Mohon tunggu...
Bernardus Marcello Agieus
Bernardus Marcello Agieus Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Ingin menyampaikan isi kepala saya dalam bentuk tulisan agar dapat menjadi bahan diskusi bersama manusia lainnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banyak Stigma, Sedikit Perhatian: Hak Wanita

21 Januari 2022   16:01 Diperbarui: 21 Januari 2022   16:01 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pexels.com, bebas hak cipta.

Tren positif tersebut belum cukup karena kuota minimum yang ditetapkan adalah 30%, hal ini dapat berdampak pada perumusan perundang – undangan yang cenderung bias terhadap salah satu gender. Pun dapat dikatakan bahwa jikalau di masa depan jumlah politisi perempuan telah mencapai angka 30%, jumlah ini tetap belum dapat dikatakan setara. Perempuan perlu mengisi dan mendapatkan kursi lebih banyak dalam dunia politik sebagai salah satu langkah mewujudkan kesetaraan gender.

Stigmatisasi Perempuan

Banyak sekali stigma negatif yang melekat pada perempuan di tengah masyarakat, bahkan bisa dibilang sampai menyentuh segala aspek personal. Mari kita sebutkan beberapa stigma yang melekat di perempuan Indonesia: pintar memasak, berpakaian sopan, menjadi ibu rumah tangga, tidak pulang larut malam, dan lebih lemah dari lelaki. Selain hal – hal tadi tentu masih ada banyak stigma – stigma negatif lainnya mengenai perempuan yang bisa dibilang tidak perlu dipermasalahkan dan ‘bukan urusan kita’. 

Stigma negatif tidak hanya dilontarkan oleh orang – orang di sekitar, namun terkadang juga keluarga dan pasangan, terlebih lagi jika memiliki masalah dengan pasangan. Kasus perkosaan, perselingkuhan, KDRT, dan (juga) poligami seringkali menyalahkan atau ikut menyalahkan perempuan meski pihak perempuan tidak ada andil sama sekali. 

Khusus mengenai stigma pintar memasak dan menjadi ibu rumah tangga, penulis berasumsi ini adalah salah satu efek domino dari UU Perkawinan yang mengatur bahwa kewajiban istri adalah mengurus rumah tangga sehingga hal ini melekat dalam pemikiran masyarakat mengenai bagaimana seorang laki – laki dan perempuan bertumbuh serta menjalani kehidupan dewasa.

Aborsi…

Penulis sangat sadar bahwa pembicaraan mengenai aborsi sebagai hak perempuan sangat sensitive karena menyinggung banyak factor dalam kemasyarakatan, namun beberapa perempuan tetap ada yang memperjuangkan hak ini. Indonesia memang melarang praktik aborsi dengan beberapa pengecualian yang diatur dalam UU 39/2009 dan pasal 75 PP 61/2014. 

Meski telah diatur sebagai illegal, perdebatan mengenai legalisasi aborsi masih kerap diperbincangkan di tengah masyarakat. Kelompok yang mendukung aborsi dinamakan “pro-choice” yaitu setiap manusia (dalam hal ini perempuan) memiliki hak menentukan nasib badannya masing – masing, kemudian kelompok yang menolak aborsi dinamakan “pro-life” karena setiap janin dalam kandungan adalah kehidupan dan anugerah Tuhan sehingga melakukan aborsi disamakan dengan pembunuhan.

Berbicara mengenai pengecualian larangan aborsi, salah satunya adalah jika kehamilan terjadi karena kasus perkosaan. Beberapa waktu yang lalu di Jombang, Jawa Timur, seorang anak berusia 12 tahun hamil diperkosa oleh tetangganya (55). Kasus ini sempat viral karena polisi tidak mengeluarkan izin aborsi kepada korban dengan pertimbangan medis yang mengkhawatirkan terjadinya pendarahan pada proses aborsi. 

Hal ini jujur sangat disayangkan karena meskipun ada pertimbangan medis, semestinya ini menjadi hal yang dipertimbangkan langsung oleh pihak pertama yakni sang korban, bukan pihak lainnya apalagi polisi dan pemerintahan. Meski begitu, Dinas PPA Kabupaten Jombang mengatakan bahwa mereka akan merawat sang bayi pasca kelahiran jika korban tidak berkehendak.

Hak – hak perempuan di Indonesia memang masih sangatlah rendah, dan salah satu Langkah memperjuangkannya adalah terus menyuarakannya dimana saja. Pemerintah perlu ikut andil secara aktif dengan menciptakan undang – undang yang memperjuangkan hak perempuan, melakukan perubahan atas peraturan yang masih bias serta tidak adil terhadap perempuan, dan yang paling penting adalah mempercepat pengesahan RUU TPKS sebagai bentuk perlindungan segala warga negara dari tindakan kekerasan seksual. 

Layaknya konsep keadilan menurut Aristoteles, “suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara. Aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang baik”, keberadaan payung hukum adalah hal yang wajib untuk mewujudkan kesetaraan gender dengan diikuti oleh penerapan serta implementasi yang tegas di tengah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun