Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Spektrum Politik Menjelang Peristiwa G30 S/PKI

1 Oktober 2018   07:30 Diperbarui: 1 Oktober 2018   12:22 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa G-30 S/PKI sampai sekarang masih terus menjadi bahan perbincangan yang menarik.

Peristiwa itu sendiri telah mengakibatkan terjadinya pergeseran kekuatan politik di negeri ini yang ditandai dengan peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto.Efek peralihan kekuasaan itu mengakibatkan adanya polarisasi politik di masyarakat antara Orde Lama ( Orla) dengan Orde Baru( Orba).

Untuk waktu yang lama ,sekitar 32 tahun polarisasi yang demikian terus bertahan dan baru berakhir sesudah berakhirnya kekuasaan Suharto pada Mei 1998.

Sejalan dengan munculnya Reformasi yang salah satu hasilnya memberi kebebasan kepada masyarakat untuk berbicara dan mengemukakan pendapat maka peristiwa yang terjadi 53 tahun itu sampai sekarang tetap menjadi bahasan yang menarik.

Dalam kaitan yang demikianlah saya mencoba melihat spektrum politik menjelang peristiwa hitam itu.

Pada masa menjelang september 1965 ,kekuatan politik di negeri ini berpusat pada 3 simpul

Pertama,Sukarno ,Presiden dan juga Pemimpin Besar Revolusi.Pada masa itu banyak kekuatan politik yang bergantung pada karisma nya.

Sukarno yang sejak mudanya anti terhadap kolonialisme dan imperialisme tetap menganggap Indonesia yang sudah merdeka itu punya tugas suci untuk melawan ideologi itu.Pemimpin Besar Revolusi itu juga menganggap kekuatan imperialisme dan kolonialisme punya keinginan yang kuat untuk menghancurkan republik ini.Dalam kerangka berpikir yang demikianlah Sukarno menentang pembentukan negara Malaysia.Dalam pandangan nya disatukannya Persekutuan Tanah Melayu ,Singapura ,Sabah dan Serawak menjadi sebuah negara yang disebut Malaysia merupakan skenario negara negara imperialis untuk menghancurkan Indonesia.

Untuk menghadapi kekuatan imperialis itu ,Sukarno memobilisir kekuatan dalam negeri termasuk kekuatan politik dan ABRI.

Bung Karno kemudian mengeluarkan perintah yang dikenal sebagai Dwi Komando Rakyat ( Dwikora) yang intinya adalah " Ganyang Malaysia".

Selain mengkonsolidasi kekuatan dalam negeri ,Bung Karno juga menggalang kekuatan internasional yang terdiri dari negara negara yang anti imperialis dan kolonialis.

Putra Sang Fajar itu kemudian secara politik membagi dunia ini dalam dua kekuatan besar yang dinamakannya Old Estabilished Forces ( Oldefos ) yakni negara negara yang sudah mapan dan yang berpaham kolonialis -imperilalis.Dalam pandangan Bung Karno negara negara ini masih terus berkutat untuk menguasai negara negara yang baru merdeka.Untuk mencapai tujuannya Negara negara Oldefos ini menggunakan berbagai lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan juga Komite Olimpiade Internasional.

Untuk mengimbanginya, Sukarno menggagas adanya perhimpunan negara negara yang anti imperialis- kolonialis yang disebutnya New Emerging Forces ( Nefos).

Presiden RI kelahiran 6 Juni 1901 itu kemudisn mewujudkan gagasannya itu dengan menyelenggarakan Ganefo ( Games of New Emerging Forces ) di Jakarta tahun 1963.Pesta olahraga ini dimaksudkan untuk mengimbangi Olimpiade.

Kemudian untuk mengimbangi PBB yang dikuasai kekuatan imperialis - kolonialis itu ,Bung Karno menggagas adanya Conference of New Emerging Forces ( Conefo).

Kemarahan Pemimpin Besar Revolusi kepada PBB memuncak ketika badan internasional itu memilih dan menjadikan Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.Terhadap tindakan PBB yang demikian ,pada Januari 1965 ,Presiden Sukarno menyatakan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa.

Dengan keluarnya Indonesia dari PBB ,Sukarno semakin memusatkan perhatiannya untuk melaksanakan Conefo di Jakarta.

Pembangunan gedung baru yang megah untuk itu telah mulai dilaksanakan dan gedung itulah yang kemudian sekarang menjadi gedung MPR/ DPR yang ada di Senayan.

Tentulah sikap perlawanan Sukarno terhadap kekuatan internasional yang demikian sangat tidak disenangi oleh negara negara oldefos itu yang juga disebut negara negara barat.

Seperti diketahui ,negara barat terutama Amerika Serikat membagi negara negara menjadi dua kelompok besar yaitu negara negara yang berada dibawah pengaruhnya dan negara negara lain yang berada dibawah pengaruh Uni Sovyet-Republik Rakyat Cina ( RRC).

Dalam pandangan mereka Indonesia dibawah kepemimpinan Sukarno sudah sangat jauh berada dalam pengaruh kedua negara itu terutama dalam pengaruh RRC.

Oleh karena kedekatan Sukarno dengan Peking ( sekarang ditulis Beijing) maka posisi politik PKI dibawah pimpinan DN Aidit juga semakin menguat.

Dengan posisi politik yang demikian ,PKI juga semakin gencar melakukan serangan "offensif revolusioner" terhadap lawan lawan politiknya didalam negeri.

Layak dicatat berdasarkan hasil Pemilu 1955 ,PKI telah mampu menempatkan dirinya sebagai pemenang peringkat empat sesudah PNI,Masyumi dan Nahdlatul Ulama ( NU).

Berbagai jargon revolusioner diluncurkan PKI seperti " Ganyang 7 Setan Desa " .Kemudian sejalan dengan meningkatnya suhu politik berkaitan dengan "Ganyang Malaysia", PKI meminta agar buruh dan tani dipersenjatai.

Disisi lain terjadilah bentrokan fisik antara PKI atau mantel organisasinya yang menyerang ormas yang anti komunis.Kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI) di Jember diserang.Tidak hanya itu ,PKI juga meminta agar HMI dibubarkan.

Pada salah satu pidatonya Aidit pernah mengatakan kalau CGMI( Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) tidak mampu membubarkan HMI maka lebih baik anggota CGMI memakai sarung.

Terhadap serangan PKI yang demikian ,HMI mendapat perlindungan dari Jenderal Ahmad Yani ,Menteri Panglima Angkatan Darat.Disamping Yani ,Jenderal AH Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang anti komunis.

Serangan PKI juga ditujukan kepada kiai kiai NU sehingga terjadilah benturan antara Pemuda Rakyat dengan Pemuda Ansor.

Benturan antara NU dan PKI tidak hanya terjadi menjelang 65 tetapi benturan yang demikian juga sudah muncul sejak 1948 ketika terjadi Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Pelajar Islam Indonesia ( PII) sebuah organisasi pelajar yang anti komunis juga tidak luput dari serangan PKI.Ketika menjelang 65 organisasi itu melakukan kegiatan di Kanigoro ,Yogjakarta dan kader kader PKI pun menyerang kegiatan tersebut.

Tidak hanya  HMI,Angkatan Darat juga melindungi ormas ormas yang anti komunis.Pimpinan Angkatan Darat juga terlihat tidak senang dengan tindakan "offensive revolusioner" yang dikakukan PKI.

Pada masa yang demikianlah serta ditopang oleh kontribusinya dalam mempertahankan kemerdekaan ,ABRI terutama Angkatan Daraf telah tumbuh sebagai kekuatan politik di negeri ini.

Dengan demikian menjelang September 1965 di Indonesia ada 3 simpul kekuatan politik yakni : Sukarno,ABRI  dan PKI.

Perseteruan politik antara ABRI dan PKI semakin meningkat terutama dengan adanya isu sakit nya Bung Karno.Apabila dengan sakitnya itu terjadi sesuatu pada Bung Karno maka konstelasi politik akan berubah.

Sebelum sesuatu terjadi pada Bung Karno maka menurut pandangan beberapa analis politik,Aidit berkesimpulan harus mendahului gerakan menyingkirkan beberapa orang pimpinan ABRI yang dinilai anti terhadap PKI.

Menurut pendapat analis itu yang kemudian sejalan dengan pandangan Pemerintah Orde Baru ,Aidit dengan mengandalkan dua orang staf khususnya yang misterius ,Sam dan Pono berhasil menggerakkan elemen yang ada di tubuh Resimen  Tjakrabirawa , menculik dan kemudian membunuh enam orang jenderal dan satu perwira pertama.

Setelah terjadi penculikan pada 30 September 1965,maka pada 1 Oktober 1965 ,Letnan Kolonel Untung salah seorang komandan batalion pada resimen Cakrawibawa mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi dan perbuatan yang demikian dianggap merupakan tindakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.

Oleh  karena para petinggi Angkatan Darat telah diculik maka muncullah Mayor Jenderal Suharto,Pangkosrad mengambil alih situasi dan selanjutnya memimpin operasi menghancurkan kekuatan PKI yang melakukan kudeta itu.

Sesudah 53 tahun berlalu perbincangan maupun analisa  tentang tragedi berdarah itu masih terus berlangsung.

Perbincangan itu terjadi karena masih banyak tanda tanya terhadap kejadian itu.

Semuanya itu tentulah akan memperkaya pemahaman kesejarahan kita terhadap peristiwa kelam itu.

Salam Kebangsaan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun