Ian, remaja 13 tahun ini masih buta huruf. Ian adalah anak warga Batin Sembilan yang bermukim di Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi.
Ayahnya bernama Tanding (60 thn), pemimpin bagi sejumlah rumah tangga Batin Sembilan lainnya. Tinggal di salah satu kelompok yang dinamai menurut nama ayahnya--Kelompok Tanding di Simpang Tanding, Desa Bungku.
Anak-anak seperti Ian dan yang lebih muda darinya, kelompok usia 6-12 tahun ada 50-60 orang banyaknya. Di usia sekolah--seperti anak-anak Indonesia lainnya, mustinya mereka ada di sekolah untuk menuntut ilmu agar punya bekal untuk masa depan.
Ada 8 (delapan) kelompok Batin Sembilan di Desa Bungku dan sekitarnya. Pada tahun 2019 jumlahnya 805 jiwa/219 rumah tangga bermukim di Simpang Macan Luar, Simpang Macan Dalam, Lamban Jernang atau Mitrazone, Kelompok Gelinding, Kelompok Herman, Kelompok Khotib, Pangkalan Ranjau, delapan dengan Kelompok Tanding.
Masih bagian dari kelompok ini, ada sekitar 130 jiwa warga Batin Sembilan di Sumatera Selatan. Mereka masih berkerabat dan biasa saling mengunjungi.
Keterbatasan akses dan layanan pendidikan di masa lalu membuat warga Batin Sembilan buta huruf dan pendidikan formal rendah. Orangtua Ian dan lainnya sebagian besar buta huruf. Memang ada juga yang pernah sekolah namun putus sekolah dalam kondisi masih buta huruf. Hanya segelintir orang punya ijazah sekolah dasar.
Jika Ian dan seusianya buta huruf, generasi sebelum mereka rata-rata buta huruf, maka generasi buta huruf turun ke Ian dan generasi muda Batin Sembilan, merekalah yang menetukan nasib sukubangsa minoritas ini di masa depan.
Pendikan dasar untuk Ian dan anak-anak lainnya mungkin bukan untuk tiket menjadi seorang jurnalis, bankir, konsultan, kepala dinas, atau bupati. Walaupun hal itu tetap niscaya. Nasib orang siapa yang tahu?Â
Penduduk Amazon hanya perlu seorang Chicho Mendes untuk merubah nasib kaumnya, tapi bukan dengan buta huruf.
Getah karet dan hasil-hasil dari hutan yang laku di pasar seperti rotan, madu, dan 'jernang' membutuhkan ukuran, timbangan, serta harga yang dilakukan bukan dengan cara barter namun dengan uang.
Begitupun sebaliknya, jika mereka pergi ke pasar membeli keperluan sehari-hari, akan selalu berhubungan dengan ukuran, timbangan, serta uang dalam transaksi jual beli.
Mulanya Sekolah Keliling Kemudian Kelas Jauh
Sebelas tahun yang lalu tepatnya tahun 2008, pendidikan alternatif pernah dilakukan pada anak-anak Batin Sembilan, dua tahun lamanya.
Pendidikan alternatif ini disebut "Sekolah Keliling". Disebut "Sekolah Keliling" karena gurunya yang berkeliling mengajar anak Batin Sembilan dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Kegiatan belajar dilakukan bergiliran sesuai dengan janji guru dengan anak-anak didik.
Tempatnya tidak harus di ruangan di mana anak-anak suka belajar. Kadang di musala, guru mendatangi mereka ke kelompok lalu belajar di rumah orangtua anak didik, bahkan di hutan jika anak-anak itu ingin memancing, main ayunan diakar kayu setelah selesai belajar.
Ada 18 orang anak-anak Batin Sembilan yang ikut program ini dalam 2 tahun. Setelah dua tahun, guru membuat catatan perkembangan belajar 8 orang peserta didik secara kualitatif. Ada dua guru perintis dan 1 masuk diperjalanan. Catatan evaluasi berikut berasal dari salah satu guru (Sonhaji), lainnya belum ditemukan.
Mulai Juni 2010, format sekolah berubah. Anak-anak tersebut dimasukkan dalam Sekolah Kelas Jauh dengan status sekolah negeri, sayap dari SDN 49/I/Bungku. Agar sekolah itu dekat dengan hati Batin Sembilan dinamai dengan "Sekolah Besamo" namun dijalankan menurut platform sekolah dasar formal.
Perubahan format sekolah membuat kerumitan administrasi bagi guru, ruang kelas yang tidak cukup, serta persoalan adapatasi anak dengan perubahan format sekolah dasar negeri.
Sekolah beroperasi pada pagi hari, sementara banyak anak yang belum sarapan pagi sehingga tidak siap mengikuti pelajaran dari 08.30 s.d 12. 00 WIB. Anak-anak mengaku bosan bila sekolah tiap hari. Sejumlah anak tidak bisa ikut ke sekolah karena dibawa orang tuanya bekerja.
Penggabungan anak dari 4 pemukiman ternyata menjadi sumber dari pertengkaran. Misalnya, anak dari Sungai Kelumpang tidak akur dengan anak-anak Kelompok Tanding, namun anak-anak Kelompok Tanding bisa akur dengan Kelompok Gelinding karena orangtua mereka bersaudara.
Demikian juga halnya dengan anak-anak dari Simpang Macan, tidak seluruhnya bisa akur dengan anak-anak dari Sungai Kelumpang.
Bangunan sekolah yang berukuran 5x9 meter tidak memiliki daya dukung untuk 55 siswa (data siswa resmi saat diperasikan tahun 2010). Untuk keperluan administrasi ke sekolah induk, guru terpaksa mencurangi absensi siswa, nilai ujian, bahkan membuat rapor anak yang tidak pernah lagi muncul di sekolah.
Data siswa yang terdaftar namun tidak aktif enggan direvisi karena berkaitan dengan hubungan baik dengan sekolah induk SDN 49 Bungku serta dana BOS. Besarnya dana BOS berkorelasi dengan jumlah siswa yang terdaftar.
Andai tiga guru perintis sekolah informal di Batin Sembilan masih ada, mungkin kutipan pidato Pak Menteri di bawah ini relevan dengan situasi yang yang mereka hadapi saat itu.
Sonhaji dan Azloha Nazmi telah pergi mengejar cita-cita yang lain, sedangkan Usman pergi untuk selamanya.Â
Guru Indonesia yang Tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan. Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan-Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Republik Indonesia, 2019
Perubahan format sekolah tersebut adalah gabungan antara politik pendidikan di daerah, kebijakan perusahaan yang mengikutinya, serta harapan orangtua yang mendamba ada ijazah bagi anak mereka yang ikut pendidikan informal.Â
Namun pendidikan informal membuat anak-anak tidak lagi tertarik ke sekolah. seperti disebutkan di atas, sekolah formal menuntut mereka untuk pergi ke sekolah tiap hari--sebagian dalam kondisi belum sarapan. Penggabungan anak-anak dari kelompok berbeda memicu pertengkaran.
Anak kelas 1 dan anak kelas 2 yang digabungkan dalam satu ruangan membuat anak kelas satu tidak punya kesempatan untuk menjawab pertanyaan guru karena jawabannya selalu diserobot anak kelas 2--yang sudah lebih pintar. Hal yang sama terjadi pada kelas 3 dan 4, kelas 5 dan 6 yang masih-masing digabungkan dalam satu ruangan (3 kelas).
Solusi Opsional
Mengembalikan sekolah ini ke bentuknya pertama mungkin tidak sesederhana membongkar fisik sekolah kelas jauh itu. Animo anak-anak terlanjur hilang. Perlu ada guru yang memiliki jiwa "pendekar" yang memiliki semangat serta empati untuk mendidik anak-anak Batin Sembilan yang berasal dari latar belakang yang khusus.
Peran seorang guru (pendidik) sangat penting--saat ini, lebih penting dari sekadar mengubah format sekolah kembali dari formal ke sekolah informal.
Guru yang punya panggilan mendidik bukan hanya membuat 50 atau 60 orang bisa membaca, lebih jauh maknanya adalah buta huruf tidak berlanjut ke generasi muda Batin Sembilan, genarasi yang akan menentukan nasib suku bangsa minoritas ini.
Bagi orangtua yang mendamba ada ijazah bagi anak-anak mereka yang dididik secara informal, tho juga masih bisa mendapatkannya dengan cara mengikuti paket A (SD), B (SMP), dan C (SMA).
Sebagai penutup, saya ingin meceritakan bagaimana huruf dan angka telah merubah Besudut.
Besudut adalah anak Orang Rimba dari Sungai Makekal bagian tengah di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Ia adalah orang pertama dari kaumnya yang kuliah di universitas negeri.
Saya tidak menyangka anak tersebut--yang saya kenal agak lamban dibandingkan teman-temannya, di tangan guru bernama Butet Manurung (Saur Marlina Manurung) Besudut menjadi pembelajar yang tekun. Saya takjub saat ia muncul di acara Kick Andi, beberapa tahun lalu.
Besudut adalah salah satu dari banyak contoh anak dari suku bangsa minoritas di Indonesia yang bisa menapak cita-cita lebih tinggi yang lahir dari pendidikan alternatif.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H