Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Konfusius dan Foucault: Membaca Pendidikan dalam Tahun Ular Kayu

30 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 30 Januari 2025   11:54 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpribadi AI Generative by Maran

Tahun Baru Imlek bukan sekadar perayaan budaya, tetapi juga momentum reflektif yang penuh makna filosofis. Tahun 2025 akan menjadi Tahun Ular Kayu, sebuah simbol yang melambangkan kebijaksanaan, strategi, dan ketahanan dalam budaya Tionghoa. Dalam konteks pendidikan, makna ini dapat dijadikan pijakan untuk membaca kembali bagaimana sistem pendidikan dibentuk, terutama dengan merujuk pada filsafat Timur dan pemikiran postmodernisme.

Konfusianisme sebagai fondasi pendidikan Cina telah membentuk cara berpikir, etika, dan struktur sosial masyarakat selama ribuan tahun. Sementara itu, Michel Foucault, seorang pemikir postmodern, mengkritisi bagaimana pendidikan bukan hanya alat pembelajaran, tetapi juga mekanisme kuasa yang membentuk individu dalam masyarakat modern. Dengan menggunakan perspektif Konfusianisme dan Foucault, kita dapat melihat bagaimana sistem pendidikan Indonesia dapat mengambil pelajaran dari dua pemikiran besar ini.

Makna Simbolik Ular Kayu dalam Tradisi Cina

Dalam astrologi Cina, Ular Kayu melambangkan kecerdasan, intuisi, dan perencanaan strategis. Ular dikenal sebagai makhluk yang bijaksana dan penuh perhitungan, sementara unsur kayu melambangkan pertumbuhan, fleksibilitas, dan daya adaptasi. Kombinasi ini menandakan bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari pembelajaran yang terus berkembang dan beradaptasi dengan keadaan.

Makna ini memberikan pelajaran penting bagi pendidikan: sistem pembelajaran tidak boleh kaku dan statis. Pendidikan harus bersifat dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan peserta didik. Jika pendidikan hanya berfokus pada hafalan dan struktur yang baku, maka ia kehilangan fleksibilitas yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Ular Kayu juga melambangkan strategi dan perencanaan jangka panjang. Dalam dunia pendidikan, ini berarti pentingnya membangun sistem yang tidak hanya berorientasi pada hasil akademik, tetapi juga mempersiapkan peserta didik menghadapi realitas dunia yang kompleks. Pendidikan perlu melatih keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan inovasi sebagai bagian dari pembelajaran berkelanjutan.

Filosofi Ular Kayu mengajarkan bahwa kebijaksanaan dalam pendidikan harus menyeimbangkan teori dan praktik. Proses pembelajaran yang efektif tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga melalui pengalaman nyata yang membentuk karakter, nilai, dan keterampilan peserta didik.

Konfusianisme dan Pendidikan: Harmoni dalam Pembelajaran

Konfusianisme memiliki pengaruh besar dalam sistem pendidikan Asia, terutama dalam menanamkan nilai-nilai moral dan etika. Konfusius percaya bahwa pendidikan adalah kunci mencapai kebajikan (ren) dan membangun masyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya tentang menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan etika yang kuat.

Salah satu prinsip utama dalam Konfusianisme adalah li (kesopanan dan tata krama), yang menekankan kedisiplinan dan aturan dalam belajar. Dalam hubungan guru-murid, prinsip ini tercermin dalam rasa hormat terhadap otoritas akademik dan kepatuhan terhadap norma-norma yang berlaku. Ini memastikan bahwa pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk individu yang memiliki sikap dan perilaku baik.

Selain itu, Konfusianisme menekankan konsep xiao (bakti kepada orang tua dan guru). Pendidikan dalam pandangan ini adalah bentuk penghormatan terhadap generasi sebelumnya dan tanggung jawab untuk meneruskan ilmu kepada generasi berikutnya. Hal ini menekankan peran guru sebagai pembimbing, bukan sekadar penyampai materi pelajaran, tetapi juga teladan moral bagi peserta didik.

Namun, dalam konteks pendidikan modern, pendekatan Konfusianisme juga menghadapi tantangan. Nilai-nilai seperti kepatuhan dan hierarki yang terlalu kaku dapat menghambat kreativitas dan kebebasan berpikir. Oleh karena itu, penting bagi sistem pendidikan Indonesia untuk menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dengan pendekatan yang lebih inovatif dan terbuka.

Dengan mengadopsi semangat Konfusianisme secara kontekstual, pendidikan dapat tetap menanamkan etika dan moral tanpa membatasi eksplorasi dan inovasi peserta didik. Pendidikan harus menjadi ruang yang menghargai tradisi sekaligus mendorong pemikiran kritis dan adaptif.

Foucault dan Pendidikan: Disiplin dan Kuasa dalam Sekolah

Michel Foucault dalam Discipline and Punish mengkritisi bagaimana pendidikan modern tidak sekadar alat pencerdasan, tetapi juga instrumen kontrol sosial. Sekolah, dalam pandangan Foucault, adalah "pabrik" yang membentuk individu sesuai dengan standar tertentu melalui sistem disiplin dan pengawasan.

Foucault menjelaskan bahwa dalam sistem pendidikan modern, disiplin diterapkan melalui mekanisme pemantauan, klasifikasi, dan evaluasi yang ketat. Proses ini menciptakan individu yang patuh terhadap aturan dan hierarki, tanpa banyak ruang untuk berpikir kritis. Akibatnya, sekolah sering kali menjadi tempat yang lebih menekankan kepatuhan dibandingkan dengan pengembangan kreativitas dan kebebasan berpikir.

Di Indonesia, sistem pendidikan masih banyak menerapkan model ini. Struktur sekolah yang hierarkis, sistem ujian yang rigid, serta standar kurikulum yang kaku menunjukkan bagaimana pendidikan sering kali lebih berorientasi pada kepatuhan daripada eksplorasi intelektual. Banyak peserta didik yang akhirnya belajar hanya untuk memenuhi standar nilai, bukan untuk memahami konsep secara mendalam.

Selain itu, model pengawasan dalam pendidikan juga terlihat dalam bentuk aturan-aturan ketat yang membatasi ruang gerak siswa dan guru. Evaluasi berbasis angka menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, sementara aspek pembelajaran yang lebih holistik sering kali diabaikan. Dengan demikian, sekolah berisiko menjadi alat reproduksi sosial yang melanggengkan struktur kekuasaan dan menghambat inovasi.

Dengan perspektif ini, kita perlu meninjau kembali apakah sistem pendidikan kita benar-benar membebaskan atau justru mengekang potensi siswa. Pendidikan seharusnya tidak hanya menciptakan individu yang patuh, tetapi juga mereka yang mampu berpikir mandiri dan berkontribusi secara kreatif dalam masyarakat.

Menyatukan Konfusianisme dan Pemikiran Postmodern dalam Pendidikan Indonesia

Menyatukan pemikiran Konfusianisme dan Foucault dalam pendidikan Indonesia mungkin terdengar paradoksal, tetapi justru membuka peluang besar bagi reformasi pendidikan yang lebih holistik. Konfusianisme, dengan penekanannya pada harmoni sosial dan pendidikan berbasis moralitas, tampaknya bertentangan dengan analisis Foucault yang melihat pendidikan sebagai instrumen kontrol sosial. Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, mengombinasikan kedua perspektif ini dapat menghasilkan pendekatan yang lebih fleksibel, kontekstual, dan adaptif, yang menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dengan pemikiran kritis terhadap struktur kekuasaan dalam sistem pendidikan.

Konfusianisme mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sarana pembentukan karakter yang berlandaskan kebajikan. Konsep seperti Ren (kemanusiaan), Li (kesopanan), dan Yi (keadilan) menjadi dasar dalam menciptakan individu yang berintegritas dan berkontribusi bagi masyarakat. Di sisi lain, Foucault mengingatkan bahwa sistem pendidikan seringkali terjebak dalam mekanisme kontrol yang membatasi kebebasan berpikir. Ia menyoroti bagaimana sekolah dapat menjadi alat normalisasi yang mengajarkan kepatuhan melalui sistem evaluasi, disiplin, dan hierarki yang rigid. Oleh karena itu, tantangan utama bagi pendidikan Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan pembentukan karakter dengan kebebasan intelektual agar peserta didik tidak hanya menjadi individu yang berbudi luhur tetapi juga kritis terhadap sistem yang membentuk mereka.

Kurikulum Merdeka sudah mulai mengakomodasi pendidikan berbasis karakter, tetapi belum sepenuhnya membebaskan siswa dari mekanisme kontrol pendidikan yang menekan kebebasan berpikir. Sistem evaluasi masih berorientasi pada hasil akademik, sementara eksplorasi ide dan kreativitas belum sepenuhnya dihargai sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan. Untuk itu, perlu adanya pembelajaran berbasis pengalaman yang memungkinkan peserta didik mengalami langsung proses berpikir kritis dan refleksi moral dalam berbagai konteks kehidupan nyata. Pendidikan karakter seharusnya bukan hanya berupa doktrin moral yang diajarkan secara formal, tetapi lebih kepada penginternalisasian nilai-nilai yang dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh, pendidikan harus menyediakan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi tanpa takut terhadap sistem yang terlalu menekan. Foucault menekankan pentingnya resistensi terhadap struktur kekuasaan yang mengekang, sementara Konfusianisme mengajarkan bahwa pembelajaran harus dilakukan dalam kerangka relasi yang harmonis. Ini berarti sekolah harus mampu menjadi ruang dialog yang sehat, di mana siswa didorong untuk bertanya, bereksperimen, dan menantang status quo tanpa kehilangan nilai-nilai etika dan kebajikan sosial. Dengan kata lain, pendidikan harus memungkinkan lahirnya individu yang berani berpikir mandiri tanpa tercerabut dari akar nilai-nilai budaya yang membentuk mereka.

Filosofi Ular Kayu dapat menjadi inspirasi dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Dalam astrologi Tionghoa, Ular Kayu melambangkan kebijaksanaan, keluwesan, dan kemampuan bertransformasi sesuai keadaan. Sistem pendidikan yang baik seharusnya mencerminkan fleksibilitas ini---tidak hanya mengikuti standar yang kaku, tetapi mampu menyesuaikan dengan dinamika sosial dan kebutuhan individu peserta didik. Pendidikan yang ideal bukanlah yang sekadar mengejar angka dan kepatuhan, tetapi yang mampu memberdayakan siswa untuk menjadi pemikir kritis sekaligus manusia yang bermoral.

Dengan menyatukan kebajikan Konfusianisme dan analisis kritis Foucault, pendidikan Indonesia dapat bergerak menuju paradigma baru yang lebih seimbang antara harmoni dan kebebasan, antara moralitas dan daya kritis, serta antara tradisi dan inovasi. Reformasi pendidikan harus diarahkan pada penciptaan sistem yang tidak hanya membentuk manusia berkarakter, tetapi juga menciptakan ruang di mana mereka bebas mengeksplorasi ide, menantang batas-batas pemikiran, dan pada akhirnya, berkontribusi bagi kemajuan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan bukan lagi sekadar alat kontrol sosial, tetapi menjadi instrumen pembebasan yang memungkinkan setiap individu tumbuh dan berkembang secara autentik.

Kesimpulan

Tahun Ular Kayu memberikan kita kesempatan untuk merefleksikan kembali sistem pendidikan. Dengan mengambil nilai-nilai Konfusianisme tentang harmoni dan moralitas serta kritik Foucault tentang kuasa dalam pendidikan, kita dapat membangun sistem yang lebih humanis, fleksibel, dan membebaskan. Pendidikan tidak boleh menjadi alat penyeragaman, melainkan harus menjadi ruang bagi setiap individu untuk tumbuh sesuai dengan potensinya.

Dalam konteks Indonesia, saat kita tengah mengembangkan kebijakan pendidikan yang lebih adaptif seperti Merdeka Belajar, pemikiran ini menjadi semakin relevan. Mungkin, inilah saatnya bagi kita untuk melihat pendidikan bukan hanya sebagai transfer ilmu, tetapi juga sebagai jalan menuju kebijaksanaan yang sesungguhnya---sebuah konsep yang telah diajarkan oleh filsafat Cina selama ribuan tahun. ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun