Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rindu Hutan, Patih, dan Temenggung Pun Bersua

8 November 2019   17:48 Diperbarui: 25 November 2019   11:31 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temenggung Maritua dan kelompoknya (foto: Agung Kuncahya Bayuaji)


Air Hitam, Sarolangun, Jambi, 2003

Pagi masih menggantung di pucuk para (karet), kera bergantungan dari satu dahan ke dahan yang lain mencari sinar matahari untuk menghangatkan punggungnya.

Pagi itu tidak seperti pagi sebelumnya. Seorang patih dari  sukubangsa Talang Mamak, Desa Durian Cacar,  Riau, sedang menyusuri pedalaman Bukit Duabelas bersama tujuh Talang Mamak lainya. 

Saya dan Salam, seorang sahabat aktivis LSM di Riau--pendamping Talang Mamak, telah mempersiapkan pertemuan itu sebelumnya, agar hajat patih dan temenggung untuk bersua dapat terlaksana.

Pagi itu, Patih Cuan terlihat sangat gundah, seperti tak sabar untuk bertemu sang temenggung dari komunitas Orang Rimba. Menurut kabar yang sampai ditelinganya, Ia sangat gigih mempertahankan hutan beserta adatnya.

Layaran, juga seorang patih, turut mengiringi kerabatnya itu untuk bertemu sang temenggung. Sedikit kikuk ketika tapak-tapak kaki mereka semakin mendekati pemukiman Orang Rimba. 

Dari kejauahan, kira-kira 300 meter, saya bersesalung (berteriak-cara yang lajim dipakai sebelum mendekati komunitas Orang Rimba). 

"Oi..., Oi...". saya berteriak keras sebagai tanda bahwa kami telah tiba. Lalu, dari balik pohon-pohon, seorang jenton (laki-laki) Orang Rimba menyahut, "siapo...?". "Ka Halimmmm, kami a lah tibaaaa, bepak...", saya membalas. 

Ia pun bergegas menghampiri kami. Tetapi, anak-anak kecil yang mengenakan cawat mungil, berlari mendahului barisan laki-laki yang menyertai temenggung. Bertemu mata, terlihat mereka sedikit ketakutan, lalu mengambil dua tiga langkah mundur. Mungkin karena tidak terbiasa didatangi oleh orang sebanyak itu. 

Namun, kehadiran saya diantara rombongan itu membuyarkan ketakutan mereka. Saya memang telah hidup dengan mereka selama empat tahun. Membangun hubungan dari nol, dari mulai ditolak dan diusir hingga dirindukan, mereka sepertinya yakin bahwa orang-orang yang sedang bersama saya, adalah orang-orang baik.

Patih dan romboongannya tak bisa menyembunyikan keheran menyaksikan anak-anak yang menyusup di depan kami. 

Penampilan mereka sangat sederhana. Matannya seperti menyelidiki bocah-bocah itu. Mungkin, ia tidak menyangka bahwa Orang Rimba masih berpenampilan seperti itu. Potret penampilan mereka 30-4o tahun yang silam.

Belum hilang keheranan sang patih, menyusul Temenggung Maritua dengan penampilan yang sama. Dia adalah pemimpin kelompok itu. Mereka menyebut diri Orang Rimba Sungai Terab.  

Sungai Terab adalah anak Sungai Serenggam yang bermuara ke Sungai Tembesi, lalu cucur ke Sungai Batanghari, sungai utama di Jambi. Dibelakang temenggung berjejer para jenton dengan tembakau yang dilinting dimulutnya. Mereka saling bersitatap, beberapa saat saling diam terpaku.

Saya mencoba memecah situasi: "Bepak, urang nio deri Talang Mamak, ndok botomu dengan kawan " (Bapak, orang ini dari Talang Mamak mau bertemu dengan bapak). Saya memperkenalkan keduanya lalu kami bercakap-cakap. Duduk lesehan di atas rumput yang setengah basah, rokok murah serta tembakau bantalan tersaji ditengah-tengah kami. Begitulah kelazimannya, rokok dan tembakau adalah alat untuk kontak dengan Orang Rimba.

Saya mengeluarkan 2 kilogram gula beserta kopi dan tembakau. Beberapa kain panjang, sebagai oleh-oleh dari Patih Cuan untuk Temenggung Maritua. 

Cahaya mentari pagi perlahan beranjak tinggi, sinarnya menembus dedaunan seperti membasuh wajah-wajah kami yang sedikit kelelahan. Kepulan asap rokok yang baru disulut, buyar  ke udara. 

Hampir semua laki-laki dewasa Orang Rimba merokok, jika tidak ingin menyebut bahwa seratus persen dari mereka adalah perokok. Bahkan, perokok berat. Sama halnya dengan Talang Mamak, mereja juga penikmat tembakau. Dua sukubangsa bertentangga ini, Talang Mamak di Riau, Orang Rimba di Jambi, punya kebiasaan menanam tembakau jika sedang ber berladang padi. Penanaman tembakau itu,walaupun tidak selalu cukup untuk kebutuhan sepanjang tahun, namun sangat membantu karena tidak perlu lagi semuanya beli dari luar.

Pagi itu, Patih Cuan seperti ingin curhat dengan sang temenggung, tentang banyak hal.  Tentang kekalahan kaumnya melawan ekspansi perkebunan sawit di Riau, tentang sisa hutan yang kian gundul karena balak liar, tentang buldozer yang yang tak henti-hentinnya merubuhkan tegakan-tegakan pohon lalu mengupas tanahnya untuk menemukan batubara. Truk-truk pengangkut siap diisi muatannya lalu silih berganti datang dang pergi. 

Para jenton (laki-laki) yang duduk di atas tanah hampir berdempet dengan punggung temenggung berusaha menahan nafas dengan dahi mengkerut. Mereka tampak menyimak setiap butir kata yang keluar dari bibir Patih Cuan. Sesekali mereka menyambut kalimat Patih Cuan. Khu uh, cok nye... ujar laki-laki yang dibelakang Temenggung Maritua. Cara seperti itu adalah cara khas Orang Rimba dalam menyambut cakap, tanda mereka setuju dengan isi suatu percakapan.

Bertukar cerita, Temenggung Maritua pun mengisahkan kepahitan mereka berurusan dengan urang meru (orang terang atau orang luar). Seolah hampir tak percaya, mengapa hutan bisa lenyap  dalam sekejap mata. 

Orang Rimba memang masih pakai teknologi beliaung, beberapa tahun belakangan mereka mulai mengenal chain-saw (gergaji mesin). Dua alat itu, mereka sudah tahu persis tidak akan bisa membuat hutan yang tadinya begitu luas lenyap begitu cepat. Berubah menjadi lahan-lahan perkebunan, lokasi penempatan transmigrasi yang padat. 

Lapar tanah dan kayu, warga transmigrasi kemudian menyemut masuk hutan, membuka ladang baru dan menggergaji pepohonan. Maka tumpaslah hutan itu seolah tak bertempo. 

Alat-alat berat itu, entah bagaimana orang meru (kita yang bukan Orang Rimba atau semua penyebutan untuk orang luar) membuat alatnya. Kapan bergerak, bisa meratakan tanah begitu entengnya. Sekali gusur, rubuhlah pepohonan yang kanopinya bertautan itu, rebah bersamaan ke tanah. 

"Kami a terdesak ke hulu, terdesak pula ke hilir' ucap Temenggung Maritua, sambil membuang puntung tembakaunya. Maksudnya, mereka terkepung oleh pemukiman Melayu serta pemukiman transmigran,  perusahaan kayu mengacak-acak hutan itu dari dalam. 

Namun, ada secercah harapan muncul dalam kalimat penutupnya. "Sisa hutan nioma lah jedi taman nasional genah kami borponghidupon", (sisa hutan yang dilindungi oleh pemerintah, tempat mereka hidup) katanya menyudahi ceritanya.

Orang Rimba di kawasan transmigrasi Pamenang, Merangin, Jambi (Dokpri)
Orang Rimba di kawasan transmigrasi Pamenang, Merangin, Jambi (Dokpri)
Adalah Presiden Gus Dur (Abdulrahman Wahid)--dalam periode singkat pemerintahannya, menentapkan hutan yang menjadi habitat hidup Orang Rimba menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas. Salah satu taman nasional terkecil di Indonesia. Disanalah sebagian Orang Rimba sekarang berpenghidupan. Lainnya, tercecer di jalan lintas Sumatera serta lahan-lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan perkebunan dan transmigrasi. 

Ditetapkan menjadi taman nasional di tahun 2000, tidak langsung membuat hutan itu aman dari ganguan. 

Dampak krisis moneter dan ekonomi yang terjadi tahun 97/98 masih terasa di masyarakat bawah. Perambahan hutan masih tetap marak,  balak liar juga marak. Perusahaan kayu mengakali cara untuk mencuri kayu dari taman nasional itu, dengan mengajukan IPK (ijin pemanfaatan kayu). Lokasi ijinya memang di luar taman nasional, namun kayunya dicuri dari taman nasional.

Perusahaan kayu terakhir dapat dicabut ijinnya dipicu oleh seorang wakil temenggung bernama Mlaher. Ia meninggal diantara alat-alat berat perusahaan kayu. Kesaksian yang dapat didengar menyebut, kala itu hujan datang dan almarhum menaiki alat berat itu lalu jatuh terpeleset. Malang baginya, kepalanya terbentur ke bagian alat berat lalu meninggal di tempat.  

Setelah perusahaan itu minggat, kematian Mlaher seperti terkubur dan dilupakan orang. Tak ada yang diseret kepengadilan, dianggap hanya sebuah kecelakaan. Kematian Mlaher menambah luka mereka.

***

Pertemuan itu layaknya dua bab buku yang menjadi satu. Satu bab, tentang kekalahan dan kemengan kecil Orang Rimba untuk mendapatkan hutan yang dilindungi (Taman Nasional Bukit Duabelas) dimana mereka hidup seperti cara yang mereka kehendaki. 

Satu bab lagi, tentang cerita Patih Cuan yang hutan kaumnya dilanda kehancuran, namun mereka sekarang telah lebih mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan disekitarnya,  lahan-lahan tersisa mereka kembangkan menjadi kebun-kebun agroforestri (kebun campur).

Banyak pengalaman yang mereka timba satu sama lain. Mereka pun berjanji akan terus berjuang agar hutan tetap ada dan adat tetap tegak.

Dengan penuh hikmat, Temenggung Maritua berucap:

"kami a begentung hidup begentung mati dengan hutan, kami a berharop pado rajo, hutan dipeliharo untuk anak-cucung kami"

(kita bergantung hidup dan mati pada hutan, kami semua berharap pada pemerintah untuk memelihara hutan, agar anak cucu kami bisa tetap hidup). 

Patih pun menggaguk, membenarkan ucapan temenggung. Ia mengulurkan tangannya untuk menyalami temenggung, diikuti para lelaki dari kedua kaum itu. 

Patih Cuan membawa balik rombongannya, tak ada terucap salam perpisahan, mungkin mereka berbicara dalam bahasa batin***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun