Temenggung adalah gelar pemimpin tertinggi (kepala adat besar) di komunitas Orang Rimba. Dahulu, hanya ada satu temenggung, paling banyak dua, untuk mengepalai kelompok-kelompok kecil yang berada di sebuah sungai, dari hulu ke hilir, populasi sekitar 500-600 orang.Â
Sekarang, jumlah temenggung cukup banyak dengan populasi yang relatif sama. Bukan empat atau lima. Di Sungai Kejasung saja ada tujuh temenggung.
Tidak ada gaji seorang temenggung, apalagi anggaran yang dapat digunakan seperti halnya pemimpin sebuah desa. Upahnya penghulu---begitu mereka menyebutnya, adalah bagian dari hewan buruan yang tidak dapat dipastikan akan selalu ada tiap hari, minggu, atau setiap bulannya.
Hewan buruan yang wajib diberikan kepada penghulu pun jenisnya tertentu saja, yakni hewan yang bermakna dalam adat, seperti; rusa, kijang, dan tapir.
Babi jantan berukuran besar, kepalanya bisa diberikan kepada penghulu. Tetapi, babi yang ukuran kecil atau sedang boleh dibagi di kalangan orang yang ikut berburu saja.
Demikian halnya jika hewan buruan itu berupa; kancil, landak, biawak, napu, musang, cinciher, jenis jenis burung dan ikan. Lazimnya untuk lauk pauk rumah tangga atau keluarga si pemburu saja, tidak harus dibagikan.
Terang bahwa tidak ada privilege (hak istimewa) seorang penghulu baik yang tertinggi hingga terbawah yakni; temenggung, wakil temenggung, depati, mangku, debalang batin, menti, anak dalam, serta tengganai dalam kedudukan mereka sebagai pemimpin sebuah kelompok atau beberapa kelompok.
Sedikit tambahan tentang tengganai. Tengganai tidak persis dapat diletakkan dalam urutan gelar atau pangkat-pangkat pemimpin adat di atas. Seorang tengganai pada dasarnya adalah "tua kampung' yang memberi tunjuk-ajar (penerang) kepada anggota kelompok agar tidak sampai salah melangkah, salah berperilaku dalam koridor hukum adat, terutama untuk kaum muda.
Namun, seorang tengganai bisa juga mantan temenggung. Ia jadi tengganai karena sudah sepuh dan kondisi fisiknya sudah berkurang yang membatasinya untuk menjalankan tugas-tugas sebagai seorang temenggung. Misalnya, pendengarannya sudah berkurang, matanya sudah mulai rabun, pergerakannya sudah terbatas karena menderita penyakit rematik (entak tulang)--hal-hal semacam itu.
Seseorang yang demikian, jika ikut dalam memutus suatu perkara, cukup disegani. Wibawanya bisa lebih tinggi dari temenggung. Biar "cuma" pangkat tengganai namun karena mantan temenggung, Ia bisa mengalahkan seorang temenggung dalam hal perkara adat; mengkaji hukumnya dalam serta lengkap. Jika menimbang suatu perkara bijaksana, sehingga dapat diterima semua orang.
Bagian yang tidak terpisahkan dari ini adalah kemampuan retorikanya, satu dari beberapa jenis kualitas yang diperlukan oleh seorang pemimpin di kalangan Orang Rimba.
Retorika penting dalam suatu perkara adat karena landasan utama pembuktian hukum adat bukanlah barang buktinya, melainkan nalarnya. Bahkan dalam sistem peradilan moderen hal subyektif semacam itu sesungguhnya masih dipakai juga yakni, "keyakinan hakim" dalam memutus suatu perkara di pengadilan.
Guna menambah pengertian tentang apa yang saya sebut nalar hukum, saya akan berikan satu contoh berikut ini.
Seorang pria yang baru saja menikah segera setelah kematian istrinya telah dituntut oleh pihak waris perempuan. Pria itu dihadapkan ke sidang adat dengan tuduhan membunuh istri pertamanya dengan adum agar bisa kawin dengan orang lain.Â
Bukti bahwa dialah yang membunuh istrinya dengan adum tidak ada.Â
Adum adalah semacam guna-guna yang bisa berupa jarum, rambut, dan benda-benda lain yang dipercaya dapat mencelakakan orang lain sebagai akibat perbuatan sihir.
Nalar hukumnya adalah "oh pantasan, sebab kamu sudah berencana menikahi perempuan lain makanya istrimu meninggal".Â
Wujud adum yang disebut sebagai penyebab kematian itu berupa bekas atau sisanya tidak ada. Autopsi jenazah pasti tidak berlaku di kalangan msyrakat pemburu peramu.Â
Kapan adum itu diberikan, siapa yang melihatnya? Hal-hal yang demikin tidak begitu penting lagi karena nalarnya sudah dapat.Â
Pria itu divonis bersalah. Mustinya dia masih berduka, jika benar-benar ia mencintai istrinya. Hukum dilabuhkan denda adat pun dibayar.
Kembali ke soal privilege (hak istimewa) dari kedudukan seorang pemimpin adat. Hak istimewa seorang pemimpin adat barangkali hanyalah apa yang disebut gerbu.
Gerbu adalah bantuan tenaga yang diberikan anggota kelompok secara cuma-cuma untuk membantu penyelesaian ladang milik pemimpin kelompok di musim behuma. Jika anggota kelompok tidak ada yang membantu, sanksinya pun tidak ada.Â
Hanya saja, jika kelak ada dari anggota kelompok yang enggan melakukan kerja gerbu tersangkut pada suatu perkara adat, pemimpin kelompok akan malas mengurusnya.Â
Sebaliknya, anggota kelompok yang mau melakukan gerbu karena ingat jikalau suatu saat dia tersangkut perkara adat, baik di kelompoknya terutama dengan kelompok berbeda, Ia membutuhkan jasa pemimpin untuk menyelesaian perkara yang menimpanya.
Jasa seorang pemimpin yang dapat dihitung adalah kain yang diberikan oleh pihak yang dibelanya jika memenangkan suatu perkara adat.Â
Lazimnya denda hukum adat diwujudkan dalam bentuk kain panjang--kain panjang adalah harta utama Orang Rimba.Â
Jumlah kain panjang yang diberikan kepada seorang penghulu, baik temenggung atau depati dan seterusnya, tidak ada rumusannya. Bukan seperti advokat hukum atau pengacara yang memasang tarif untuk kliennya.
Jika kepala desa ada gaji dan tunjangannya, camat ada gaji dan tunjangannya, bupati ada gaji dan tunjungannya, dan seterusnya. Lalu apa motif makin banyak jumlah temenggung di kalangan Orang Rimba dalam rasio jumlah penduduk serta persebaran kelompok yang tampak tidak proporsional atau terlalu banyak?Â
Kompetisi ini hanya terjadi di atas (temenggung), tidak terjadi pada kedudukan pemimpin adat bergelar depati, mangku, dan seterusnya.
Motif banyaknya temenggung
Hal ini berkaitan dengan motif ekonomi dalam hubungan dengan pihak luar.Â
Pada era 70-an, sebelum beragam invetasi (industri kayu, perkebunan, hutan tanaman industri, proyek transmigrasi, dan sebagainya) yang secara langsung mempengaruhi hutan yang menjadi habitat Orang Rimba, kelebihan jumlah temenggung belum terjadi.Â
Satu sungai besar hanya satu temengung, tujuh sungai besar hanya 7 temenggung. Satu temenggung di Sungai Bernai, satu di Sungai Seranten, satu di Sungai Makekal, satu di Sungai Air Hitam, satu di Sungai Kejasung, dan satu di Sungai Terab -semua wilayah sungai yang disebutkan adalah anak Sungi Batanghari, Jambi.
Sekarang, dengan perubahan habitat hidup Orang Rimba, susunannya sudah berubah menjadi menjadi desa-desa baru. Hutan tersisa dijadikan Taman Nasional Bukit Dua Belas--di mana sebagian Orang Rimba "tertampung".
Masuknya perusahaan HPH (hak penguasaan hutan) telah memunculkan istilah ganti rugi. Ganti rugi dimaksud adalah kompensai dari perusahaan untuk sumberdaya hutan yang berguna dalam penghidupan Orang Rimba. Seperti, padang rotan, pohon buah-buahan, sialang (tempat madu hutan) yang rusak atau ditebang secara sengaja maupun tidak sengaja oleh pihak perusahaan saat membuka jalan dan melakukan pengambilan kayu.
Guna mencegah keonaran-keonaran yang ditimbulkan anggota kelompok Orang Rimba dan pemimpinnya, perusahaan juga memberikan gaji kepada para pemimpin itu sesuai dengan tingkatannya.Â
Dari sinilah muasal istilah "gaji buta" di kalangan Orang Rimba. Tentu, gaji temenggung lebih tinggi dari gelar pemimpin adat di bawahnya.
Selain memunculnya "gaji buta", muncul pula istilah "persen survey kayu".Â
Persen survei kayu adalah uang yang diterima seseorang atas jasanya melakukan survey terhadap pohon-pohon yang bernilai ekonomi tinggi yang dibutuhkan perusahaan.
Paham seluk beluk hutan serta isinya, Orang Rimba mengkapitalisasi pengetahuan itu.
Selanjutnya, hal ini melahirkan ambivalensi sikap terhadap hutan. Di satu sisi, Orang Rimba tidak senang habitat mereka rusak. Namun, mengusir perusahaan mereka tidak mampu. Oleh sebab itu, mereka memilih ikut ambil bagian dari keadaan yang berubah dengan mengambil keuntungan dengan cara-cara yang disebut di atas.Â
Sejak itu, banyak orang yang ingin jadi temenggung karena temenggung akan mendapatkan gaji, hadiah, acapkali dibawa jalan-jalan oleh pihak perusahan untuk menyengkan hatinya.Â
Habis HPH, datang perkebunan, hutan tanaman industri, dan lain-lain.Â
Hingga sekarang, pemimpin Orang Rimba masih menerima gaji dari perusahaan-perusahaan yang masih eksis beroperasi di sekitar wilayah penghidupan mereka, baik perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun perusahaan hutan tanaman industri. Termasuk kesempatan yang datang silih berganti yang memanfaatkan kedudukan temenggung. Tepatnya dapat kita disebut, hubungan manfaat-memanfaatkan.
Bertambahnya jumlah temenggung ini dalam hubungan mereka ke luar tidak begitu bermasalah. Namun, menjadi bermasalah di internal mereka sendiri utamanya soal legitimasi seorang temenggung.Â
Dahulu, pra kemerdekaan, seorang temenggung dipilih secara musyawarah mufakat di antara mereka dengan ketentuan anak jantan turun jantan (gelar temenggung dari bapak turun ke anak) lalu mendapat legitimasi dari wakil sultan Jambi yang disebut jenang.Â
Sekarang, seorang dapat menjadi temenggung dengan cara diangkat oleh dua atau tiga kelompok yang masih berkerabat kemudian mencari legitimasi dari camat atau kepala desa setempat.
Hal ini membawa wibawa seorang temenggung menjadi merosot. Satu temenggung cukup, 7 temenggung di "sebatang" sungai, alangkah banyaknya***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H