Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Desa Adaut Menjaga Ekosistem Alam Lewat Tradisi Sasi

8 September 2020   14:08 Diperbarui: 8 September 2020   15:29 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : mongabay.co.id/panen teripang/foto hanya ilustrasi

Pemandangan pantai yang indah bukan ? ini adalah pemandangan dari laut ke arah tnyafar-tnyafar di Adaut Ibu Kota Kecamatan Selaru Kabupaten Kep. Tanimbar (KKT), Propinsi Maluku. 

Sebagai Kabupaten bahari, saya jamin kalau pembaca berkesempatan berkunjung ke wilayah-wilayah pesisir KKT, dan menumpang kapal atau perahu kecil sudah pasti hal yang pertama kali dinikmati adalah pemandangan laut yang jernih dan pasir yang putih tanpa "noda" dan satu lagi bersiaplah untuk kekenyangan ikan.  it's true  :)

Kecamatan Selaru berada di Pulau Selaru yang terdiri dari beberapa desa, jika diurutkan seperti ini Adaut (sekaligus Ibu Kota Kecamatan Selaru), Namtabung, Kandar, Lingat, Werain, Fursuy, dan Eliasa. 

Pulau ini sekaligus menjadi pulau terluar sebab berbatasan dengan Australia. Jadi beda ya antara Pulau Selaru di KKT dan Desa Selaru di Pulau Laut Tengah Kota Baru Kalsel. 

Sumber : youtube.com/penyambutan mahasiswa KKN UI di Adaut 2010/Sebagai ilustrasi
Sumber : youtube.com/penyambutan mahasiswa KKN UI di Adaut 2010/Sebagai ilustrasi

Upacara Tikang Tanah

Kurang lengkap rasanya jika langsung membicarakan tradisi sasi tanpa mengenalkan tradisi lain yang berkaitan. Umumnya jika akan melakukan sasi, dan bertepatan dengan agenda kunjungan pejabat, akan dilakukan upacara tikang tanah dalam prosesi penyambutan.

Syarat yang harus disiapkan dalam upacara ini adalah sirih, pinang, sopi, sumbat, rokok putih atau tabaku sek. Prosesi inipun dilayani oleh tokoh adat yang disebut orang kaya kampung. 

Orang kaya di sini bukan yang punya banyak harta ya, istilah ini dialamatkan kepada soa tertentu yang menurut sejarah adalah tuan tanah.

Tapi jangan anggap tuan tanah, jadi rumahnya mewah dan punya mobil, no, kesan ini tidak bisa disejajarkan dengan orang kaya kampung, kehidupan mereka malah sangat sederhana berbeda dengan orang kaya beneran. 

Disebut orang kaya karena sebagai tuan tanah, mereka memiliki petuanan yang banyak di kampung tersebut, yang diwariskan turun-temurun selain itu, untuk beberapa desa di KKT, orang kaya juga memiliki benda-benda pusaka, warisan turun-temurun dari tete-nene moyang. 

Pada zaman itu, orang kaya ini semacam orang bijak, yang keputusannya sangat berperan dalam masyarakat. Beberapa wilayah seperti di Ambon dan wilayah lain di Maluku, umumnya orang kaya atau tuan tanah ini mendapat sebutan raja negeri.

Nah setelah syaratnya disiapkan, sirih, pinang, rokok putih atau tabaku sek dan sumbat diletakan di dalam piring, kemudian tuan tanah akan mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah pada gelas yang berisi sopi.

Selanjutnya sopi akan ditumpahkan ke tanah, sisanya akan diberikan kepada tamu untuk diminum. Bagi yang tidak meminum alkohol, bisa mencelupkan jari ke dalam gelas, kemudian ditempelkan ke bibir atau mengunyah sirih pinang tadi.

Fungsi dari tikang tanah ini, adalah untuk mengenalkan tamu kepada leluhur, karena di beberapa wilayah petuanan, masih terdapat tempat-tempat keramat yang dianggap tempatnya para leluhur. Sehingga untuk menghindar dari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada orang baru, upacara ini harus dilakukan.

Falsafah Ngri Mase

Sudah pasti dalam kehidupan bermasyarakat tentu ada konflik internal, akibat perbedaan pendapat atau hal lainnya. Itu merupakan hal yang wajar terjadi karena dinamisnya masyarakat. Beberapa wilayah memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan persoalan ini, begitupun masyarakat Adaut. Mereka punya Ngri Mase.

Moto atau falsafah Ngri Mase adalah simbol musyawarah masyarakat setempat. Falsafah ini menggambarkan semangat masyarakat desa untuk mengutamakan perdamaian, dan keamanan dalam hubungan antar masyarakat. 

Sebagai Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Australia, perairan sekitar Selaru kaya akan hasil laut, hal ini dimungkinkan karena pertemuan arus dari dua wilayah yang berbeda sehingga merupakan habitat yang cocok untuk biota laut. Arus yang hangat menyebabkan makanan ikan dan hasil laut lainnya berlimpah.

Potensi kekayaan ini menjadi berkah sekaligus musibah untuk para nelayan tradisional, jika dibandingkan dengan nelayan-nelayan luar yang menggunakan kapal-kapal besar untuk menangkap ikan. Dengan peralatan yang dimiliki, bisa dibayangkan berapa ton yang didapat oleh mereka, dibanding nelayan tradisional. 

Sehingga menjadi ironi, ketika tinggal di lumbung ikan, harga ikan malah meroket. Hal ini diperparah dengan rusaknya terumbu karang akibat ekploitasi yang berlebih sehingga untuk mencegah hal tersebut, pemerintah desa dan beberapa tokoh adat serta agama memikirkan untuk memberlakukan sasi terhadap laut mereka.

Sebenarnya Apa Itu Sasi? 

Sasi berasal dari kata sanksi yang berarti larangan untuk mengambil dan merusak sumberdaya alam tertentu dalam waktu tertentu untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam. (Nadia Putri Rachma Persada dkk. Sasi Sebagai Budaya Konservasi Sumberdaya Alam... Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 41. No. 59, Juli 2018).

Sumberdya alam yang dimaksud tadi dalam hal ini adalah teripang. Teripang sendiri merupakan komoditas laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Jadi sasi diberlakukan dengan tujuan memberikan kesempatan untuk teripang berproduksi dengan baik sekaligus menjaga ekosistemnya. 

Penerapan sasi ini tidak dilaksanakan pada komoditas lain seperti ikan, sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk memanfaatkannya. Selain teripang, ada komoditas lain yang diberlakukan aturan ini yaitu lola, kerang mutiara, dan lobster.

Sumber : mongabay.co.id/panen teripang/foto hanya ilustrasi
Sumber : mongabay.co.id/panen teripang/foto hanya ilustrasi

Tutu Sasi 

Dalam masyarakat Adaut, terdapat tiga pihak yang memiliki otoritas dalam melakukan sasi yakni gereja, lembaga adat, dan pemerintah desa. Prosesi diawali dengan peribadatan, dimana komoditas yang akan disasi didoakan atau digumulkan (dalam istilah setempat), dengan pakean toha dalam peribadatan tersebut pendeta akan mendoakan, dan memberkati komoditas sasi secara khusus, bersama dengan perangkat pelayan yang masing-masing dengan pakaean baniang atau pakaian jabatan majelis jemaat yang serba hitam.

Setelah didoakan nantinya akan ada semacam sosialisasi bahwa sasi telah dimulai atau su tutu sasi, sehingga dengan sendirinya masyarakat akan menjaga jangan sampai melanggar aturan yang sudah ditetapkan dan didoakan dalam peribadatan tersebut. 

Selanjutnya adalah peranan lembaga adat yakni soa yang memiliki petuanan di laut. Ketika telah dilakukan prosesi di gereja, sebagai pemegang otoritas adat, soa akan melaksanakan upacara penutupan sasi di pantai yang ditandai dengan diikatnya daong kalapa pada lokasi sasi. 

Daong kalapa ini ditautkan ke tiang sehingga tanda-tanda tersebut dilihat oleh masyarakat. Dengan demikian masyarakat dilarang mengambil hasil di wilayah yang ditandai. Sedangkan pemerintah desa berperan dalam pengawasan terhadap wilayah yang disasi, penegakkan aturan dan sanksi.

Dengan demikian tahapan awal dari sasi ini selesai, yang disebut tutu sasi. Tutu sasi memakan waktu cukup lama umumnya tiga sampai lima tahun. Sehingga dalam kurun waktu itu, alam akan memilki kesempatan untuk "beristirahat" sementara sehingga komoditas seperti teripang dan lola dapat berkembang biak dengan baik.

Buka Sasi

Ritual buka sasi dimulai dengan prosesi peribadatan sama seperti pada saat tutu sasi, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para tetua soa di balai desa untuk membincangkan prosesi pembukaan, selanjutnya para kepala soa yang memiliki petuanan laut yaitu Nifmase, Nuslare dan Onjout akan kembali ke wilayah mereka masing-masing untuk memberitahukan kabar ini kepada masyarakatnya.

Pada waktu yang ditentukan, para tetua soa akan berkumpul di pantai kemudian mengadakan ritual buka sasi yang ditandai dengan pembakaran daong kalapa. 

Kegiatan ini dilakukan di malam hari dan diikuti semua masyarakat Adaut, bukan saja itu jauh sebelum kabar buka sasi, warga Adaut yang berdomisili di Saumlaki akan ramai-ramai pulkam sehingga bisa dibayangkan bagaimana keramaian masyarakat yang mengikuti tradisi ini. 

Buka sasi dapat berlangsung selama dua sampai tiga minggu, sayangnya saya tidak memiliki dokumentasinya sehingga penggambaran suasananya kurang kena.

Ada hal yang melatar belakangi upacara buka sasi ini yaitu kebutuhan untuk pembangunan desa seperti pendirian gereja, sekolah atau jalan desa. 

Hal berikutnya yaitu hasil laut seperti teripang dan lola melimpah dan adanya kebutuhan yang mendesak semisal biaya sekolah anak yang sangat didukung dari penjualan hasil laut ini. 

Sanksi

Sudah tentu bagi pelanggar ada sanski yang akan diberikan oleh pemerintah desa. Dari beberapa literatur, disebutkan bahwa pelanggar aturan akan dipukul dengan rotan jawa sebanyak 25 kali tetapi seiring waktu diganti dengan denda (Laut dan Masyarakat Adat, Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017), sedangkan sanksi lainnya adalah sanski yang bersifat mistis sesuai kepercayaan masyarakat setempat.

Karena tradisi ini dimulai dengan prosesi sakral di gereja, masyarakat percaya bahwa pelanggar akan mendapat hukuman atau tulah. Semisal, ada kepercayaan bahwa ketika seseorang mencuri hasil sasi sebelum dibuka, akan muncul benjolan seperti teripang di badan pelaku dan hanya bisa sembuh jika sang pelaku mengakui dan menyesali perbuatannya terlebih dahulu sebelum didoakan. 

Ada juga yang percaya bahwa perbuatan ini akan menyebabkan tete-nene moyang marah sehingga pelaku akan mengalami kesialan, penyakit bahkan akan mengalami kematian. 

Demikian cara orang Adaut menjaga dan merawat ekosistem alam, dipenuhi dengan berbagai prosesi, ritual dan kesan mistik yang cukup kental bahkan, beberapa orang melihat alam ini sebagai ina atau ibu sehingga ketika melakukan hal baik terhadapnya sudah pasti akan mendapat berkat darinya. 

Semoga dari tradisi ini,  ada informasi yang bisa didapatkan oleh pembaca setia kompasiana.

Salam Hangat..

Beberapa Istilah

  1. Tabaku sek : Rokok lintingan 
  2. Sopi : Jenis arak tradisional yang disuling dari kelapa atau koli (jenis palem-paleman)
  3. Sumbat : Uang, sesuai kemampuan pemberi, tidak ditentukan pagunya
  4. Tnyafar : sejenis pemukiman kampung hanya saja letaknya di kebun yang jauh dari sesa
  5. Soa : persekutuan teritorial genealogis di suatu wilayah desa
  6. Tete-nene moyang : Sebutan setempat untuk leluhur
  7. Su tutu sasi : Bahasa Indonesia berdialek Melayu-Ambon yang berarti sudah tutup sasi 
  8. Daong kalapa : Janur kuning
  9. Pakean toha : Baju atau Toga yang dipakai Pendeta setaip kali memimpin Ibadah Minggu di gereja atau dalam liturgi-liturgi peribadahan khusus
  10. Pulkam : Istilah hari-hari yang dipakai untuk pulang kampung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun