Daun-daun woka ini dipanen oleh Orang Sangir yang beragama Kristen di Kabupaten Pohuwato. Pedagang perantara menyeberangkannya ke Pulau Bali. Umat Hindu di Pulau Dewata (Bali) kemudian membelinya untuk keperluan ritual keagamaan mereka.
Kawan, ternyata kita terhubung dengan berbagai cara, terlebih karena uang tidak punya agama.
**
Woka (Livistona altissima) adalah tumbuhan keluarga palem-paleman. Saya tidak terlalu paham taksonomi botaninya, namun ada 2-3 dari jenis palem-paleman yang (terutama) bagian daunnya berguna bagi penghidupan masyarakat Gorontalo dan yang dipasok hingga ke Pulau Bali untuk memenuhi permintaan tinggi di Bali. Â
Suhu rata-rata di bagian Indonesia tengah dan timur relatif lebih panas sehingga pemanfaatan daun woka untuk kemasan gula merah menjadi pilihan.
Selain untuk membukus gula merah, daun woka juga dipakai untuk membungkus dodol, tapi tidak untuk kemasan panganan rakyat yang bernama ilabulo. Woka akan lebih retas dibanding daun pisang karena ilabulo dimasak dengan cara dibakar.
Pemakaian woka untuk kemasan dodol cukup besar karena dodol dijual sebagai makanan oleh-oleh dari Gorontalo.
Gorontalo dapat dikatakan seperti satelitnya Manado, walaupun berbeda agama---orang Gorontalo mayoritas Islam sementara Orang Minahasa di Sulawesi Utara mayoritas Kristen, namun kedua daerah ini dekat. Dekat secara geografis dan juga budayanya.Â
Pertukaran budaya antara Gorontalo dan Minahasa sudah terbentuk lama, terutama karena dulunya Gorontalo adalah bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, ibu kotanya Manado. Â Â
Bagian dari perayaan itu, daun woka dimanfaatkan untuk menghiasi gapura, gang, pekarangan, bahkan tanah lapang.
Dahulu, sebelum lampu-lampu itu terbuat dari bahan bakar minyak tanah, lampu dibuat dari damar, dibungkus dengan daun woka disebut tohetutu.
Pemanfaatan daun woka selain yang disebut di atas, daun woka juga dipasok ke Pulau Bali. Permintaan daun woka di Bali sangat tinggi dan Pulau Bali membutuhkan pasokan woka dari luar pulau agar tercukupi.
Woka setelah di Bali dikenal dengan janur. Konsumsinya tinggi karena dimanfaatkan untuk ritual keagamaan serta tidak tersubtitusi dengan yang lain.Â
Sebagai pemeluk Hindu serta tujuan pariwisata, Bali memilih menggunakan bahan yang ramah lingkungan--diet plastik. Â
Sudah lebih sepuluh tahun Pak Heno Mamuko (48 tahun) dan kelompoknya menjalani usaha ini, sebagai pekerjaan sampingan. Walaupun dilakukan sebagai pekerjaan sampingan, hasilnya ternyata bukan recehan.
Setiap bulan kelompok Pak Heno memasok 200 ikat atau 10.000 bilah. Satu ikat berisi 50 bilah atau disebut 50 "ujung". Nilai transaksinya 17 juta per bulan atau 200 juta lebih setahun.
Sebagai usaha sampingan yang dilakukan sambil menunggu panen jagung, tambahan pendapatan 1 juta hingga 1.7 juta per bulan, masih cukup lumayan untuk ekonomi rumah tangga di pedesaan.
Hanya saja, Pak Heno mengeluhkan sudah lima tahun harga beli toke belum pernah berubah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H