Teluk Tomini merupakan teluk terbesar di Indonesia yang berada di kepala Pulau Sulawesi yang  berbentuk huruf K itu. Berpangkal dari Sulawesi Tengah dan berujung di Sulawesi Utara, ditengahnya adalah Gorontalo.  Panjang garis pantainya kurang lebih 1.350 kilo meter dengan luas perairan laut sekitar  137.700 kilo meter persegi.
Teluk Tomini adalah perairan semi tertutup yang di dalamnya terdapat 90 pulau dan rangkaian pulau-pulau, bagian dari yang disebut ekosistem Wallacea, landscape keragaman hayatinya luar biasa kaya sekaligus terancam.
Guna memberikan perlindungan yang lebih kuat pada keragaman hayati laut di Teluk Tomini, di bagian utara seluas 890 km persegi (89.000 ha) telah dikelola dalam rejim pengelolaan Taman Nasional Laut-Bunaken dan Taman Nasional Kepulauan Togean di Sulawesi Tengah seluas 3.626 km persegi. Â Seluas 292.000 hektar diantaranya adalah ekosistem laut sisanya ekosistem darat seluas 70.000 hektar.
Dipelukan Teluk Tomini, terdapat komunitas Orang Bajo mulai dari Kepulauan Togean di Sulawesi Tengah hingga Kepulauan Bunaken di Sulawesi Utara. Gorontalo yang berada diantara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, terdapat dua komunitas Orang Bajo yakni; Bajo di pesisir Tilamuta Kabupaten Boalemo dan Bajo di Torsiaje Kabupaten Pohuwato---Provinsi Gorontalo. Â
Orang Bajo umumnya membentuk pemukiman di pesisir pantai dengan mata pencaharian yang berorientasi ke laut. Sumber daya terpenting yang menyokong penghidupan mereka adalah ikan  dan biota laut  yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, padang lamun,  dan terumbu karang.
Orang Bajo di Torsiaje
Di atas padang lamun yakni perairan dangkal yang airnya hangat dengan dasar laut yang berpasir, ditumbuhi rumput dan jenis tumbuhan dari bangsa Alismatales, berdiri rumah-rumah panggung, aneka ragam warnanya, ratusan jumlahnya.Â
Berderet dan berbanjar, satu dengan lainnya saling terhubung, Â kompak dalam satu hamparan, dihuni oleh sekitar 1.000 jiwa atau 400an rumah tangga, mayoritas penghuninya adalah orang Bajo. Kampung ini bernama Torsiaje.
Berada dalam tiga desa berbeda, orang Bajo membingkai tiga desa itu dengan menyebut tiga rumpun Bajo. Tiga rumpun Bajo yang dimaksud : Desa Tossiaje Laut, Desa Bumi Bahari, dan Desa Torsiaje Jaya bagian dari Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Propinsi Gorontalo.
Dua desa yang disebut terakhir adalah warga Bajo keturunan dari pemukim awal yang berasal dari Torsiaje laut.Â
Jika rumah-rumah yang berada di Desa Torsiaje laut seperti terapung, rumah-rumah orang Bajo di dua desa yang disebut terakhir tidak berpanggung, pondasinya berada di tanah kering atau bagian dari daratan yang dihuni populasi penduduk yang lebih besar.
Orang Bajo di Desa Bumi Bahari dan Desa Torsiaje Jaya, kendati raga, rumah, serta memiliki harta berupa tanah, satu atau beberapa bidang di darat, mereka kurang termotivasi menjadi petani. Orientasi mata pencaharian mereka tetap mengarah ke laut. Laut dan Orang Bajo seperti dua unsur yang (selalu) bersenyawa.
Selain aspek budaya dan latar belalakang leluhur yang sama, Â relasi orang Bajo yang berada di laut dengan orang Bajo yang bermukim di darat seolah tak terpisahkan.Â
Hal itu karena mereka hidup dari landasan budaya yang sama, sumber daya penghidupan yang sama, serta menggunakan bahasa sendiri. Orang Bajo seperti sub-kultur dari budaya mainstream populasi penduduk yang lebih besar yang mengidentifikasi diri hulondhalo (Orang Gorontalo). Â
Torsiaje sebagai destinasi wisata, hemat saya, turis lokal atau manca negara akan mendapat tiga paket sekaligus; (1). panorama yang instagramable, (2).  Orang  Bajo dengan budaya baharinya yang unik,  serta (3). Ekosistem mangrove-padang lamun-terumbu karang yang masih bagus.
Perairan laut yang dangkal itu memiliki air yang jernih. Dari atas perahu yang membawa kita dari dermaga ke pemukiman Bajo di Torsiaje laut, hutan mangrove berada di kiri dan kanan dengan akar berbentuk serabut yang menancap kokoh ke tanah.
Perairannya masih bersih seperti aquarium raksasa. Ikan-ikan sepanjang sendok garpu berenang berkerumun, membentuk macam-macam formasi, lalu tiba-tiba bubar seperti ikan yang bermain petak umpet. Ikan-ikan itu bersembunyi di ketiak rumput laut yang ujungnya melambai-lambai oleh riak air yang ditimbulkan oleh perahu bermesin yang melintas.
Jika kita ingin mengenal jenis-jenis mangrove dan ekosistemnya, Orang Bajo adalah guru terbaik. Sepanjang daur hidupnya, mereka dekat dengan laut, membuat mereka sangat kenal jenis-jenis ikan dan habitatnya serta ikan dan biota apa saja yang berasosiasi dengan padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Sumberdaya: mangrove, padang lamun, dan terumbu karang
Hutan mangrove di Torsiaje termasuk yang masih masih baik dibandingkan dengan kondisi mangrove di peisisir Kabupaten Pohuwato lainnya. Misalnya, jika dibandingkan lokasi yang masih berdekatan yakni, kawasan mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang.
Walaupun berstatus cagar alam kondisi mangrove di Tanjung Panjang sangat memprihantikan akibat alih fungsi menjadi tambak ikan bandeng, udang, dan garam.
Kondisinya sekarang kontras dengan kondisi mangrove di Torsiaje yang dimukimi oleh orang Bajo. Sekitar 80 persen dari hutan mangorove alami masih dalam kondisi baik dengan kerapatan 5.000-6.000 pohon per hektarnya (Ramli Utina, 2012).
Dalam perbincangan kami di rumahnya, beliau dengan fasih menyebutkan 9 (sembilan) jenis mangrove yang ada di lingkungan merek: Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba,  dan Sonneratia caseolaris.
Saat wawancara bebas, saya mencatat secara cepat namun kemudian harus memeriksa kembali cara penulisannya dalam bahasa latin agar tidak salah.
Saya bahkan mengkonfirmasi salah satu jenis manggrove yang paling besar dan tinggi yang saya lihat disekitar Torsiaje laut, dengan cepat beliau mengidentifikasinya sebagai Brugurea (tepatnya, Bruguiera gymnorrhiza).Â
Dua jenis suntung yakni: suntung bunga, suntung batu. Masapih, daya' rusutang dan timbolok bangkau. Pari bangkau dan udang ronggeng. Koa (kerang-kerangan) antara lain: koa biadaa, koa bare, sosoho, tiram, burunga dan kuporus.
Pada ekosistem yang khas seperti padang lamun, Pak Umar meriwayatkan, dahulu duyung masih sering datang ke padang lamun, sekarang tidak lagi. Padang lamun atau samo, bagi Orang Bajo juga seperti kompas waktu.
Menurut Abdi Tahir (56), jika samo telah berbunga artinya bulan telah berganti. Â Jenis sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan Orang Bajo di ekosistem terumbu karang antara lain: sunu, sinurang, tenggiri, dan jenis ikan terumbu karang lainnya.
Hasil laut yang terbesar
Diantara puluhan atau bahkan ratusan jenis ikan dan biota laut yang mereka manfaatkan, jenis-jenis gamat dan teripang memiliki harga tinggi sehingga menjadi sumber pendapatan yang terbesar.
Koro (teripang susu) misalnya harganya bisa  2 juta per kilo dalam kondisi yang sudah dikeringkan. Menurutnya, satu kilo teripang susu sekitar 5 ekor saja karena isinya padat.
Berapa jenis gamat dan teripang yang disebutkan adalah; gamat batu, gamat kasur, karidau, tolungko, cerak abu, cerak hitam, teripang nenas. Jenis teripang dan gamat ini juga mahal namun tidak semahal teripang susu. Selain dari hasil perikanan tangkap, Orang Bajo sudah melakukan pembudidayaan ikan, namun masih terbatas.Â
Bank bibit mangrove
Kesadaran akan pentingnya mangrove untuk penghidupan mereka membuat Pak Umar dekat dengan kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat), pejabat pemerintah daerah hingga anggota legislatif.
Pak Umar juga menggugah kesadaran orang Bajo, terutama generasi mudanya agar melestarikan mangrove. Perwujudtannya seperti mengajak anak-anak Bajo menanam mangrove di area-area yang  terbuka untuk menambah tutupan mangrove.
Orang Bajo sendiri, terutama kaum perempuan turut senang karena menerima manfaat dari upaya mereka melestarikan mangrove. Kelompok Sadar Lingkungan kaum perempuan itu memperoleh tambahan penghasilan dari menjual bibit mangrove untuk keperluan proyek-proyek rehabilitasi.
Saya menyaksikan dua orang  ibu yang datang ditengah-tengah perbicangan kami di rumah Pak Umar. Pak Umar meberitahu mereka bahwa ada pesanan bibit cukup besar untuk areal 3.500 hektar yang direncanakan akan direhabilitasi tahun ini.
Kebutuhan bibit mangrove per hektar sekitar 1.000 bibit (jarak tanam 1 m x 1 m), dengan demikian bibit mangrove yang dibutuhkan paling tidak 3,5 juta bibit.
Mendengar angka itu, saya sempat ragu, apa mungkin mereka dapat memenuhi pesanan sebesar itu. Keraguan saya segera terjawab. Menurut Pak Umar, kalau sekitar 2 juta bibit, asalkan bukan satu jenis ia dan kelompoknya dapat memenuhinya.
Mobilitas spasial
Pulau-pulau yang tak berpenghuni itu jika memiliki sumber air tawar diperlukan untuk konsumsi selama mereka melakukan mobilitas jarak jauh yang memaka waktu hingga mingguan.
Disebutkan, orang Bajo Torsiaje lebih mengarah ke perbatasan Sulawesi Tengah. Pilihan ini tampaknya rasional karena jika mereka mengarah ke utara, terdapat kawasan penghidupan Orang Bajo di Tilamuta (Kabupaten Boalemo) atau bahkan jika lebih ke utara lagi, terdapat komunitas Bajo di Kepulauan Bunaken.
Sebagai perbandingan, pola ini mirip dengan mobilitas spasial Orang Laut di Selat Malaka, Riau Kepulauan (Marahalim Siagian, 2020) dan Mobilitas Spasial Orang Suku Bajo di Maumere yng digambarkan Ambrosius A.K.S., dkk (2018).
Bacaan:Â
- Ringkasan Profil Ekosistem Wallacea: adoc.tips
- Ramli Utina, 2015. Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torsiaje Provinsi Gorontalo.
- Steven Sumolang, 2016. Â Tradisi Melaut Nelayan dn Perubahannya, Studi Nelayan Bajo di Pulau Nain Kawasan Taman Nasional Laut Bunaken, Asmara Books, Yogyakrta.
- Ambrosius A.K.S. 2018. Pola Pemanfaatan Dalam Tata Spasial Hunian Suku Bajo Yang Berkembang Di Kampung Wuring Kota Maumere dalam Jurnal NALARs, Universitas Muhaamadya, Vol 17, No 1 .
- Marahalim Siagian, 2020. Pemanfaatan Tradisional dan Mobilitas Spasial Orang Laut di Riau Kepulauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H