Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dayak Punan, Catatan Perjalanan dari Interior Borneo

24 September 2020   21:58 Diperbarui: 25 September 2020   19:26 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika aku membaca novel Desersi sebelum perjalanan ini, akan ciut nyaliku.

Pra persepsi akan sangat mempengaruhi bagaimana kita bersikap terhadap suku bangsa lain yang baru kita kenal.

Ranau, 20 November 2005

Setelah habis digasak pacet, akhirnya kami sampai di Mirau. Lelah setelah berjalan mulai dari jam 8 pagi dan tiba jam 2 siang.

Pertama kami disambut di rumah penduduk yang sangat kotor namun sangat ramah. Setelah perkenalan dan cakap basa-basi, kami mulai dimintai kopi dan gula.

Lalu, seorang ibu tua dengan suara keras meminta obat paramex susul menyusul dengan orang lainnya, hingga malam tiba.

Orang yang dapat pertama mungkin telah memberitahu lainnya bahwa kami membawa stok obat paramex yang banyak.

Mengapa obat paramex sangat digemari di sini dan mereka memakannya layaknya menelan gula-gula. Pertanyaan itu tidak pernah bisa aku jawab.

Habis paramex, beberapa penduduk terutama orang tua meminta celana, baju, senter, dan lain-lain. Kalau dikabulkan semua, aku bisa pulang telanjang.

Tetapi, mereka tidak hanya meminta. Mereka juga memberi banyak. Penduduk silih berganti memberikan kami makanan dengan berbagai variasi.

Menurut penduduk, mereka sedang dalam masa paceklik. Hal ini bisa saja betul karena makanan yang mereka sajikan nyatanya hampir mengunakan bahan yang sama. Namun, diolah dengan cara berbeda-beda sehingga menciptakan variasi rasa.

Dari Mirau, kami akan melanjutkan perjalanan ke Avang melewati tiga gunung yakni; Angan, Kabong, dan Telou. Jika Gunung Angan tinggi, Gunung Kabong lebih tinggi, serta Gunung Telau sangat tinggi.

Berapa persisnya perbedaan tinggi antar gunung itu saya tidak tahu. Sistem navigasiku tidak pakai GPS (global positioning system).

Aku membawa seorang anak muda lulusan SMA yang sedang mengganggur dari Kota Malinau. Ia anak kepala adat Punan yang bisa membantu saya menyelesaikan rintangan yang muncul selama kerja lapangan ini.

Lemuncung, 21 November 2005

Kami dilepas oleh penduduk Mirau seperti memberangkatkan anak mereka sendiri. Haru rasanya. Aku merasa berhutang budi kepada mereka karena menerima banyak kebaikan. Bukan karena kami menunjukkan surat pengantar dari Lembaga Adat Punan dari kabupaten.

Kami juga diantar oleh seorang guide yang merangkap porter. Porter terbaik dari kampung itu.  Ia memiliki reputasi berjalan jauh yang bahkan dikagumi oleh penduduk Mirau.

Dari Mirau ke Ranau misalnya, dia hanya perlu waktu satu hari perjalanan. Jika Ia bisa satu hari, kami berpikir pasti bis mencapainya dalam tempo dua hari. 

Kami mencoba menempuhnya dalam dua hari dengan cara berjalan "berdarah-darah". Mengaso sebentar, jalan. Mengaso sebentar jalan. Waktu mengaso tidak cukup sebatang rokok.

Hal itu membuat tulang-tulangku seolah bingkas dari dudukannya. Punggung terasa ngilu karena dibandoli tas carrier ukuran besar berisi logistik perjalanan. Keringat bercucuran, tubuh membakar banyak kalori. Nyatanya, kami hanya sampai di Long Avang- pemukiman Punan sebelum Ranau.

Long Penai, 24 November 2005

Dua hari dalam perjalanan yang melelahkan dari Long Tami dengan rombongan mufut. Kami berjalan beriringan bersama keluarga Awang Ipu, keponankannya serta seorang perempuan Punan yang putih juga cantik. Gadis ini, selalu setia menyediakan makanan di dapur untuk rombongan selama perjalanan.

Tiba dipuncak bukit, kami menginap di jalan. Kami berbagi tugas untuk menyiapkan tempat bermalam dan makanan.

Waktu semua pekerjaan telah usai, kami duduk menikmati hidangan kopi manis. Tiba-tiba gelagar shelter kami ambruk. Kayu-kayu penyangga sebesar betis orang dewasa itu tiba-tiba patah. Gubrakkk...burung yang sedang bertengger di pepohonan, kaget lalu terbang terbirit-birit.

Kami diam di tempat masing-masing. Saling tatap. Lalu tertawa terbahak-bahak. Pantat kami sudah melorot ke tanah. Tiba-tiba kami ingat seorang ibu dengan bayi 4 bulan yang berada di ujung lantai shelter.

Syukur, ibu dan bayinya itu tidak mengalami apa-apa. Kami kembali memberesi tempat bermalam itu, menurunkan tali pengikat tenda lebih ke bawah lagi agar angin yang bertiup kencang tidak menyapunya di malam hari.

Dini hari, hujan turun. Kami agak lama menyadari bahwa air masuk ke dalam shelter. Saya telah dibuatkan tempat tidur dengan bahan karung plastik yang masing-masing ujungnya diberi dua buah kayu penyangga.

Sangat sempit namun cukup lumayan untuk kualitas tidur di hutan---namun kami semua tidur dengan tenda yang sama seperti ikan rebus yang disusun.

Kaki dan kepalaku basah karena hujan yang turun dini hari itu. Tubuh terasa sangat dingin karena berada di atas gunung yang dikurung rimbun rimba raya dengan lembah-lembah yang curam.

Ku lawan dingin itu dengan cara mengecilkan tubuhku, melipat kaki memeluknya dengan tangan. Walau kakiku tidak nyaman dengan kayu penyangga di satu sisinya, aku berusaha menerima ketidaknyamanan itu. Besok pagi psti semua akan berubah.

Bangun jam 7 pagi. Hujan masih turun. Karenanya, kami baru bisa melanjutkan perjalanan setelah jam 11 siang dan tiba di Long Penai pada jam 4 sore.

Long Penai, 27 November 2005

Kemarin sore, Avang Ipu dan Pak Pilung berburu babi dengan membawa beberapa anjing. Babi putih besar beratnya kira-kira 60 Kg dibagi tiga; untuk tuan rumah separoh, untuk Avang separoh dan paha sebelah untuk dibawa Adi porter saya ke Respen. Pesta makan babi pun berlangsung.

Kepala babi dipanggang di luar rumah dengan api sedang. Saat malam tiba kami menyayatnya sedikit-demi sedikit secara perlahan-lahan, menyuapkan ke mulut, terasa nikmat, enaknya terasa sampai ke ubun-ubun.

Saya menikmati separoh teliga kirinya dan makan dengan sop iga yang lezat. Makanan malam di hutan dengan inau (sagu) yang lembut ditelan serta bersahabat dengan gigiku yang sedang sakit.

JIka babi seberat 60 Kg didapat oleh dua keluarga, paling yang bisa dimakan sebanyak 3-4 Kg dalam sehari. Dengan demikian perlu sepekan untuk menghabiskan 1 babi berukuran 60 kg.

Lemaknya diambil untuk minyak sayur yang disebut lanyih. Biasa juga dimakan dengan campuran daun ubi. Jika babi tidak sedang ada, dalam dua sampai tiga hari, ada stok yang bisa dimakan dari sekitar ladang yakni sagu atau ubi dicampur dengan minyak babi.

Surplus makanan, bermanfaat juga untuk anjing yang dipelihara cukup banyak orang Punan. Kadang-kadang anjing itu dipelihara lebih dari dua ekor dalam satu rumah tangga. Dan anjing tidak diberi makan secara khusus, sehingga menggangu waktu makan keluarga dan membuat kompetisi diantara para anjing yang kadang menimbulkan kekacauan pada saat makan bersama.

Ke Pulau Sapi, 27 November 2005

Pulang dari Long Penai dengan Longboat 40 PK dengan operator bernama Henry dan dibantu adiknya, saya bayar Rp. 100.000 untuk dua orang penumpang ditambah persekot Rp. 100.000,- untuk akomodasi dan jasa guide kepada Awang Ipu asal Long Penai dengan kedok "uang Natal buat anaknya". 

Saya terbantu dengan adanya beliau yang mengusahakan perahu dan tempat menginap dirumahnya selama dua hari dan jasa baik karena bisa menumpang di rumah Pak Bilung yang beristrikan orang Cina.

Orang Cina? Bagaimana orang Cina ada di pedalaman Kalimantan? Pertanyaan itu langsung datang spontan. Maklum peneliti.

Ternyata ini bukan hal yang ganjil. Orang Cina sangat biasa berinteraksi dengan orang Dayak di pedalaman, terutama pada saat pasar belum terbentuk dan ekonomi barter masih dipraktekkan di masa lalu.

Orang Cina membawa keramik guci aneka macam bentuk, motif dan ukurannya sebagai barang untuk dibarter dengan hasil hutan dari interior Kalimantan di pasar. 

Tempayan, begitu sebutan umumnya, adalah barang berharga bagi orang Dayak Punan. Tempayan bisa dipakai untuk mahar perkawinan, membayar denda adat, dan karena jumlahnya semakin terbatas, nilainya pun semakin tinggi.

Tempayan masuk ke pedalaman Kalimantan hasil dari interaksi mereka dengan pedangan Cina di masa lalu. Jika ada seorang Cina yang "terjebak" di antara orang Dayak Punan seperti istri Pak Bilung, mustinya saya tidak perlu mangap. ***)

*) Apa Mufut? Baca artikel saya disini: https://www.kompasiana.com/marahalimsiagian/5e0b6e1c097f361c67445132/mufut-piknik-ala-dayak-punan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun