Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menjelang Proklamasi Mengapa Sukarno-Hatta Diculik?

17 Agustus 2018   13:10 Diperbarui: 18 Agustus 2018   00:03 1969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1944 posisi Jepang pada perang Asia Timur Raya mulai terjepit. Bala tentaranya mulai terpukul di beberapa front pertempuran. Pasukan negara Matahari Terbit mulai kewalahan menghadapi pasukan Amerika Serikat yang dipimpin oleh Jenderal MacArthur yang legendaris itu.

Jenderal cerdas nan tampan sekaligus angkuh yang populer dengan kata-katanya "I Shall Return"--sebuah penggambaran tekad akan menguasai kembali beberapa pulau di Asia Pasifik yang sudah ditaklukkan Jepang--bersama pasukannya berhasil membuat pasukan para lawan kedodoran dan beberapa wilayah strategis lepas dari penguasaan tentara Jepang.

Dengan posisi yang semakin melemah di berbagai front perang, tanggal 7 September 1944, di depan Parlemen Jepang, Perdana Menteri Koiso mengumumkan bahwa negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Jepang diperkenankan "merdeka".

Kuat dugaan janji yang demikian bertujuan untuk menarik simpati penduduk dan tokoh-tokoh bangsa yang negerinya mereka duduki atau yang mereka jajah.

Pada akhir 1944 posisi Jepang semakin terjepit dalam Perang Asia Timur Raya karena pasukan sekutu berhasil menduduki wilayah-wilayah kekuasaan Jepang, seperti Papua Nugini, Kepulauan Salomon, bahkan Kepulauan Saipan yang letaknya sudah sangat dekat dengan Negara Matahari Terbit itu.

Untuk menindaklanjuti pernyataan Perdana Menteri Koiso itu pada 1 Maret 1945, Panglima Tentara Jepang yang menguasai Jawa, Letnan Jenderal Kumakici Harada, mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Sesudah melalui proses yang panjang, kemudian BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945. Keanggotaannya berjumlah 67 orang yang diketuai oleh Dr.K.R.T. Radjiman Widiodiningrat. Pada badan itu ada 7 orang anggota berkebangsaan Jepang tetapi tidak punya hak suara.

Badan ini bergerak cepat dan pada 29 Mei-1 Juni 1945 mereka mengadakan sidang yang antara lain membahas dasar negara Indonesia yang akan berdiri nanti.

Pada sidang tanggal 1 Juni, Bung Karno berpidato menguraikan pandangannya tentang dasar negara yang kemudian dinamakannya Pancasila. Perserta sidang menyetujui gagasan dan pandangan Sukarno itu.

Tanggal 7 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Inkai.

Panitia ini diketuai oleh Ir.Sukarno dengan Wakilnya Hatta dan mempunyai tugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Jepang terlihat semakin serius untuk untuk memberi kemerdekaan untuk Indonesia yang antara lain dibuktikan dengan diundangnya 3 pemimpin Indonesia, Sukarno, Hatta, dan Radjiman Widiodiningrat ke Dalat Vietnam. Di Dalat ketiga tokoh bangsa itu diterima oleh Jenderal Terauchi, Panglima Tentara Jepang di Asia Tenggara.

Pada pertemuan tanggal 12 Agustus 1945 itu, Terauchi menyatakan bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Panglima Tentara Jepang itu juga menyatakan kapanpun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan.

Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu. Selama proses menjelang Indonesia merdeka itu ada perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh bangsa. Mereka terbelah pada dua kelompok, yaitu yang disebut kelompok "Co" dan "Non Co".

Kelompok Co dianggap tokoh yang kooperatif dengan Jepang sedangkan Non Co, para tokoh yang tidak kooperatif dengan penguasa Negara Matahari Terbit itu. Tokoh Non Co antara lain Sutan Syahrir yang didukung beberapa tokoh pemuda. Kelompok ini tidak mau kalau kemerdekaan itu disebut hadiah atau pemberian dari Pemerintah Jepang.

Untuk itulah mereka mendesak agar Sukarno-Hatta segera mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Sedangkan Sukarno-Hatta dan pemimpin bangsa yang lebih tua usianya menginginkan agar Proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indinesia (PPKI) yang mana Sukarno -Hatta merupakan Ketua dan Wakil Ketua.

Para pemuda melalui rapat tanggal 15 Agustus 1945 telah mengambil keputusan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang.

Keputusan tersebut disampaikan kepada Sukarno pada 15 Agustus malam. Tetapi Sukarno menolaknya karena merasa bertanggung jawab sebagai Ketua PPKI.

Akibat penolakan itulah kemudian para pemuda seperti Soekarni, Wikana, Aidit, dan Chairul Saleh melakukan penculikan terhadap Sukarno-Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 sekitar pukul tiga dini hari. Mereka membawa kedua tokoh bangsa itu ke Rengasdengklok, Karawang dan diinapkan di rumah seorang Tionghoa Djiaw Kie Siong.

Di tempat penculikan itu para pemuda menekan dan mendesak agar Sukarno-Hatta segera mempercepat pengumuman proklamasi dan memutuskan mata rantai kemerdekaan dengan penguasa Jepang.

Menyikapi tekanan yang demikian, Sukarno-Hatta tetap tegar pada pendiriannya tidak mau dipaksa dan ditekan para pemuda.

Melihat kukuhnya pendirian Sukarno-Hatta, para pemuda melepas kedua tokoh bangsa itu. Pada tanggal 16 Agustus tengah malam, Sukarno-Hatta, Ibu Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra tiba kembali di Jakarta.

Selanjutnya pada Jum'at, 17 Agustus 1945 pukul 10.03 bertempat di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Sukarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Sukarno-Hatta tetap kokoh bersikap menolak permintaan para pemuda? Bukankah sepintas terlihat tuntutan para pemuda itu cukup heroik dengan semangat nasionalisme yang membara yaitu tidak ingin kemerdekaan negerinya disangkutpautkan dengan "kebaikan hati" Pemerintah Jepang?

Memang kalau dilihat sepintas ada campur tangan pemerintah Jepang dalam proses menuju kemerdekaan.

Pembentukan BPUPKI, PPKI, hingga diundangnya Sukarno-Hatta dan Radjiman Widiodiningrat ke Dalat Vietnam tidak dapat dilepaskan dari peran Pemerintah Jepang.

Sukarno - Hatta dan tokoh bangsa lainnya tentu juga menyadari hal ini. tetapi andainya proklamasi diumumkan tanpa dikaitkan dengan PPKI juga bisa menimbulkan risiko.

Kaisar Hirohito memang sudah mengumumkan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu. Namun walau demikian secara de facto, tentara Jepang masih ada di Indonesia.

Apabila pengumuman proklamasi dilakukan tidak dalam kerangka yang diinginkan Jepang maka bisa saja terjadi pertumpahan darah karena tentara Jepang bisa mengambil langkah-langkah dan melakukan tindakan keras terhadap pelaksanaan proklamasi itu.

Berikutnya kalau proklamasi diumumkan tanpa dikaitkan dengan PPKI, lalu apa legalitas Sukarno-Hatta menyatakan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia?

Pada akhirnya kita menyaksikan dengan kearifan Sukarno-Hatta dan pemimpin bangsa lainnya serta dengan Rahmat Tuhan, hari ini kita merayakan ulang tahun ke-73 Kemerdekaan bangsa yang kita cintai ini.

Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun