Pertemuan itu layaknya dua bab buku yang menjadi satu. Satu bab, tentang kekalahan dan kemengan kecil Orang Rimba untuk mendapatkan hutan yang dilindungi (Taman Nasional Bukit Duabelas) dimana mereka hidup seperti cara yang mereka kehendaki.Â
Satu bab lagi, tentang cerita Patih Cuan yang hutan kaumnya dilanda kehancuran, namun mereka sekarang telah lebih mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan disekitarnya, Â lahan-lahan tersisa mereka kembangkan menjadi kebun-kebun agroforestri (kebun campur).
Banyak pengalaman yang mereka timba satu sama lain. Mereka pun berjanji akan terus berjuang agar hutan tetap ada dan adat tetap tegak.
Dengan penuh hikmat, Temenggung Maritua berucap:
"kami a begentung hidup begentung mati dengan hutan, kami a berharop pado rajo, hutan dipeliharo untuk anak-cucung kami"
(kita bergantung hidup dan mati pada hutan, kami semua berharap pada pemerintah untuk memelihara hutan, agar anak cucu kami bisa tetap hidup).Â
Patih pun menggaguk, membenarkan ucapan temenggung. Ia mengulurkan tangannya untuk menyalami temenggung, diikuti para lelaki dari kedua kaum itu.Â
Patih Cuan membawa balik rombongannya, tak ada terucap salam perpisahan, mungkin mereka berbicara dalam bahasa batin***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H