Selama beberapa hari di Jakarta ,dua hari di antaranya, 18 dan 19 September 2018 saya gunakan khusus untuk berkunjung ke Perpustakaan Nasional. Jalan Medan Merdeka Selatan.
Saya beruntung pada kunjungan di Perpustakaan Nasional yang tertinggi di jagad ini sedang berlangsung Festival Nusantara yang antara lain diisi kegiatan pameran  dan diskusi ilmiah tentang naskah Nusantara.
Saya bukanlah budayawan, bukan juga ahli sejarah, bukan ahli bahasa dan juga bukan ahli filologi. Tetapi mencermati naskah naskah kuno yang dipamerkan dan yang didiskusikan itu muncul rasa bangga tentang betapa kayanya peradaban bangsa ini.
Dalam posisi yang bukan budayawan itu sejak lama saya senang membaca berbagai artikel yang berkaitan dengan naskah-naskah yang pernah ditulis pada masa ratusan tahun yang lalu itu.
Pada pameran naskah Nusantara di Perpustakaan Nasional itu ada beberapa naskah yang sudah pernah saya dengar tetapi banyak juga yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Di antara naskah kuno yang pernah saya dengar itu diantaranya "La Galigo". I La Galigo adalah sebuah epik mitologi dari Sulawesi Selatan dan merupakan naskah terpanjang di dunia dengan 13.000 baris teks dan 12.000 manuskrip folio, terdiri dari 6.000 halaman. Naskah ini merupakan "Memory of the World" yang telah diakui UNESCO karena mengandung literatur dan ingatan kolektif dunia.
Hal ini diungkapkan oleh Arief Rachman, Ketua Harian Komisi Nasional untuk UNESCO (antaranews.com,14/9/2014). Naskah kuno itu ditulis dalam aksara Bugis menggunakan bahasa Bugis dan telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Muhammad Salim dan juga telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh John H McGlynn.
I La Galigo adalah sebuah naskah yang menceritakan awal mula kerajaan bumi, kisah dewa dewi. Kuat dugaan naskah ini ditulis pada sekitar abad XIII dalam bentuk puisi bahasa Bugis Kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga seorang perantau.
Alangkah hebat dan berharganya naskah itu sehingga oleh UNESCO diakui sebagai " Memory of the World". Kita beruntung sekarang naskah itu disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah Kuno lainnya yang pernah saya dengar ialah Negarakretagama yang artinya "Negara dengan Tradisi ( Agama) yang suci".
Naskah ini selesai ditulis pada 1365 oleh Prapanca dan Wikipedia menyebut nama penulis ini adalah nama samaran. Nama sebenarnya dari penulis naskah terkenal itu adalah Dang Acarya Nadendra, bekas pembesar urusan agama Buddha di Istana Majapahit.
Negarakretagama ditulis dalam bentuk kakawin (syair) Jawakuna dan menguraikan keadaan di Kraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Bagian terpenting dari naskah ini menguraikan daerah-daerah "wilayah kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti.
Masyarakat etnik Mandailing termasuk saya merasa semakin penting arti naskah kuno itu karena pada Negarakretagama ada disebut wilayah Mandailing.
Dalam berbagai kesempatan, tokoh-tokoh Mandaling banyak mengutip naskah kuno itu karena hal tersebut mengisyaratkan pada abad XIII nama Mandailing sudah dikenal dan sudah tercatat dalam naskah kuno terkenal itu.
Sesungguhnya hanya dengan dua naskah kuno, La Galigo dan Negarakretagama saja pun kita sudah berbangga hati. Tapi yang kita miliki tidak hanya itu, puluhan naskah kuno lainnya sudah banyak juga yang kita kenal. Kita makin bangga ketika diinformasikan, sekarang ini naskah kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional berjumlah 10.334 naskah.
Saya meyakini selain yang tersimpan di Perpustakaan tertinggi di dunia itu, ribuan naskah kuno lainnya masih ada disimpan di rumah para petinggi adat di berbagai daerah. Di kampung halaman di Mandailing misalnya saya tahu persis masih banyak naskah kuno yang ditulis dengan aksara dan berbahasa Mandailing terdapat di rumah rumah pengetua adat.
Hal-hal itu semua membuat kita bangga, betapa bangsa, betapa suku bangsa di negeri ini untuk waktu yang lama sudah punya peradaban yang tinggi, sudah punya tradisi mengungkapkan pikiran, gagasan serta ajaran kebajikan melalui tulisan. Bahkan di antaranya sudah diakui sebagai "legacy" untuk dunia.
Tetapi serentak dengan kebanggaan itu muncul juga kecemasan terutama yang berhubungan dengan,1) kemampuan kita untuk merawat naskah naskah itu, 2) semakin sedikit anak bangsa yang mengerti tentang naskah kuno, 3) seberapa besar kesadaran kita tentang arti penting naskah kuno itu.
Kemampuan kita untuk merawat naskah kuno itu berkaitan dengan kemampuan untuk menjaga fisik naskah itu. Sebuah naskah yang sudah berumur ratusan tahun kalau tidak disimpan dengan cara yang tepat tentu akan mudah rusak. Untuk merawat atau memeliharanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Menurut informasi, naskah La Galigo agar tetap awet harus diletakkan pada ruangan yang punya temperatur kurang lebih 16 derajat celsius dengan kelembaban udara berkisar 30-55 persen.
Untuk sebahagian besar naskah kuno yang ada di Perpustakaan Nasional mungkin sudah bisa disimpan dengan baik, tetapi bagaimana dengan naskah kuno lainnya yang diyakini juga masih banyak tersebar di berbagai daerah.
Kemudian hal lain yang menjadi kecemasan kita ialah semakin sedikit anak bangsa yang bisa membaca naskah kuno. Naskah kuno menjadi sedikit yang bisa membacanya karena naskah itu ditulis dengan aksara lokal dengan menggunakan bahasa lokal yang mungkin saja tidak lagi dipahami pada masa sekarang ini.
Ketika mengungkapkan kalimat di atas tiba-tiba saya merasa berbicara juga tentang naskah kuno di Mandailing, etnik tempat saya berasal. Tidak banyak lagi yang paham tentang Aksara Mandailing yang disebut juga "Surat Tulak-Tulak" yang menurut Uli Kozok -peneliti bahasa, budaya, aksara Mandailing itu berasal dari huruf Pallawa.
Begitu juga tentang bahasa yang digunakan tentu sudah sangat jauh dengan bahasa yang digunakan oleh orang Mandailing sekarang ini. Hal lain yang menjadi kecemasan kita ialah sejauh mana kita merasa naskah kuno itu perlu dirawat.
Mungkin ada yang beranggapan naskah itu harus dirawat karena merupakan khazanah kekayaan bangsa. Tentu pandangan yang demikian sangat positip dan hendaklah dihindari anggapan sebaliknya yang menganggap ,apa perlunya merawat dan memelihara naskah yang demikian.
Pada akhirnya sewajarnyalah kita mengingat, orang luar saja termasuk UNESCO menghargai karya masa lalu itu dan kita juga harus menghargai dan membanggakannya.
Salam Kebudayaan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI