Berapa persisnya perbedaan tinggi antar gunung itu saya tidak tahu. Sistem navigasiku tidak pakai GPS (global positioning system).
Aku membawa seorang anak muda lulusan SMA yang sedang mengganggur dari Kota Malinau. Ia anak kepala adat Punan yang bisa membantu saya menyelesaikan rintangan yang muncul selama kerja lapangan ini.
Lemuncung, 21 November 2005
Kami dilepas oleh penduduk Mirau seperti memberangkatkan anak mereka sendiri. Haru rasanya. Aku merasa berhutang budi kepada mereka karena menerima banyak kebaikan. Bukan karena kami menunjukkan surat pengantar dari Lembaga Adat Punan dari kabupaten.
Kami juga diantar oleh seorang guide yang merangkap porter. Porter terbaik dari kampung itu. Â Ia memiliki reputasi berjalan jauh yang bahkan dikagumi oleh penduduk Mirau.
Dari Mirau ke Ranau misalnya, dia hanya perlu waktu satu hari perjalanan. Jika Ia bisa satu hari, kami berpikir pasti bis mencapainya dalam tempo dua hari.Â
Kami mencoba menempuhnya dalam dua hari dengan cara berjalan "berdarah-darah". Mengaso sebentar, jalan. Mengaso sebentar jalan. Waktu mengaso tidak cukup sebatang rokok.
Hal itu membuat tulang-tulangku seolah bingkas dari dudukannya. Punggung terasa ngilu karena dibandoli tas carrier ukuran besar berisi logistik perjalanan. Keringat bercucuran, tubuh membakar banyak kalori. Nyatanya, kami hanya sampai di Long Avang- pemukiman Punan sebelum Ranau.
Long Penai, 24 November 2005
Dua hari dalam perjalanan yang melelahkan dari Long Tami dengan rombongan mufut. Kami berjalan beriringan bersama keluarga Awang Ipu, keponankannya serta seorang perempuan Punan yang putih juga cantik. Gadis ini, selalu setia menyediakan makanan di dapur untuk rombongan selama perjalanan.
Tiba dipuncak bukit, kami menginap di jalan. Kami berbagi tugas untuk menyiapkan tempat bermalam dan makanan.