Patih dan romboongannya tak bisa menyembunyikan keheran menyaksikan anak-anak yang menyusup di depan kami.Â
Penampilan mereka sangat sederhana. Matannya seperti menyelidiki bocah-bocah itu. Mungkin, ia tidak menyangka bahwa Orang Rimba masih berpenampilan seperti itu. Potret penampilan mereka 30-4o tahun yang silam.
Belum hilang keheranan sang patih, menyusul Temenggung Maritua dengan penampilan yang sama. Dia adalah pemimpin kelompok itu. Mereka menyebut diri Orang Rimba Sungai Terab. Â
Sungai Terab adalah anak Sungai Serenggam yang bermuara ke Sungai Tembesi, lalu cucur ke Sungai Batanghari, sungai utama di Jambi. Dibelakang temenggung berjejer para jenton dengan tembakau yang dilinting dimulutnya. Mereka saling bersitatap, beberapa saat saling diam terpaku.
Saya mengeluarkan 2 kilogram gula beserta kopi dan tembakau. Beberapa kain panjang, sebagai oleh-oleh dari Patih Cuan untuk Temenggung Maritua.Â
Cahaya mentari pagi perlahan beranjak tinggi, sinarnya menembus dedaunan seperti membasuh wajah-wajah kami yang sedikit kelelahan. Kepulan asap rokok yang baru disulut, buyar  ke udara.Â
Hampir semua laki-laki dewasa Orang Rimba merokok, jika tidak ingin menyebut bahwa seratus persen dari mereka adalah perokok. Bahkan, perokok berat. Sama halnya dengan Talang Mamak, mereja juga penikmat tembakau. Dua sukubangsa bertentangga ini, Talang Mamak di Riau, Orang Rimba di Jambi, punya kebiasaan menanam tembakau jika sedang ber berladang padi. Penanaman tembakau itu,walaupun tidak selalu cukup untuk kebutuhan sepanjang tahun, namun sangat membantu karena tidak perlu lagi semuanya beli dari luar.
Pagi itu, Patih Cuan seperti ingin curhat dengan sang temenggung, tentang banyak hal. Â Tentang kekalahan kaumnya melawan ekspansi perkebunan sawit di Riau, tentang sisa hutan yang kian gundul karena balak liar, tentang buldozer yang yang tak henti-hentinnya merubuhkan tegakan-tegakan pohon lalu mengupas tanahnya untuk menemukan batubara. Truk-truk pengangkut siap diisi muatannya lalu silih berganti datang dang pergi.Â
Para jenton (laki-laki) yang duduk di atas tanah hampir berdempet dengan punggung temenggung berusaha menahan nafas dengan dahi mengkerut. Mereka tampak menyimak setiap butir kata yang keluar dari bibir Patih Cuan. Sesekali mereka menyambut kalimat Patih Cuan. Khu uh, cok nye... ujar laki-laki yang dibelakang Temenggung Maritua. Cara seperti itu adalah cara khas Orang Rimba dalam menyambut cakap, tanda mereka setuju dengan isi suatu percakapan.
Bertukar cerita, Temenggung Maritua pun mengisahkan kepahitan mereka berurusan dengan urang meru (orang terang atau orang luar). Seolah hampir tak percaya, mengapa hutan bisa lenyap  dalam sekejap mata.Â