Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Konfusius dan Foucault: Membaca Pendidikan dalam Tahun Ular Kayu

30 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 30 Januari 2025   11:54 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpribadi AI Generative by Maran

Namun, dalam konteks pendidikan modern, pendekatan Konfusianisme juga menghadapi tantangan. Nilai-nilai seperti kepatuhan dan hierarki yang terlalu kaku dapat menghambat kreativitas dan kebebasan berpikir. Oleh karena itu, penting bagi sistem pendidikan Indonesia untuk menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dengan pendekatan yang lebih inovatif dan terbuka.

Dengan mengadopsi semangat Konfusianisme secara kontekstual, pendidikan dapat tetap menanamkan etika dan moral tanpa membatasi eksplorasi dan inovasi peserta didik. Pendidikan harus menjadi ruang yang menghargai tradisi sekaligus mendorong pemikiran kritis dan adaptif.

Foucault dan Pendidikan: Disiplin dan Kuasa dalam Sekolah

Michel Foucault dalam Discipline and Punish mengkritisi bagaimana pendidikan modern tidak sekadar alat pencerdasan, tetapi juga instrumen kontrol sosial. Sekolah, dalam pandangan Foucault, adalah "pabrik" yang membentuk individu sesuai dengan standar tertentu melalui sistem disiplin dan pengawasan.

Foucault menjelaskan bahwa dalam sistem pendidikan modern, disiplin diterapkan melalui mekanisme pemantauan, klasifikasi, dan evaluasi yang ketat. Proses ini menciptakan individu yang patuh terhadap aturan dan hierarki, tanpa banyak ruang untuk berpikir kritis. Akibatnya, sekolah sering kali menjadi tempat yang lebih menekankan kepatuhan dibandingkan dengan pengembangan kreativitas dan kebebasan berpikir.

Di Indonesia, sistem pendidikan masih banyak menerapkan model ini. Struktur sekolah yang hierarkis, sistem ujian yang rigid, serta standar kurikulum yang kaku menunjukkan bagaimana pendidikan sering kali lebih berorientasi pada kepatuhan daripada eksplorasi intelektual. Banyak peserta didik yang akhirnya belajar hanya untuk memenuhi standar nilai, bukan untuk memahami konsep secara mendalam.

Selain itu, model pengawasan dalam pendidikan juga terlihat dalam bentuk aturan-aturan ketat yang membatasi ruang gerak siswa dan guru. Evaluasi berbasis angka menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, sementara aspek pembelajaran yang lebih holistik sering kali diabaikan. Dengan demikian, sekolah berisiko menjadi alat reproduksi sosial yang melanggengkan struktur kekuasaan dan menghambat inovasi.

Dengan perspektif ini, kita perlu meninjau kembali apakah sistem pendidikan kita benar-benar membebaskan atau justru mengekang potensi siswa. Pendidikan seharusnya tidak hanya menciptakan individu yang patuh, tetapi juga mereka yang mampu berpikir mandiri dan berkontribusi secara kreatif dalam masyarakat.

Menyatukan Konfusianisme dan Pemikiran Postmodern dalam Pendidikan Indonesia

Menyatukan pemikiran Konfusianisme dan Foucault dalam pendidikan Indonesia mungkin terdengar paradoksal, tetapi justru membuka peluang besar bagi reformasi pendidikan yang lebih holistik. Konfusianisme, dengan penekanannya pada harmoni sosial dan pendidikan berbasis moralitas, tampaknya bertentangan dengan analisis Foucault yang melihat pendidikan sebagai instrumen kontrol sosial. Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, mengombinasikan kedua perspektif ini dapat menghasilkan pendekatan yang lebih fleksibel, kontekstual, dan adaptif, yang menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dengan pemikiran kritis terhadap struktur kekuasaan dalam sistem pendidikan.

Konfusianisme mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sarana pembentukan karakter yang berlandaskan kebajikan. Konsep seperti Ren (kemanusiaan), Li (kesopanan), dan Yi (keadilan) menjadi dasar dalam menciptakan individu yang berintegritas dan berkontribusi bagi masyarakat. Di sisi lain, Foucault mengingatkan bahwa sistem pendidikan seringkali terjebak dalam mekanisme kontrol yang membatasi kebebasan berpikir. Ia menyoroti bagaimana sekolah dapat menjadi alat normalisasi yang mengajarkan kepatuhan melalui sistem evaluasi, disiplin, dan hierarki yang rigid. Oleh karena itu, tantangan utama bagi pendidikan Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan pembentukan karakter dengan kebebasan intelektual agar peserta didik tidak hanya menjadi individu yang berbudi luhur tetapi juga kritis terhadap sistem yang membentuk mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun