Mohon tunggu...
Bernardus Marcello Agieus
Bernardus Marcello Agieus Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Ingin menyampaikan isi kepala saya dalam bentuk tulisan agar dapat menjadi bahan diskusi bersama manusia lainnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banyak Stigma, Sedikit Perhatian: Hak Wanita

21 Januari 2022   16:01 Diperbarui: 21 Januari 2022   16:01 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pexels.com, bebas hak cipta.

Sebagai manusia, kita semua pantas untuk mendapat perlakuan yang setara dan adil tanpa memandang hal apapun, termasuk jenis kelamin yakni laki – laki dan perempuan

Begitu pula di Indonesia, sebagaimana layaknya negara hukum, sudah tersedia peraturan – peraturan yang menjamin keadilan dan kesetaraan bagi warga negara baik di tingkat UUD sampai PP. Namun, nyatanya masih banyak juga peraturan yang pelaksanaannya belum maksimal dan khususnya merugikan perempuan. Hal ini belum termasuk pasal – pasal yang tergolong bias gender atau diskriminatif terhadap perempuan.

Dunia internasional sesungguhnya sudah mengangkat permasalahan hak perempuan sejak lama, utamanya dalam konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) yang diadakan oleh PBB pada tahun 1979. CEDAW menyimpulkan terdapat 5 hak – hak utama perempuan seperti: hak ketenagakerjaan, hak kesehatan, hak akademik, hak perkawinan, dan hak politik. 

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani hasil konvensi tersebut dan meratifikasi hasilnya dalam UU Nomor 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita. Namun, perjuangan mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia masih panjang karena disebabkan berbagai hambatan, salah satunya budaya patriarkis yang masih melekat di tengah masyarakat Indonesia. Mari kita ulas mengenai hak – hak perempuan di Indonesia.

Upah Murah Perempuan

Berdasarkan rilis UN Women, International Labour Organization (ILO), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pekerja wanita di Indonesia mendapatkan upah 23% lebih rendah dari pekerja pria. Kesenjangan ini lebih tinggi dari rerata internasional sebesar 16%. Pada penelitian yang dirilis oleh Kementerian PPPA pada tahun 2020, kesenjangan upah ini terjadi di semua jenjang pendidikan yang ditamatkan. 

Kesenjangan tertinggi ada di jenjang pendidikan terendah, yakni tidak atau belum tamat SD dengan rasio sebesar 52,97%, kemudian diikuti oleh pekerja lulusan SD dengan rasio 62,9%. Selanjutnya, rasio upah perempuan dengan laki-laki yang tidak atau belum pernah sekolah sebesar 63,45%. Kesenjangan upah antargender juga terjadi di antara lulusan pendidikan tinggi dimana pekerja wanita hanya menerima 66,7% dari upah yang didapatkan laki-laki.

Peraturan Perkawinan yang Patriarkis

Indonesia memiliki undang – undang yang mengatur mengenai perkawinan yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahannya hanya mengenai 2 pasal yang salah satunya adalah terkait perlindungan anak, pada UU 1/74 dikatakan bahwa batas usia menikah perempuan adalah 16 tahun dan laki – laki 18 tahun, hal ini bertentangan dengan UU Perlindungan anak yang mengatur tentang seseorang dianggap sebagai anak hingga usia 18 tahun, sehingga pada UU 16/2019 diubah menjadi 19 tahun baik bagi perempuan maupun laki – laki.

Sejujurnya ada beberapa pasal lain yang bias gender, seperti pasal 3 yang berbunyi

“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.”

pasal 4 mengenai poligami, pasal 31 ayat 3 yang berbunyi

“Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”

padahal suami dan istri memiliki kedudukan setara dalam hubungan pernikahan sehingga suami tidak harus menjadi kepala keluarga dan istri tidak harus menjadi yang berkewajiban mengurus rumah tangga. Kemudian ada juga pasal 34 ayat 1 dan 2 tentang urusan rumah tangga. 

Pasal – pasal ini berpotensi menciptakan stigma – stigma negatif kepada perempuan dalam segala faktor bahkan sejak masa kanak – kanak. Sebagai catatan, penulis mengutip pasal - pasal mengenai poligami sebagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan karena hak memiliki pasangan lebih dari 1 hanya dimiliki oleh pihak laki - laki.

Kuota Politik yang Belum Pernah Tercapai

Negara kita memiliki undang – undang yang mengatur tingkat partisipasi minimal politikus perempuan sebesar 30%. Kuota minimum ini diatur dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan:

‟Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟

diikuti dengan pasal 20 yang berbunyi

“Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing‟

Peraturan yang paling penting adalah terkait keterwakilan perempuan dalam pemilu dan badan legislatif yang diatur dalam pasal 53 UU 10/2008 yang berbunyi

“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”

Hal ini kemudian diperjelas dalam pasal 55 ayat 3 yang mengatur bahwa dalam setiap 3 bakal calon terdapat minimal 1 bakal calon perempuan. 

Peraturan yang mengatur partisipasi seperti ini memang berdampak positif dengan melihat tren persentase politikus perempuan di DPR, berawal dari Pemilu 1999 (9%), Pemilu 2004 (11,8%), Pemilu 2009 (18%), Pemilu 2014 (22%), meski kemudian turun di Pemilu 2019 menjadi sebesar 20,5%. 

Tren positif tersebut belum cukup karena kuota minimum yang ditetapkan adalah 30%, hal ini dapat berdampak pada perumusan perundang – undangan yang cenderung bias terhadap salah satu gender. Pun dapat dikatakan bahwa jikalau di masa depan jumlah politisi perempuan telah mencapai angka 30%, jumlah ini tetap belum dapat dikatakan setara. Perempuan perlu mengisi dan mendapatkan kursi lebih banyak dalam dunia politik sebagai salah satu langkah mewujudkan kesetaraan gender.

Stigmatisasi Perempuan

Banyak sekali stigma negatif yang melekat pada perempuan di tengah masyarakat, bahkan bisa dibilang sampai menyentuh segala aspek personal. Mari kita sebutkan beberapa stigma yang melekat di perempuan Indonesia: pintar memasak, berpakaian sopan, menjadi ibu rumah tangga, tidak pulang larut malam, dan lebih lemah dari lelaki. Selain hal – hal tadi tentu masih ada banyak stigma – stigma negatif lainnya mengenai perempuan yang bisa dibilang tidak perlu dipermasalahkan dan ‘bukan urusan kita’. 

Stigma negatif tidak hanya dilontarkan oleh orang – orang di sekitar, namun terkadang juga keluarga dan pasangan, terlebih lagi jika memiliki masalah dengan pasangan. Kasus perkosaan, perselingkuhan, KDRT, dan (juga) poligami seringkali menyalahkan atau ikut menyalahkan perempuan meski pihak perempuan tidak ada andil sama sekali. 

Khusus mengenai stigma pintar memasak dan menjadi ibu rumah tangga, penulis berasumsi ini adalah salah satu efek domino dari UU Perkawinan yang mengatur bahwa kewajiban istri adalah mengurus rumah tangga sehingga hal ini melekat dalam pemikiran masyarakat mengenai bagaimana seorang laki – laki dan perempuan bertumbuh serta menjalani kehidupan dewasa.

Aborsi…

Penulis sangat sadar bahwa pembicaraan mengenai aborsi sebagai hak perempuan sangat sensitive karena menyinggung banyak factor dalam kemasyarakatan, namun beberapa perempuan tetap ada yang memperjuangkan hak ini. Indonesia memang melarang praktik aborsi dengan beberapa pengecualian yang diatur dalam UU 39/2009 dan pasal 75 PP 61/2014. 

Meski telah diatur sebagai illegal, perdebatan mengenai legalisasi aborsi masih kerap diperbincangkan di tengah masyarakat. Kelompok yang mendukung aborsi dinamakan “pro-choice” yaitu setiap manusia (dalam hal ini perempuan) memiliki hak menentukan nasib badannya masing – masing, kemudian kelompok yang menolak aborsi dinamakan “pro-life” karena setiap janin dalam kandungan adalah kehidupan dan anugerah Tuhan sehingga melakukan aborsi disamakan dengan pembunuhan.

Berbicara mengenai pengecualian larangan aborsi, salah satunya adalah jika kehamilan terjadi karena kasus perkosaan. Beberapa waktu yang lalu di Jombang, Jawa Timur, seorang anak berusia 12 tahun hamil diperkosa oleh tetangganya (55). Kasus ini sempat viral karena polisi tidak mengeluarkan izin aborsi kepada korban dengan pertimbangan medis yang mengkhawatirkan terjadinya pendarahan pada proses aborsi. 

Hal ini jujur sangat disayangkan karena meskipun ada pertimbangan medis, semestinya ini menjadi hal yang dipertimbangkan langsung oleh pihak pertama yakni sang korban, bukan pihak lainnya apalagi polisi dan pemerintahan. Meski begitu, Dinas PPA Kabupaten Jombang mengatakan bahwa mereka akan merawat sang bayi pasca kelahiran jika korban tidak berkehendak.

Hak – hak perempuan di Indonesia memang masih sangatlah rendah, dan salah satu Langkah memperjuangkannya adalah terus menyuarakannya dimana saja. Pemerintah perlu ikut andil secara aktif dengan menciptakan undang – undang yang memperjuangkan hak perempuan, melakukan perubahan atas peraturan yang masih bias serta tidak adil terhadap perempuan, dan yang paling penting adalah mempercepat pengesahan RUU TPKS sebagai bentuk perlindungan segala warga negara dari tindakan kekerasan seksual. 

Layaknya konsep keadilan menurut Aristoteles, “suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara. Aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang baik”, keberadaan payung hukum adalah hal yang wajib untuk mewujudkan kesetaraan gender dengan diikuti oleh penerapan serta implementasi yang tegas di tengah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun