Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Torsiaje dan Orang Bajo Dipelukan Teluk Tomini

16 Agustus 2020   10:33 Diperbarui: 17 Agustus 2020   14:41 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Umar Pasandre sedang membagikan polibag untuk kelompok perempuan yang terlibat dalam penyediaan bibit mangrove untuk kebutuhan rehabilitasi (Gambar: Marahalim Siagian)

Teluk Tomini merupakan teluk terbesar di Indonesia yang berada di kepala Pulau Sulawesi yang  berbentuk huruf K itu. Berpangkal dari Sulawesi Tengah dan berujung di Sulawesi Utara, ditengahnya adalah Gorontalo.  Panjang garis pantainya kurang lebih 1.350 kilo meter dengan luas perairan laut sekitar  137.700 kilo meter persegi.

Teluk Tomini adalah perairan semi tertutup yang di dalamnya terdapat 90 pulau dan rangkaian pulau-pulau, bagian dari yang disebut ekosistem Wallacea, landscape keragaman hayatinya luar biasa kaya sekaligus terancam.

Guna memberikan perlindungan yang lebih kuat pada keragaman hayati laut di Teluk Tomini, di bagian utara seluas 890 km persegi (89.000 ha) telah dikelola dalam rejim pengelolaan Taman Nasional Laut-Bunaken dan Taman Nasional Kepulauan Togean di Sulawesi Tengah seluas 3.626 km persegi.  Seluas 292.000 hektar diantaranya adalah ekosistem laut sisanya ekosistem darat seluas 70.000 hektar.

Dipelukan Teluk Tomini, terdapat komunitas Orang Bajo mulai dari Kepulauan Togean di Sulawesi Tengah hingga Kepulauan Bunaken di Sulawesi Utara. Gorontalo yang berada diantara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, terdapat dua komunitas Orang Bajo yakni; Bajo di pesisir Tilamuta Kabupaten Boalemo dan Bajo di Torsiaje Kabupaten Pohuwato---Provinsi Gorontalo.  

Orang Bajo umumnya membentuk pemukiman di pesisir pantai dengan mata pencaharian yang berorientasi ke laut. Sumber daya terpenting yang menyokong penghidupan mereka adalah ikan  dan biota laut  yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, padang lamun,  dan terumbu karang.

Duduk disore hari sambil menyantap mie rebus lalu menyeruput kopi hitam yang panas dengan suguhan pemandangan yang indah di sekeliling kita (Gambar: Marahalim Siagian)
Duduk disore hari sambil menyantap mie rebus lalu menyeruput kopi hitam yang panas dengan suguhan pemandangan yang indah di sekeliling kita (Gambar: Marahalim Siagian)

Orang Bajo di Torsiaje

Di atas padang lamun yakni perairan dangkal yang airnya hangat dengan dasar laut yang berpasir, ditumbuhi rumput dan jenis tumbuhan dari bangsa Alismatales, berdiri rumah-rumah panggung, aneka ragam warnanya, ratusan jumlahnya. 

Berderet dan berbanjar, satu dengan lainnya saling terhubung,  kompak dalam satu hamparan, dihuni oleh sekitar 1.000 jiwa atau 400an rumah tangga, mayoritas penghuninya adalah orang Bajo. Kampung ini bernama Torsiaje.

Anak-anak Bajo yang sehat, riang serta ramah pada pengunjung (Gambar: Marahalim Siagian)
Anak-anak Bajo yang sehat, riang serta ramah pada pengunjung (Gambar: Marahalim Siagian)
Pemukim Bajo di Torsiaje diperkirakan sudah ada sejak tahun 1901. Sekarang, penduduknya mekar,  sudah terbentuk dua desa lagi sehingga terdapat tiga desa berpenduduk Bajo. 

Berada dalam tiga desa berbeda, orang Bajo membingkai tiga desa itu dengan menyebut tiga rumpun Bajo. Tiga rumpun Bajo yang dimaksud : Desa Tossiaje Laut, Desa Bumi Bahari, dan Desa Torsiaje Jaya bagian dari Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Propinsi Gorontalo.

Dua desa yang disebut terakhir adalah warga Bajo keturunan dari pemukim awal yang berasal dari Torsiaje laut. 

Jika rumah-rumah yang berada di Desa Torsiaje laut seperti terapung, rumah-rumah orang Bajo di dua desa yang disebut terakhir tidak berpanggung, pondasinya berada di tanah kering atau bagian dari daratan yang dihuni populasi penduduk yang lebih besar.

Orang Bajo di Desa Bumi Bahari dan Desa Torsiaje Jaya, kendati raga, rumah, serta memiliki harta berupa tanah, satu atau beberapa bidang di darat, mereka kurang termotivasi menjadi petani. Orientasi mata pencaharian mereka tetap mengarah ke laut. Laut dan Orang Bajo seperti dua unsur yang (selalu) bersenyawa.

Rumah panggung di atas padang lamun pemukiman Bajo di Torsiaje seperti rumah yang terapung (Gambar Marahalim Siagian)
Rumah panggung di atas padang lamun pemukiman Bajo di Torsiaje seperti rumah yang terapung (Gambar Marahalim Siagian)
Saat field work ini dilakukan, sedang berlangsung acara lamaran (pra nikah) diantara mereka. Saya menyaksikan bahwa pemuka adat dan tetua kampung dari  desa yang berada di daratan--berpakaian adat turut dalam  acara lamaran itu yang berlangsung di Torsiaje laut.

Selain aspek budaya dan latar belalakang leluhur yang sama,  relasi orang Bajo yang berada di laut dengan orang Bajo yang bermukim di darat seolah tak terpisahkan. 

Hal itu karena mereka hidup dari landasan budaya yang sama, sumber daya penghidupan yang sama, serta menggunakan bahasa sendiri. Orang Bajo seperti sub-kultur dari budaya mainstream populasi penduduk yang lebih besar yang mengidentifikasi diri hulondhalo (Orang Gorontalo).  

Acara adat dalam acara melamar (pra nikah) di kalagan orang Bajo (Gambar: Marahalim Siagian)
Acara adat dalam acara melamar (pra nikah) di kalagan orang Bajo (Gambar: Marahalim Siagian)
Orang Bajo di Torsiaje adalah pemeluk Islam dan mereka memelihara kebersihan. Cara mereka berpakaian serta norma konsumsi mereka tidak begitu berbeda dengan penduduk Gorontalo umumnya. Mereka ramah, orang dewasa maupun anak-anak. Tidak kikuk jika bertemu orang asing. Turis lokal maupun mancanegara memang semakin banyak yang datang ke Torsiaje, Pemda Pohuwato dan Pemda Provinsi Gorontalo telah mendorong Torsiaje sebagai salah satu destinasi wisata andalan.

Torsiaje sebagai destinasi wisata, hemat saya, turis lokal atau manca negara akan mendapat tiga paket sekaligus; (1). panorama yang instagramable, (2).  Orang  Bajo dengan budaya baharinya yang unik,  serta (3). Ekosistem mangrove-padang lamun-terumbu karang yang masih bagus.

Perairan laut yang dangkal itu memiliki air yang jernih. Dari atas perahu yang membawa kita dari dermaga ke pemukiman Bajo di Torsiaje laut, hutan mangrove berada di kiri dan kanan dengan akar berbentuk serabut yang menancap kokoh ke tanah.

Perairannya masih bersih seperti aquarium raksasa. Ikan-ikan sepanjang sendok garpu berenang berkerumun, membentuk macam-macam formasi, lalu tiba-tiba bubar seperti ikan yang bermain petak umpet. Ikan-ikan itu bersembunyi di ketiak rumput laut yang ujungnya melambai-lambai oleh riak air yang ditimbulkan oleh perahu bermesin yang melintas.

Di atas perahu pada kawasan mangrove orang Bajo sedang menyiapkan peralatannya (Gambar Marahalim Siagian)
Di atas perahu pada kawasan mangrove orang Bajo sedang menyiapkan peralatannya (Gambar Marahalim Siagian)
Kegiatan ringan yang bisa kita lakukan jika berwisata ke Torsiaje adalah memancing, tour keliling mangrove, lalu di sore hari naik ke pemukiman orang Bajo yang seolah terapung itu untuk menikmati sunset serta kuliner olahan hasil laut racikan bumbu ala Orang Bajo.

Jika kita ingin mengenal jenis-jenis mangrove dan ekosistemnya, Orang Bajo adalah guru terbaik. Sepanjang daur hidupnya, mereka dekat dengan laut, membuat mereka sangat kenal jenis-jenis ikan dan habitatnya serta ikan dan biota apa saja yang berasosiasi dengan padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.

Sumberdaya: mangrove, padang lamun, dan terumbu karang

Hutan mangrove di Torsiaje termasuk yang masih masih baik dibandingkan dengan kondisi mangrove di peisisir Kabupaten Pohuwato lainnya. Misalnya, jika dibandingkan lokasi yang masih berdekatan yakni, kawasan mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang.

Walaupun berstatus cagar alam kondisi mangrove di Tanjung Panjang sangat memprihantikan akibat alih fungsi menjadi tambak ikan bandeng, udang, dan garam.

Hutan mangrove di Torsiaje masih dalam kondisi baik (Gambar: Marahalim Siagian)
Hutan mangrove di Torsiaje masih dalam kondisi baik (Gambar: Marahalim Siagian)
Berlangsung selama puluhan tahun, migrasi berantai dari  Sulawesi Selatan terjadi ke pesisir Kabupaten Pohuwato (Randangan, Lemito, dan Popayato) mengokupasi kawasan manggrove itu menjadi tambak ikan bandeng, udang, dan garam.

Kondisinya sekarang kontras dengan kondisi mangrove di Torsiaje yang dimukimi oleh orang Bajo. Sekitar 80 persen dari hutan mangorove alami masih dalam kondisi baik dengan kerapatan 5.000-6.000 pohon per hektarnya (Ramli Utina, 2012).

Pak Umar Pasandre sedang membagikan polibag untuk kelompok perempuan yang terlibat dalam penyediaan bibit mangrove untuk kebutuhan rehabilitasi (Gambar: Marahalim Siagian)
Pak Umar Pasandre sedang membagikan polibag untuk kelompok perempuan yang terlibat dalam penyediaan bibit mangrove untuk kebutuhan rehabilitasi (Gambar: Marahalim Siagian)
Pak Umar Pasandre (60) tokoh warga Bajo di Torsiaje, dapat menyebutkan dengan fasih dan lancar jenis-jenis manggrove apa saja yang ada di lingkungan hidup mereka--dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa latinnya. Ia memang seorang champion lingkungan di Kabupaten Pohuwato, khususnya mengenai mangrove.

Dalam perbincangan kami di rumahnya, beliau dengan fasih menyebutkan 9 (sembilan) jenis mangrove yang ada di lingkungan merek: Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba,  dan Sonneratia caseolaris.

Saat wawancara bebas, saya mencatat secara cepat namun kemudian harus memeriksa kembali cara penulisannya dalam bahasa latin agar tidak salah.
Saya bahkan mengkonfirmasi salah satu jenis manggrove yang paling besar dan tinggi yang saya lihat disekitar Torsiaje laut, dengan cepat beliau mengidentifikasinya sebagai Brugurea (tepatnya, Bruguiera gymnorrhiza). 

Pak Umar Pasandre dengan seruan di kaosnya
Pak Umar Pasandre dengan seruan di kaosnya
Pak Umar Pasandre memberitahu saya lebih banyak jenis-jenis sumberdaya yang mereka manfaatkan di ekosistem manggrove dan perairan topor (meliputi padang lamun dan perairan dangkal). Diantaranya; dayak ine, dayak tanah, bunte bangkau, berra, bilauas, sumpitan, totok bungkau, bonte bangkau, ballo, udang windu, kongke, kaluppo (ikan beracun), endok (belut laut), kangkayu (kepiting kecil), kongke lumes (ikan berduri).

Dua jenis suntung yakni: suntung bunga, suntung batu. Masapih, daya' rusutang dan timbolok bangkau. Pari bangkau dan udang ronggeng. Koa (kerang-kerangan) antara lain: koa biadaa, koa bare, sosoho, tiram, burunga dan kuporus.

Pada ekosistem yang khas seperti padang lamun, Pak Umar meriwayatkan, dahulu duyung masih sering datang ke padang lamun, sekarang tidak lagi. Padang lamun atau samo, bagi Orang Bajo juga seperti kompas waktu.

Menurut Abdi Tahir (56), jika samo telah berbunga artinya bulan telah berganti.  Jenis sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan Orang Bajo di ekosistem terumbu karang antara lain: sunu, sinurang, tenggiri, dan jenis ikan terumbu karang lainnya.

Keramba ikan di Torsiaje (Gambar: Marahalim Siagian)
Keramba ikan di Torsiaje (Gambar: Marahalim Siagian)

Hasil laut yang terbesar

Diantara puluhan atau bahkan ratusan jenis ikan dan biota laut yang mereka manfaatkan, jenis-jenis gamat dan teripang memiliki harga tinggi sehingga menjadi sumber pendapatan yang terbesar.

Koro (teripang susu) misalnya harganya bisa  2 juta per kilo dalam kondisi yang sudah dikeringkan. Menurutnya, satu kilo teripang susu sekitar 5 ekor saja karena isinya padat.

Berapa jenis gamat dan teripang yang disebutkan adalah; gamat batu, gamat kasur, karidau, tolungko, cerak abu, cerak hitam, teripang nenas. Jenis teripang dan gamat ini juga mahal namun tidak semahal teripang susu. Selain dari hasil perikanan tangkap, Orang Bajo sudah melakukan pembudidayaan ikan, namun masih terbatas. 

Potensi perikanan di Torsiaje masih bagus (Gambar: Marahalim Siagian)
Potensi perikanan di Torsiaje masih bagus (Gambar: Marahalim Siagian)

Bank bibit mangrove

Anak orang Bajo didik untuk melestarikan mangrove melalui penanaman bibit mangrove di area-area yang masih terbuka (Doc.Umar Pasandre)
Anak orang Bajo didik untuk melestarikan mangrove melalui penanaman bibit mangrove di area-area yang masih terbuka (Doc.Umar Pasandre)
Dengan banyaknya kawasan manggrove yang sudah rusak di pesisir Pohuwato, mangrove di Torsiaje menjadi semacam bank bibit untuk merestorasi kawasan-kawasan mangrove yang rusak.

Kesadaran akan pentingnya mangrove untuk penghidupan mereka membuat Pak Umar dekat dengan kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat), pejabat pemerintah daerah hingga anggota legislatif.

Pak Umar juga menggugah kesadaran orang Bajo, terutama generasi mudanya agar melestarikan mangrove. Perwujudtannya seperti mengajak anak-anak Bajo menanam mangrove di area-area yang  terbuka untuk menambah tutupan mangrove.

Orang Bajo sendiri, terutama kaum perempuan turut senang karena menerima manfaat dari upaya mereka melestarikan mangrove. Kelompok Sadar Lingkungan kaum perempuan itu memperoleh tambahan penghasilan dari menjual bibit mangrove untuk keperluan proyek-proyek rehabilitasi.

Saya menyaksikan dua orang  ibu yang datang ditengah-tengah perbicangan kami di rumah Pak Umar. Pak Umar meberitahu mereka bahwa ada pesanan bibit cukup besar untuk areal 3.500 hektar yang direncanakan akan direhabilitasi tahun ini.

Kebutuhan bibit mangrove per hektar sekitar 1.000 bibit (jarak tanam 1 m x 1 m), dengan demikian bibit mangrove yang dibutuhkan paling tidak 3,5 juta bibit.

Mendengar angka itu, saya sempat ragu, apa mungkin mereka dapat memenuhi pesanan sebesar itu. Keraguan saya segera terjawab. Menurut Pak Umar, kalau sekitar 2 juta bibit, asalkan bukan satu jenis ia dan kelompoknya dapat memenuhinya.

Mobilitas spasial

Bajo di Tilamuta Kabupaten Boalemo dengan sketsa kawasan SDAnya (Gambar: Marahalim Siagian)
Bajo di Tilamuta Kabupaten Boalemo dengan sketsa kawasan SDAnya (Gambar: Marahalim Siagian)
Mobilitas spasial berhubungan dengan ruang, waktu, dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam Orang Bajo. Menggunakan informasi dari para informan, bahwa tipikal orang Bajo adalah menyusur pesisir dan perairan dangkal, melalui selat-selat dangkal serta memanfaatkan sumberdaya di pulau-pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni.

Pulau-pulau yang tak berpenghuni itu jika memiliki sumber air tawar diperlukan untuk konsumsi selama mereka melakukan mobilitas jarak jauh yang memaka waktu hingga mingguan.

Disebutkan, orang Bajo Torsiaje lebih mengarah ke perbatasan Sulawesi Tengah. Pilihan ini tampaknya rasional karena jika mereka mengarah ke utara, terdapat kawasan penghidupan Orang Bajo di Tilamuta (Kabupaten Boalemo) atau bahkan jika lebih ke utara lagi, terdapat komunitas Bajo di Kepulauan Bunaken.

Sketasa mobilitas spasial Bajo Torsiaje direkontruksi berdasarkan keterangan informan (Dokpri)
Sketasa mobilitas spasial Bajo Torsiaje direkontruksi berdasarkan keterangan informan (Dokpri)
Gambar ini berdasarkan rekontruksi dari informan dan dengan bantuan Google map, saya melihat tiga rute mobilitas yang tipikal. Garis HIJAU menunjukkan mobiltas pemanfaatan SDA disekitar pesisir pantai pada ekosistem mangrove dan padang lamua di perairan dangkal. Garis MERAH menunjukkan mobilitas pemanfaatan SDA mengikuti rangkaian terumbu karang dari sisi dalam, serta garis warna PINK menunjukkan mobilitas pemanfaatan SDA mengikuti sisi luar dari rangkaian terumbu karang hingga mencapai pulau-pulau kecil tak berpenhuni di sekitar Pulau Kubur.  

Sebagai perbandingan, pola ini mirip dengan mobilitas spasial Orang Laut di Selat Malaka, Riau Kepulauan (Marahalim Siagian, 2020) dan Mobilitas Spasial Orang Suku Bajo di Maumere yng digambarkan Ambrosius A.K.S., dkk (2018).

Bacaan: 

  • Ringkasan Profil Ekosistem Wallacea: adoc.tips
  • Ramli Utina, 2015. Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torsiaje Provinsi Gorontalo.
  • Steven Sumolang, 2016.  Tradisi Melaut Nelayan dn Perubahannya, Studi Nelayan Bajo di Pulau Nain Kawasan Taman Nasional Laut Bunaken, Asmara Books, Yogyakrta.
  • Ambrosius A.K.S. 2018. Pola Pemanfaatan Dalam Tata Spasial Hunian Suku Bajo Yang Berkembang Di Kampung Wuring Kota Maumere dalam Jurnal NALARs, Universitas Muhaamadya, Vol 17, No 1 .
  • Marahalim Siagian, 2020. Pemanfaatan Tradisional dan Mobilitas Spasial Orang Laut di Riau Kepulauan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun