Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tingkah Laku Sakit, Universal?

31 Desember 2019   17:41 Diperbarui: 2 Januari 2020   15:55 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Lander Rana Jaya/KKI Warsi

Penyelidikan antropolog tentang sakit memberikan gambaran bahwa sakit merupakan sarana pelepasan diri dari tekanan yang tak tertahankan, membantu untuk menanggung kegagalan pribadi, untuk memperoleh perhatian, melepaskan diri (sementara) dari tanggungjawab.

***

Jambi di pagi hari, saat itu awal April 2001, waktu seolah berjalan malas, tak ada klakson mobil, telepon, surat kabar, rumah sakit, apotik, internet, bahkan coca-cola sekali pun.

Kondisi yang tak bisa dibayangkan akan 'muncul' di pedalaman hutan Bukit Duabelas, tempat Orang Rimba membangun kehidupan dan membesarkan anak-anak mereka.

Sebelum masuk hutan, saya telah menghafalkan beberapa kata, modal awal bagi saya berkomunikasi dengan Orang Rimba, tapi tak sepatah kata pun bisa terucapkan, saya terlalu gugup menghadapi para jenton (laki-laki) yang hanya bercawat dengan golok dipinggannya, merokok tak henti-hentinya, dan memelototi saya dalam kebisuan yang menyiksa.

Mitos yang dimunculkan masyarakat luar terhadap mereka terlalu banyak dan jujur sempat membuat saya sedikit takut.

Hari-hari seolah berjalan terlalu lamban dan berat untuk dilewati. Setelah beberapa malam berlalu, barulah saya bisa menguasai diri dan mencoba mengakrabkan diri. 

Masuk dalam dunia Orang Rimba ternyata tidak semudah dalam teori antropologi yang saya pelajari di kampus, apalagi kerja di pendampingan Orang Rimba merupakan pengalaman pertama bagi saya. 

Memang benar slogan kalau pengalaman bisa menjadi 'guru' yang baik bagi manusia, terbukti dengan semakin lama hidup di kelompok Orang Rimba dan mempelajari kebiasaan serta bahasa mereka, membuat saya semakin berani dan semakin hari semakin banyak kosa kata mereka yang terekam di kepala.

Kisah-kisah hidup berdampingan dengan Orang Rimba memiliki banyak warna. Pernah suatu kali kemarau datang dan lama berakhir, banyak Orang Rimba yang jatuh sakit.

Batuk bersahut-sahutan, namun mereka berdahak semaunya, menyebabkan penularan penyakit pun berlangsung cepat, tak terkecuali anak-anak menjadi sasaran penularan.

Orang Rimba memaknai sakit dengan agak berlebihan. Mereka selalu mengaitkan penyakit dengan orang meru (orang dusun, orang luar, atau orang terang dalam sebutan mereka).

Menurut kepercayaan Orang Rimba penyakit datang dari orang dusun yang umumnya terdiri dari Orang Melayu. Semakin intensif hubungan itu berlansung semakin besar kemungkinannya kena penyakit.

Mereka yang sakit akan lebih cepat sembuh jika banyak orang yang merawat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 

Makanan akan disediakan dengan kualitas yang lebih baik


Mencari Simpati
Pemanfaatan sakit untuk mendapatkan perhatian dari anggota komunitas, cukup efektif dalam proses penyembuhan. Begitu juga yang dilakukan Orang Rimba.

Mereka yang sakit akan lebih cepat sembuh jika banyak orang yang merawat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Makanan akan disediakan dengan kualitas yang lebih baik.

Di kelompok Orang Rimba Jika ada yang sakit apalagi jika dalam jumlah yang banyak, mereka akan melakukan ritual kepada dewanya demi kesembuhan, ini juga sebagai sebuah kenyataan kalau Orang Rimba menganggap penyakit tidaklah sekedar aspek fisik.

Kelompok Orang Rimba dalam memperlakukan penderita sakit dengan memberikan pengecualian khusus, antar lain melepaskannya dari kewajiban berburu, memanjat pohon madu serta mendapatkan simpati dari anggota kelompoknya.

Sebaliknya, aspek kepercayaan menyebabkan penderita harus tunduk pada pantangan sakit yang dianut kelompoknya.

**

Suatu pagi, seorang bapak yang kakinya pincang mendatangi kami di sesudungon atau tempat bermalam untuk 2-3 pekan seperti defenisi umum tentang apa yang kita sebut 'shelter' - bangunan yang dikontruksi menggunakan dedaunan dengan rating-ranting sebagai tulangannya.

Dia mengaku mengalami sakit yang hebat karena suatu makanan. Untuk meyakinkan kami (saya kebetulan kerja lapangan bersama seorang dokter lapangan), dalam tempo sekejap dia merubah perannya dengan mengeluarkan suara-suara yang memberikan gambanran kondisi orang menanggung sakit parah.

Setelah dokter melakukan pemeriksaaan, dokter berkesimpulan, kondisi fisiknya normal. Dokter memberikan obat dalam bentuk pil untuk diminum beberapa hari, namun si Bapak bersikeras bahwa ia kalau tidak disuntik, penyakitnya tidak akan sembuh. Dokter senyum dan mengambil menyuntiknya dengan multivitamin.

Di kelompok Orang Rimba yang lain, wilayah Utara Taman Nasional Bukit Duabelas-TNBD, seorang ibu dari balik pohon-pohon kecil batuk sejadi-jadinya hingga wajahnya merah dan matanya berair, ia mengeluarkan dahaknya sembarangan.

Cara itu khas Orang Rimba, sebagai trik untuk mendapatkan simpati. Cara yang demikian dipakai untuk meminta bantuan medis dan sebagai staf kajian dan pendampingan Orang Rimba kami merasa kewajiban secara moral untuk menolong, mengusahakan dokter atau mantri yang jauhnya puluhan kilo ke pusat desa.

Perbandingan Komparatif

Perbedaan budaya memberikan suasana yang berbeda-beda tentang tingkah laku sakit. 

Orang Yahudi dan Italia diperbolehkan mengungkapkan sebebas-bebasnya rasa sakit melalui keluhan dan emosi dengan kata-kata, bunyi, dan isyarat-isyarat. Mereka bebas untuk mengadu, menangis, mereka tidak merasa malu dengan tindakan seperti itu.

Sebaliknya orang-orang tua Amerika cenderung untuk menyembunyikan rasa sakit dengan berusaha setenang mungkin dan mencari cara-cara yang paling tepat untuk menentukan kualitas rasa sakit, tempatnya, dan lamanya. Mereka beranggapan tidak ada gunanya mengeluh, mengaduh tidak menolong siapa pun. ***

*Penulis pernah belajar 1 semester di fakultas kedokteran UGM untuk mata kuliah 'Nutrisi, Kajian Gizi, dan Makanan' pada sekolah pascasarjana (2005-2008).

Referensi:
 Antropologi Kesehatan, Foster/Anderson, 1986. Universitas Indonesia Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun