Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Daun Woka yang Terdiaspora hingga Pulau Dewata

5 Desember 2019   20:43 Diperbarui: 7 Desember 2019   13:30 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Daun-daun woka ini dipanen oleh Orang Sangir yang beragama Kristen di Kabupaten Pohuwato. Pedagang perantara menyeberangkannya ke Pulau Bali. Umat Hindu di Pulau Dewata (Bali) kemudian membelinya untuk keperluan ritual keagamaan mereka.

Kawan, ternyata kita terhubung dengan berbagai cara, terlebih karena uang tidak punya agama.

**
Woka (Livistona altissima) adalah tumbuhan keluarga palem-paleman. Saya tidak terlalu paham taksonomi botaninya, namun ada 2-3 dari jenis palem-paleman yang (terutama) bagian daunnya berguna bagi penghidupan masyarakat Gorontalo dan yang dipasok hingga ke Pulau Bali untuk memenuhi permintaan tinggi di Bali.  

Dokpri
Dokpri
Daun woka untuk pemanfaatan masyarakat lokal dipakai untuk membungkus gula merah dengan beragam variasinya. Selain karena daun ini dapat diperoleh dengan gratis, gula merah yang terbungkus daun woka tidak mudah melumer lalu melengket pada bungkusannya. Bandingkan dengan gula merah yang dikemas dengan plastik. 

Suhu rata-rata di bagian Indonesia tengah dan timur relatif lebih panas sehingga pemanfaatan daun woka untuk kemasan gula merah menjadi pilihan.

Selain untuk membukus gula merah, daun woka juga dipakai untuk membungkus dodol, tapi tidak untuk kemasan panganan rakyat yang bernama ilabulo. Woka akan lebih retas dibanding daun pisang karena ilabulo dimasak dengan cara dibakar.

Pemakaian woka untuk kemasan dodol cukup besar karena dodol dijual sebagai makanan oleh-oleh dari Gorontalo.

Gula merah dalam kemasan daun woka di Pasar Marisa (Dokpri)
Gula merah dalam kemasan daun woka di Pasar Marisa (Dokpri)
Di bagian Sulawesi paling utara yakni Manado, woka juga banyak dipakai untuk kemasan panganan rakyat dan penggunaanya meningkat saat acara-acara pengucapan syukur. 

Gorontalo dapat dikatakan seperti satelitnya Manado, walaupun berbeda agama---orang Gorontalo mayoritas Islam sementara Orang Minahasa di Sulawesi Utara mayoritas Kristen, namun kedua daerah ini dekat. Dekat secara geografis dan juga budayanya. 

Pertukaran budaya antara Gorontalo dan Minahasa sudah terbentuk lama, terutama karena dulunya Gorontalo adalah bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, ibu kotanya Manado.    

Daun woka dalam ikatan siap jual (Dokpri)
Daun woka dalam ikatan siap jual (Dokpri)
Pemanfaatan daun woka dalam jumlah yang lebih besar adalah untuk umbul-umbul dalam perayaan agama serta resepsi. Perayaan agama dimaksud seperti tumbilotohe tradisi masyarakat Gorontalo dalam menyambut (3 hari sebelum) Idul Fitri, di mana penduduk menyalakan lampu secara massal: di depan rumah, pekarangan, halaman masjid, bahkan di lapangan-lapangan terbuka.

Bagian dari perayaan itu, daun woka dimanfaatkan untuk menghiasi gapura, gang, pekarangan, bahkan tanah lapang.

Dahulu, sebelum lampu-lampu itu terbuat dari bahan bakar minyak tanah, lampu dibuat dari damar, dibungkus dengan daun woka disebut tohetutu.

Pemanfaatn woka dalam 'tumbilotohe' (Dokpri)
Pemanfaatn woka dalam 'tumbilotohe' (Dokpri)
Daun Woka dari Gorontalo ke Pulau Bali
Pemanfaatan daun woka selain yang disebut di atas, daun woka juga dipasok ke Pulau Bali. Permintaan daun woka di Bali sangat tinggi dan Pulau Bali membutuhkan pasokan woka dari luar pulau agar tercukupi.

Woka setelah di Bali dikenal dengan janur. Konsumsinya tinggi karena dimanfaatkan untuk ritual keagamaan serta tidak tersubtitusi dengan yang lain. 

Sebagai pemeluk Hindu serta tujuan pariwisata, Bali memilih menggunakan bahan yang ramah lingkungan--diet plastik.  

Pak Heno Mamuko pemasok daun woka ke Bali (Dokpri)
Pak Heno Mamuko pemasok daun woka ke Bali (Dokpri)
Pemasok rutin daun woka dari Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontali adalah Pak Heno Mamuko (48 tahun) dan kelompoknya.

Sudah lebih sepuluh tahun Pak Heno Mamuko (48 tahun) dan kelompoknya menjalani usaha ini, sebagai pekerjaan sampingan. Walaupun dilakukan sebagai pekerjaan sampingan, hasilnya ternyata bukan recehan.

Pemanen daun woka umumnya oleh Orang Sangir di Kab. Pohuwato(Dokrpi)
Pemanen daun woka umumnya oleh Orang Sangir di Kab. Pohuwato(Dokrpi)
Pak Heno Mamuko selain pengumpul woka, juga bertindak sebagai pengepul bagi 10-15 rumah tangga lainnya. Kelompok ini memanen woka dua kali dalam sebulan namun toke perantara menjemputnya sekali sebulan.

Setiap bulan kelompok Pak Heno memasok 200 ikat atau 10.000 bilah. Satu ikat berisi 50 bilah atau disebut 50 "ujung". Nilai transaksinya 17 juta per bulan atau 200 juta lebih setahun.

Sebagai usaha sampingan yang dilakukan sambil menunggu panen jagung, tambahan pendapatan 1 juta hingga 1.7 juta per bulan, masih cukup lumayan untuk ekonomi rumah tangga di pedesaan.

Penulis di rumah pemasok daun woka Pak Heno Mamuko (Dokpri)
Penulis di rumah pemasok daun woka Pak Heno Mamuko (Dokpri)
Melihat kelimpahan daun woka di alam (hutan) dan durasi pemanenannya, sifat pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK)-daun woka dipandang masih bersifat berkelanjutan. 

Hanya saja, Pak Heno mengeluhkan sudah lima tahun harga beli toke belum pernah berubah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun