Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lihat Buah di Hutan Jangan Main Embat Aja, Awas Kena Denda!

20 Agustus 2020   00:23 Diperbarui: 20 Agustus 2020   05:20 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi (Dokpri)

Buah adalah salah satu sumber makanan penting bagi Orang Rimba dan sumber uang tunai jika mereka menjualnya ke pasar, sehingga dibuat pengaturan yang memiliki sanksi bila terjadi "pencurian" terhadap pohon buah yang ditandai tadi. Uniknya beberapa tanda-tanda ini dikaitkan dengan seksualitas.

Ada anggapan bahwa buah-buahan yang tumbuh liar di hutan itu Tuhan yang tanam. Maksudnya, kurang lebih, siapa saja boleh mengambilnya untuk dimakan.

Hal itu tidak salah, tetapi sesungguhnya hutan itu tidak benar-benar "kosong".

Banyak sukubangsa di Indonesia dan dunia yang berkembang dari awalnya hidup berburu dan meramu sebelum menjadi petani menetap dan intensif dimana sebagian besar dulunya tinggal di hutan.

Di Sumatera bagian tengah, tepatnya Jambi, sampai tahun 80an, masih lebih banyak Orang Rimba (sinonim: Suku Anak Dalam, Orang Rimbo, Sanak, dan sebutan yang lebih purba disebut Suku Kubu) yang hidup di hutan daripada di luar hutan. 

Sekarang, populasi Orang Rimba yang hidup dalam hutan memang sudah lebih sedikit dibandingkan dengan Orang Rimba yang tinggal di luar hutan.

Hal itu terjadi sebagai dampak industri kehutanan yang berciri ekstraktif di masa lalu, pembukaan hutan untuk penempatan transmigrasi, pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit (Pola Inti Rakyat Transmigrasi-PIR-Trans), pembukaan cabangan-cabang jalan baru ke kawasan hutan yang mengimplikasikan terbukanya lebih banyak hutan, serta konversi hutan oleh penduduk lokal serta Orang Rimba sendiri yang saat ini semakin berciri pertanian menetap dengan komoditi utama karet alam---wanatani berbasis karet.

Orang Rimba yang masih hidup di hutan saat ini, antara lain, di kantong-kantong hutan tersisa seperti Taman Nasional Bukit Duabelas, luasnya 65.000 hektar saat ditetapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2000 yang silam.

Di hutan Bukit Duabelas---statusnya taman nasional, terdapat 1.300-1.500 jiwa Orang Rimba serta sekitar 300-an jiwa berada di kantong hutan pada perbatasan antara Jambi (Kabupaten Tebo)  dengan Provinsi Riau.  

Sukubangsa yang berdekatan yang juga masih hidup di hutan dan sekitar hutan adalah Talang Mamak di  Indragiri Hulu Riau; Batin Sembilan di Jambi-Sumatera Selatan; Mentawai di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan masih ada beberapa sukubangsa lain.

Hutan seperti kita tahu memiliki sumberdaya yang beragam dan secara umum masih bersifat akses terbuka (open access). Selain tegakan pohon dengan berbagai jenisnya, rotan dengan berbagai jenisnya. 

Ada buah-buahan yang tumbuh alami yang jumlahnya tidak kurang dari 30 jenis, menyebut diantaranya: tampui, benton, kuduk kuya, jitan, remanai, durion daun, durion marok, dekat, rombut'on, pederoh, ridon, pletok, siu, harang paro, tayoi, nadai, lensum, kotompon, potoy dan joring. Sebagian besar dari daftar nama buah yang disebut tumbuh alami di hutan dan belum dibudidayakan.

Perhatikan penandanya

Setiap sukubangsa memiliki aturan pemanfaatan sumberdaya milik bersama. Pada Orang Rimba dikenal aturan pemanfaatan buah-buahan dengan sistem penanda.

Guna membedakan buah-buahan yang ditaman dengan buah-buahan yang bukan ditanam atau tumbuh alami dikenal istilah buah cucuk tanom dan buah laloton.

Buah cucuk tanom adalah buah-buahan yang sengaja ditanam serta dipelihara oleh empunya ladang. 

Buah yang ditanam ini bukan hanya sebagai sumber makanan tetapi jenis harta yang diwariskan yang secara adat jatuh ke pihak perempuan.

Sedangkan buah laloton adalah buah yang tumbuh alami atau kita sebut saja buah liar yang sesungguhnya bisa dimanfaatkan semua orang (Orang Rimba dan bukan Orang Rimba) kecuali ditemukan penanda-penanda berikut.

Seleligi 

Pohon buah liar yang ditandai dengn ranting kayu yang ujungnya diruncingkan diarahkan ke batang buah dengan posisi kira-kira 45 derajat.

Gegelagon 

Pohon buah liar yang ditandai dengan cara melilit pohon buah tersebut dengan akar-akaran atau batang pohon buah itu digelangi.

Tukak tangga

Pohon buah liar yang ditandai dengan cara melukai batang buah dengan parang secara bertingkat.

Membersihkan semak yang berada di sekeliling pohon buah

Membersihkan sekeliling batang pohon buah ada penanda yang cukup umum dan sistem kode ini juga berlaku pada Melayu, tetangga terdekat mereka.

**

Buah adalah salah satu sumber makanan penting bagi Orang Rimba dan sumber uang tunai jika mereka menjualnya ke pasar, sehingga dibuat pengaturan yang memiliki sanksi bila terjadi "pencurian" terhadap pohon buah yang ditandai tadi. Uniknya beberapa tanda-tanda ini dikaitkan dengan seksualitas.

Seleligi adalah simbol tombak si empunya pemilik tanda dan jika buah yang ditandai itu diambil orang lain dapat dikerjar oleh hukum adat sebagai tindakan pencurian. Dendanya bisa 2 lembar helai kain panjang atau setara Rp 150.000 untuk setiap batangnya.

Gegelangon, diambil dari analogi gelang gadis. Jika  buah yang diberi penanda akar-akaran yang dililtkan pada batang buah diambil orang lain dianggap sama saja mengambil gelang gadisnya si pemilik tanda. Hal ini menjadi pelanggangaran terhadap norma kesusilaan yang bisa dihukum secara sah. 

Besar kecilnya hukuman di tentukan oleh seberapa bernilai batang buah tersebut sebagai sumber makanan. Penanda gegelangon biasanya dibuat pada petai atau jengkol.

Petai dan jengkol karena makanan kesukaan Orang Rimba dan Melayu dapat menjadi sumber uang tunai bagi mereka. Besar dendanya sekitar 60 lembar kain. 

Namun biasanya ada kebijakan "kupang" atau menggunting hukuman/mengurangi nilai denda, sehingga hanya menjadi 6 lembar kain panjang. Nilainya, menurut ukuran sekarang setara Rp 450.000,- setiap batangnya.

Tukak tangga, tanda ini beranalogi pada rumah tangga pemilik tanda pada buah liar tadi.

Jika seseorang memanen buah yang diberi penanda luka bertingkat pada batang pohon tersebut pelakunya dapat dikerjar oleh hukum adat mereka sebagai pelanggaran terhadap "merebut" rumah tangga si pemilik tanda. Dendanya besar. 

Orang biasa memakai penanda ini pada buah yang hasilnya banyak dan berharga jika dijual seperti durian (ada beberapa jenis antara lain durian doun dan durian marok) serta beberapa jenis buah lainnya.

Dendanya 80 lembar kain namun biasanya ada kebijakan-mengurangi dari penghulu adat sehingga nilai denda hanya menjadi 8 lembar kain panjang. Nilainya, menurut ukuran sekarang setara Rp 600.000,- setiap batangnya.

Apakah aturan ini hanya berlaku dikalangan Orang Rimba? Tidak. Aturan ini berlaku untuk Orang Melalu tetangga terdekat serta orang luar yang mereka sebut urang meru atau orang terang. *)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun