeleneh menurut saya itu di perspektif sosial. Mengapa ?
Saya kutip langsung pernyataannya begini. Dari perspektif sosial, banyaknya orang yang meninggal karena minuman beralkohol, timbulnya kejahatan dan kekerasan di masyarakat, membuat RUU Larangan Minuman Beralkohol menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan kestabilan sosial. (Tempo.co edisi 12/11/2020)
Memang betul ada yang meninggal karena minol, tapi bisa saja penyebabnya bukan hanya minol kan.?Â
Sama halnya dengan alasan timbulnya kejahatan dan kekerasan akibat minol, wong orang yang sadar saja bisa juga melakukan tindakan kejahatan dan kekerasan.
Korupsi misalnya, masa orang yang bersepakat jahat untuk korupsi harus mabuk dulu baru melakukan kejahatan ? enggak juga kan, itu dilakukan secara sadar dan meyakinkan kok, bukan karena mabuk minol, tapi mabuk duit itu.
Terlepas dari perspektif yang ada, kayaknya negara ini demen banget menghukum masyarakatnya, efek penjajahan belum bisa hilang dari pola pikir para pemimpin yang kalau membuat undang-undang lebih menyukai punishment daripada pembinaan, dalam konteks minol ini.
Tadi sempat tengok hukuman dan denda untuk pelanggar jadi ngeri saja jika nanti menjadi UU, sebab kalau misal jadi ini barang, bisa jadi penjara di Maluku akan penuh dengan para pelanggar karena hampir saban hari itu yang dikonsumsi.
Saya sendiri sedikit kurang setuju RUU ini jadi UU. Kasihan dengan para pembuat dan penjual sopi yang ada di kampung-kampung tempat asal saya.
Misal kalau ke sana, kita bisa melihat dan tahu bahwa beberapa keluarga hanya menggantungkan hidup dari proses pembuatan minol ini.Â
Dari situlah mereka bisa membayar tagihan sekolah, biaya semester dan kuliah anak-anak yang merantau kuliah di luar kota, membayar tagihan rumah tangga, biaya rumah sakit atau cicilan BPJS.
Memang ada semacam pertimbangan untuk urusan adat, tapi kan tidak setiap saat upacara adat itu dilakukan, dalam sebulan belum tentu juga ada, terus bagaimana nasib mereka yang hidup cuma dari situ (produksi minol) ?
Sepertinya untuk perspektif sosial ini sangat kompleks, tidak sesederhana kutipan tadi.Â
Banyak pertimbangan dan studi yang benar-benar matang untuk rampungkan RUU ini kalau ngebet banget dikejar. Hanya saja begini, apakah tidak akan tumpang-tindih dengan aturan-aturan lainnya ?
Cita-citanya ingin buat UU, tapi jangan sampai isinya sama saja, seperti UU lainnya yang berkaitan dengan minol yang mungkin saja sudah puluhan tahun dilaksanakan.Â
Kalau misalnya betul, dan isinya cuma diulang-ulang, ya dugaan awal tadi tentang negara kita suka banget memberi hukuman ketimbang pembinaan, bisa benar.
Tulisan ini hanya kata hati yang diubah dalam tulisan (hehe) sehingga untuk pembaca, jika ada yang tidak berkenan saya mohon maaf. Kalau analisanya tipis banget, saya juga mohon maaf masih amatiran.
Salam Sopi.
Sumber bahan