Kurikulum Merdeka sudah mulai mengakomodasi pendidikan berbasis karakter, tetapi belum sepenuhnya membebaskan siswa dari mekanisme kontrol pendidikan yang menekan kebebasan berpikir. Sistem evaluasi masih berorientasi pada hasil akademik, sementara eksplorasi ide dan kreativitas belum sepenuhnya dihargai sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan. Untuk itu, perlu adanya pembelajaran berbasis pengalaman yang memungkinkan peserta didik mengalami langsung proses berpikir kritis dan refleksi moral dalam berbagai konteks kehidupan nyata. Pendidikan karakter seharusnya bukan hanya berupa doktrin moral yang diajarkan secara formal, tetapi lebih kepada penginternalisasian nilai-nilai yang dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, pendidikan harus menyediakan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi tanpa takut terhadap sistem yang terlalu menekan. Foucault menekankan pentingnya resistensi terhadap struktur kekuasaan yang mengekang, sementara Konfusianisme mengajarkan bahwa pembelajaran harus dilakukan dalam kerangka relasi yang harmonis. Ini berarti sekolah harus mampu menjadi ruang dialog yang sehat, di mana siswa didorong untuk bertanya, bereksperimen, dan menantang status quo tanpa kehilangan nilai-nilai etika dan kebajikan sosial. Dengan kata lain, pendidikan harus memungkinkan lahirnya individu yang berani berpikir mandiri tanpa tercerabut dari akar nilai-nilai budaya yang membentuk mereka.
Filosofi Ular Kayu dapat menjadi inspirasi dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Dalam astrologi Tionghoa, Ular Kayu melambangkan kebijaksanaan, keluwesan, dan kemampuan bertransformasi sesuai keadaan. Sistem pendidikan yang baik seharusnya mencerminkan fleksibilitas ini---tidak hanya mengikuti standar yang kaku, tetapi mampu menyesuaikan dengan dinamika sosial dan kebutuhan individu peserta didik. Pendidikan yang ideal bukanlah yang sekadar mengejar angka dan kepatuhan, tetapi yang mampu memberdayakan siswa untuk menjadi pemikir kritis sekaligus manusia yang bermoral.
Dengan menyatukan kebajikan Konfusianisme dan analisis kritis Foucault, pendidikan Indonesia dapat bergerak menuju paradigma baru yang lebih seimbang antara harmoni dan kebebasan, antara moralitas dan daya kritis, serta antara tradisi dan inovasi. Reformasi pendidikan harus diarahkan pada penciptaan sistem yang tidak hanya membentuk manusia berkarakter, tetapi juga menciptakan ruang di mana mereka bebas mengeksplorasi ide, menantang batas-batas pemikiran, dan pada akhirnya, berkontribusi bagi kemajuan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan bukan lagi sekadar alat kontrol sosial, tetapi menjadi instrumen pembebasan yang memungkinkan setiap individu tumbuh dan berkembang secara autentik.
Kesimpulan
Tahun Ular Kayu memberikan kita kesempatan untuk merefleksikan kembali sistem pendidikan. Dengan mengambil nilai-nilai Konfusianisme tentang harmoni dan moralitas serta kritik Foucault tentang kuasa dalam pendidikan, kita dapat membangun sistem yang lebih humanis, fleksibel, dan membebaskan. Pendidikan tidak boleh menjadi alat penyeragaman, melainkan harus menjadi ruang bagi setiap individu untuk tumbuh sesuai dengan potensinya.
Dalam konteks Indonesia, saat kita tengah mengembangkan kebijakan pendidikan yang lebih adaptif seperti Merdeka Belajar, pemikiran ini menjadi semakin relevan. Mungkin, inilah saatnya bagi kita untuk melihat pendidikan bukan hanya sebagai transfer ilmu, tetapi juga sebagai jalan menuju kebijaksanaan yang sesungguhnya---sebuah konsep yang telah diajarkan oleh filsafat Cina selama ribuan tahun. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI