Penyelidikan antropolog tentang sakit memberikan gambaran bahwa sakit merupakan sarana pelepasan diri dari tekanan yang tak tertahankan, membantu untuk menanggung kegagalan pribadi, untuk memperoleh perhatian, melepaskan diri (sementara) dari tanggungjawab.
***
Jambi di pagi hari, saat itu awal April 2001, waktu seolah berjalan malas, tak ada klakson mobil, telepon, surat kabar, rumah sakit, apotik, internet, bahkan coca-cola sekali pun.
Kondisi yang tak bisa dibayangkan akan 'muncul' di pedalaman hutan Bukit Duabelas, tempat Orang Rimba membangun kehidupan dan membesarkan anak-anak mereka.
Sebelum masuk hutan, saya telah menghafalkan beberapa kata, modal awal bagi saya berkomunikasi dengan Orang Rimba, tapi tak sepatah kata pun bisa terucapkan, saya terlalu gugup menghadapi para jenton (laki-laki) yang hanya bercawat dengan golok dipinggannya, merokok tak henti-hentinya, dan memelototi saya dalam kebisuan yang menyiksa.
Mitos yang dimunculkan masyarakat luar terhadap mereka terlalu banyak dan jujur sempat membuat saya sedikit takut.
Hari-hari seolah berjalan terlalu lamban dan berat untuk dilewati. Setelah beberapa malam berlalu, barulah saya bisa menguasai diri dan mencoba mengakrabkan diri.Â
Masuk dalam dunia Orang Rimba ternyata tidak semudah dalam teori antropologi yang saya pelajari di kampus, apalagi kerja di pendampingan Orang Rimba merupakan pengalaman pertama bagi saya.Â
Memang benar slogan kalau pengalaman bisa menjadi 'guru' yang baik bagi manusia, terbukti dengan semakin lama hidup di kelompok Orang Rimba dan mempelajari kebiasaan serta bahasa mereka, membuat saya semakin berani dan semakin hari semakin banyak kosa kata mereka yang terekam di kepala.
Kisah-kisah hidup berdampingan dengan Orang Rimba memiliki banyak warna. Pernah suatu kali kemarau datang dan lama berakhir, banyak Orang Rimba yang jatuh sakit.
Batuk bersahut-sahutan, namun mereka berdahak semaunya, menyebabkan penularan penyakit pun berlangsung cepat, tak terkecuali anak-anak menjadi sasaran penularan.